Senja mulai turun ketika suara piano berhenti mengalun. Naya duduk diam, jemarinya masih menggantung di atas tuts, seolah takut membiarkan keheningan mengambil alih. Dari balik kaca besar di ruangan itu, langit perlahan berubah jingga, menorehkan semburat indah yang kontras dengan apa yang ia rasakan di dalam.
Adrian belum pulang sejak tadi malam. Ia pergi terburu-buru, hanya berkata, “Ada urusan yang harus kuselesaikan.” Tidak ada senyum, tidak ada pelukan, tidak ada janji kembali. Dan Naya benci betapa hatinya merindukan pria yang pernah mengancam nyawanya.
Sejak hari pertama, semuanya terasa tidak masuk akal. Ia terjebak di dunia yang seharusnya ia benci. Tapi setiap kali menatap mata Adrian, ia melihat sesuatu yang membuatnya tetap bertahan. Sebuah luka, mungkin. Atau kehampaan yang serupa dengan dirinya sendiri.
Langkah kaki Nero, anjing besar itu, terdengar pelan di lantai marmer. Ia duduk di samping Naya, menyandarkan kepalanya di pangkuan gadis itu.
“Kau juga merindukannya, ya?” bisik Naya sambil mengelus kepala Nero. “Aku benci ini. Aku benci… bahwa aku mulai peduli.”
---
Adrian menyetir mobilnya sendiri malam itu. Jarang terjadi. Biasanya ia dikawal, diapit dua atau tiga mobil pengawal bersenjata. Tapi malam ini, ia ingin sendiri. Terlalu banyak darah. Terlalu banyak jeritan. Dan terlalu banyak rasa bersalah yang tak bisa ia enyahkan, meski ia sudah terbiasa dengan kematian.
Tapi sejak Naya datang, sesuatu berubah. Ia tidak bisa lagi tidur nyenyak setelah menarik pelatuk. Ia mulai mendengar suara-suara yang pernah ia bunuh dalam hatinya. Rasa takut. Rasa bersalah. Rasa ingin… diselamatkan.
Ia menyalakan rokok. Asap menyapu kaca jendela. Dalam diam, pikirannya kembali pada malam ketika ia melihat Naya pertama kali—gemetar, kotor, ketakutan. Tapi juga jujur. Sejujur itu hingga mengguncang pertahanannya.
"Kenapa kau tidak lari?" gumamnya sendiri.
Ia tahu jawabannya. Karena gadis itu sama rapuhnya dengan dirinya.
---
Dini hari. Lampu di rumah besar itu masih menyala ketika Adrian pulang. Ia membuka pintu pelan, berharap tak membangunkan siapa pun. Tapi suara langkah ringan menyambutnya dari arah dapur.
“Kau pulang,” suara Naya lirih.
Adrian berhenti di ambang pintu. Tubuhnya lelah, jasnya penuh bercak darah yang telah mengering. Tapi matanya memandangi Naya seolah ia baru saja menemukan tempat pulang.
“Kenapa belum tidur?”
Naya mengangkat bahu. “Sulit tidur tanpa suara piano.” Lalu dengan nada lebih pelan, “Dan tanpamu.”
Adrian menggenggam sisi pintu. “Aku bukan orang baik, Naya.”
“Aku tahu.”
“Tapi kau tetap menungguku?”
“Ya.”
Adrian menunduk. Dalam hidupnya yang penuh tipu daya, itu adalah satu-satunya kebenaran yang membuatnya gentar.
---
Hari-hari berikutnya berubah pelan-pelan. Adrian mulai lebih sering pulang. Kadang ia membawa bunga segar, kadang hanya duduk diam di ruang piano dan mendengarkan Naya bermain. Mereka tak perlu bicara banyak. Diam mereka saling memahami. Luka mereka saling mengenali.
Namun, di balik ketenangan itu, bahaya terus mengintai. Musuh Adrian, salah satu rival paling brutal—Leonard Costa—baru saja bebas dari penjara. Dan orang itu tidak pernah lupa.
Suatu sore, saat Adrian tengah menemani Naya merapikan kebun mawar di belakang rumah, sebuah peluru melesat nyaris mengenai kepala mereka. Tubuh Adrian refleks mendorong Naya ke tanah dan menutupi tubuhnya.
Ledakan lain terdengar dari luar gerbang. Alarm dibunyikan. Penjaga-penjaga muncul, bersenjata lengkap.
“Leonard,” desis Adrian, rahangnya mengeras.
Naya menatapnya dengan mata panik. “Apa yang terjadi?”
“Kita harus masuk.”
---
Malam itu, rumah menjadi zona perang. Bukan karena baku tembak, tapi karena rasa takut yang menghantui semua penghuni. Adrian memasang sistem keamanan berlapis, menggandakan penjaga, dan mulai membawa pistol bahkan ke ruang makan.
Naya mencoba tenang, tapi ia tahu sesuatu yang buruk akan datang. Dan ia benci karena ia takut kehilangan Adrian—bukan karena statusnya sebagai penculik, tapi karena ia telah menjadi bagian dari hidupnya.
“Kenapa dia ingin membunuhmu?” tanya Naya saat mereka duduk di balkon.
Adrian tidak langsung menjawab. Angin meniup rambutnya yang sedikit basah. “Karena aku membunuh adiknya.”
Naya menahan nafas.
“Dia pembunuh juga. Menyiksa anak kecil. Aku… aku tidak menyesal membunuhnya. Tapi Leonard tidak akan berhenti sampai aku hancur.”
Dan Naya sadar, ia pun sedang berada di jalur tembak.
---
Beberapa hari kemudian, Adrian memutuskan untuk membawa Naya ke tempat yang lebih aman: sebuah vila kecil di luar kota, tersembunyi di balik hutan pinus. Tidak ada sinyal. Tidak ada CCTV. Hanya mereka berdua dan alam yang diam.
“Di sini kau aman,” kata Adrian sambil menaruh koper terakhir di lantai kayu.
Naya berdiri di dekat jendela, menatap pepohonan yang seakan menyembunyikan langit. “Dan kau?”
Adrian menatapnya. “Aku akan tinggal bersamamu.”
---
Di vila itu, waktu melambat. Mereka mulai memasak bersama, berjalan-jalan di hutan, membaca buku di bawah cahaya matahari pagi. Kadang Naya tertawa. Kadang Adrian memandangi tawa itu terlalu lama. Dan kadang, keduanya lupa bahwa dunia luar sedang memburu mereka.
Namun, kedamaian itu hanya ilusi.
Suatu malam, saat mereka menyalakan api unggun di halaman belakang, sebuah suara gemerisik terdengar dari balik pohon. Adrian langsung berdiri, mengeluarkan pistol. Naya memegangi lengannya, gemetar.
“Tenang. Tetap di belakangku.”
Tiga bayangan muncul dari gelap. Berseragam hitam. Bersenjata lengkap.
“Leonard mengirim kami,” kata salah satu dari mereka. “Serahkan gadis itu.”
Adrian tersenyum dingin. “Coba kalau bisa.”
Tembakan pertama dilepaskan. Adrian menarik Naya ke tanah, menembak balik. Api unggun menyala liar, menerangi wajah Adrian yang kini kembali menjadi iblis yang pernah Naya takuti. Tapi kali ini, ia membunuh untuk melindunginya.
Setelah lima menit yang terasa seperti seabad, tiga penyerang terkapar. Adrian berdarah di lengan, tapi tetap berdiri.
Naya menangis. “Kenapa… kenapa mereka ingin aku mati?”
Adrian memeluknya erat. “Karena aku mencintaimu. Dan itu kelemahanku.”
---
Malam itu, di ranjang kayu yang dingin, Naya duduk bersandar di dada Adrian. Ia mendengar detak jantungnya. Pelan. Tapi nyata. Seperti rumah.
“Ceritakan tentang adikmu,” bisik Naya.
Adrian terdiam lama. “Namanya Alesha. Dia lima tahun lebih muda. Cerdas, manis, dan satu-satunya alasan aku dulu ingin hidup lurus. Tapi ketika orang tua kami dibunuh oleh mafia saingan… dia diculik. Mereka kirimkan potongan tubuhnya dalam kotak.”
Naya menutup mulutnya, menahan tangis.
“Sejak saat itu, aku membunuh. Aku tidak tahu cara lain untuk hidup.”
“Kau tidak sendiri sekarang,” ucap Naya. “Kita bisa keluar dari semua ini. Bersama.”
Adrian memejamkan mata. Untuk pertama kalinya, ia percaya. Tapi dunia mereka tidak akan membiarkan cinta hidup tanpa darah.
---
Pagi harinya, sinar matahari menembus celah tirai, menyinari luka-luka kecil di tubuh Adrian yang belum sempat dibalut semalam. Naya terbangun dengan kepala di bahunya, napasnya masih teratur, namun matanya langsung terbuka begitu merasakan gerakan kecil darinya.
“Kau terluka lebih parah dari yang kukira,” ucapnya pelan.
“Aku baik-baik saja,” jawab Adrian, meski sorot matanya mengatakan hal sebaliknya.
Dengan cepat, Naya mengambil kotak P3K dari lemari dapur dan mulai membersihkan luka tembak di lengan kirinya. Tangannya gemetar, bukan karena takut darah, tapi karena takut kehilangan pria di depannya.
“Kau hampir mati,” bisiknya lirih.
Adrian memejamkan mata. “Aku sudah terbiasa hampir mati.”
“Jangan ucapkan itu. Jangan kau jadikan itu normal. Hidupmu terlalu berharga…”
Adrian tersenyum miris. “Bagi siapa?”
“Bagi aku!”
Kata-kata itu meluncur begitu saja. Ruangan menjadi hening. Mata mereka saling bertemu. Dalam keheningan yang panjang, hanya degup jantung mereka yang terdengar.
Adrian menyentuh pipi Naya, lembut seperti seseorang yang takut segalanya akan hancur jika disentuh terlalu keras. “Kau tahu, tidak pernah ada satu pun wanita yang mengatakan hal seperti itu padaku. Bahkan ibuku tidak sempat.”
Naya menggenggam tangannya. “Kalau begitu, biar aku jadi yang pertama.”
---
Hari-hari di vila menjadi lebih intens setelah kejadian malam itu. Adrian menambah kamera pengawas tersembunyi, memeriksa perimeter sendiri tiap pagi dan malam. Tapi di sela-sela paranoia itu, ia mulai belajar hal baru—kepercayaan.
Naya tidak pergi. Ia tetap di sana. Bahkan setelah melihat sisi tergelapnya. Ia tetap duduk di meja makan bersamanya, tetap tertawa meski mata lelahnya menunjukkan betapa tertekannya ia. Dan Adrian tak lagi bisa menyangkal perasaannya.
Suatu malam, mereka duduk di depan perapian. Api menari-nari di antara mereka, menciptakan bayangan di wajah yang kini mulai saling hafal luka.
“Aku tidak pernah mencium seseorang karena cinta,” kata Adrian tiba-tiba.
Naya menoleh, perlahan. “Lalu kenapa kau menciumku malam itu?”
Adrian menatap api. “Karena aku takut kehilanganmu.”
Naya tersenyum kecil. “Lalu hari ini, kalau kau menciumnya lagi… apa itu karena cinta?”
Adrian menoleh. “Aku tidak tahu bagaimana cinta seharusnya terasa. Tapi setiap kali aku melihatmu, aku ingin hidup. Dan itu… adalah hal paling asing yang pernah kurasakan.”
Dan saat itulah bibir mereka bertemu. Kali ini tanpa rasa takut, tanpa rasa bersalah. Hanya dua jiwa rusak yang mencoba saling sembuhkan, walau tahu dunia mungkin tidak akan membiarkan.
---
Keesokan harinya, telepon satelit milik Adrian berdering. Hanya dua orang yang tahu nomor itu: anak buah kepercayaannya, dan iblis masa lalu—Leonard.
“Apa kau pikir bisa bersembunyi selamanya, Adrian?” suara Leonard terdengar dingin.
“Kalau kau menyentuhnya lagi, aku akan membakar seluruh keluargamu,” jawab Adrian tanpa basa-basi.
Leonard tertawa. “Oh, tapi aku tidak perlu menyentuhnya. Aku tahu cara membuatmu datang sendiri. Periksa email-mu.”
Adrian membuka laptop kecil di ruang bawah tanah. Sebuah video muncul. Terlihat dua anak buah Adrian yang setia, dipukuli dan diikat. Di belakang mereka, dinding penuh darah.
“Kau punya 48 jam. Serahkan perempuan itu. Atau aku akan kirim potongan tubuh satu per satu.”
Adrian membanting laptop itu. Napasnya berat. Dunia yang coba ia lindungi mulai retak kembali. Tapi kali ini, ia tidak ingin melindungi dirinya—ia ingin melindungi Naya.
---
Tanpa menjelaskan terlalu banyak, Adrian mulai bersiap. Ia membersihkan senjata, mengatur peta lokasi, dan mulai menulis surat.
Naya menemukannya tengah malam di ruang bawah tanah. “Kau akan pergi tanpa bilang padaku?”
Adrian menatapnya. “Ini satu-satunya cara.”
“Aku ikut.”
“Kau tidak mengerti. Ini perang. Bukan lagi tentang kita.”
Naya berdiri di depannya, matanya berkaca-kaca. “Aku tidak peduli. Kalau kau mati di sana, dan aku di sini, aku akan mati perlahan juga.”
Adrian menghela napas. “Kau membuat segalanya jadi lebih sulit.”
“Karena aku mencintaimu,” bisik Naya.
Dan kata-kata itu mengalahkan semua peluru yang pernah Adrian hadapi.
---
Malam sebelum keberangkatan, mereka tidur dalam pelukan, tidak bicara. Hanya napas yang berpadu dalam gelap, dan harapan yang rapuh menari di sela-sela ketidakpastian.
---
Esoknya, Adrian dan Naya meninggalkan vila itu. Menuju medan perang yang akan mengubah segalanya—entah menjadi lebih baik, atau mengubur mereka berdua selamanya.
Tapi satu hal yang pasti: kali ini, mereka tak lagi sendiri.
---
Bab 2 Selesai