Hujan turun deras saat mobil hitam Adrian meluncur ke luar kota, menembus pekatnya malam. Deru mesin berpadu dengan denting halus hujan di kaca depan, menciptakan melodi suram yang menyatu dengan kegelisahan di dada mereka. Naya duduk di kursi penumpang, tangan mungilnya menggenggam erat pistol kecil yang diberikan Adrian tadi pagi.
"Kau yakin ingin melibatkan dirimu sejauh ini?" tanya Adrian tanpa menoleh.
Naya menatap jalanan gelap di depannya. "Sejak kau menyelamatkanku malam itu, aku tahu semuanya akan berubah. Aku tidak bisa lagi pura-pura menjadi gadis biasa. Dan aku tidak akan biarkan kau hadapi ini sendirian."
Adrian mengangguk pelan, menyimpan kekhawatiran di balik ekspresi dinginnya. Ia tahu betul siapa yang akan mereka hadapi—Leonard bukan sekadar lawan, ia adalah hantu masa lalu, iblis yang dulu tumbuh bersama dalam dunia kelam penuh darah dan kesetiaan palsu.
---
Beberapa kilometer di luar kota, mereka tiba di sebuah gudang tua yang tampak ditinggalkan. Tapi Adrian tahu, ini bukan sekadar bangunan kosong. Di sinilah ia dulu dilatih membunuh tanpa ragu, tempat di mana dirinya yang lama dikubur bersama ratusan mayat tak dikenal.
"Di dalam ada jalur bawah tanah menuju markas lama Leonard," kata Adrian sambil membuka pintu samping gudang. "Kita harus cepat. Dia mungkin sudah tahu kita datang."
Begitu masuk, Naya merasakan udara berubah. Dingin. Pekat. Seperti memasuki mulut monster yang menunggu mangsanya. Dinding-dinding besi tua berlumur karat dan suara tetesan air dari pipa bocor membuat suasana makin mencekam.
Adrian menyalakan senter kecil dan memimpin jalan. Mereka berjalan melewati lorong sempit hingga tiba di sebuah pintu besi besar yang tertutup rapat.
"Apa ini aman?" bisik Naya.
"Belum tentu," jawab Adrian sambil mengeluarkan kabel kecil dan alat pembuka kode. Beberapa detik kemudian, suara klik terdengar dan pintu terbuka perlahan.
Begitu pintu terbuka, suara tembakan langsung menghantam dinding belakang mereka. Adrian menarik tubuh Naya ke bawah, membalas tembakan dengan cepat dan akurat.
"Dia tahu kita datang," ucapnya sambil mengisi ulang peluru.
Dua orang bersenjata muncul dari balik lorong, mengenakan pakaian serba hitam dan helm pelindung. Adrian bergerak cepat, satu tembakan ke kepala, satu ke dada. Tubuh para penjaga roboh tanpa suara. Ia masih seefisien dulu—mematikan, tanpa ragu.
Naya hanya bisa menahan napas. Bukan karena takut, tapi karena menyadari betapa gelap dunia yang kini ia masuki. Namun di balik semua itu, matanya tetap tak bisa mengalihkan pandangan dari sosok pria yang kini berdiri di depannya. Pria yang rela kembali ke neraka demi menyelamatkan orang-orang yang ia sayangi.
---
Mereka terus menyusuri lorong hingga tiba di ruang kendali tua. Monitor usang masih menyala, menampilkan berbagai kamera pengawas. Adrian mengenali wajah dua anak buahnya yang ditawan—terikat, berdarah, tapi masih hidup.
"Mereka masih di sini," gumamnya. "Kita harus bergerak sebelum dijadikan umpan."
Namun sebelum mereka bisa melangkah, suara dari pengeras suara terdengar memenuhi ruangan.
"Adrian... akhirnya kau datang juga."
Leonard.
Suara itu masih sama seperti dulu—dingin, licik, dan menusuk seperti belati.
"Aku tahu kau tak akan bisa tinggalkan masa lalu begitu saja. Tapi kali ini, permainan berubah. Dan kau bawa wanita bersamamu? Romantis, tapi bodoh."
Adrian menggertakkan gigi. "Jika kau menyentuhnya, Leonard, aku akan membuatmu menyesal pernah dilahirkan."
Tawa Leonard menggema. "Lalu mari kita lihat, seberapa jauh kau bisa bertahan demi cinta barumu."
---
Lorong berikutnya jauh lebih sempit dan dipenuhi jebakan. Laser merah melintang seperti jaring laba-laba, dan lantai penuh sensor tekanan. Adrian menarik Naya ke belakang tembok dan mengeluarkan perangkat pemindai.
"Kau harus tetap di sini," katanya pelan.
"Tidak. Aku ikut."
"Kau bisa mati, Naya."
"Kalau kau juga, maka aku akan tetap bersamamu, sampai detik terakhir."
Adrian menatapnya. Lalu perlahan mengangguk. Ia lalu mengajarkan langkah demi langkah bagaimana melewati sensor. Bersama, mereka menari di antara kematian—loncatan-loncatan kecil, gerakan tubuh yang terkendali, dan napas tertahan.
Setelah hampir sepuluh menit, mereka berhasil melewati lorong. Di ujung, sebuah pintu baja menanti—dan di baliknya, ruang utama.
---
Pintu terbuka.
Ruangan luas terbentang dengan pencahayaan temaram. Di tengahnya, Leonard berdiri—tubuh kekar, wajah penuh bekas luka, dan senyum yang tidak pernah jujur. Di belakangnya, dua anak buah Adrian tergantung di atas salib besi, penuh luka.
"Adrian," sapa Leonard. "Senang bertemu lagi. Dan ini… wanita yang kau pilih?"
Naya berdiri tegak, tak bergeming meski jantungnya berdentum keras.
"Biarkan mereka pergi," kata Adrian sambil mengangkat pistol.
Leonard terkekeh. "Kau tahu permainan ini. Tak semudah itu."
Seketika, suara langkah kaki bergema. Lima pria bersenjata masuk, mengelilingi mereka. Adrian merangkul Naya, punggung mereka saling menempel, dan tembakan pertama meletus.
Pertempuran pecah.
Tembakan bergema, percikan api dari peluru memantul di dinding logam. Adrian bergerak seperti bayangan—lincah, kejam, dan tak kenal ampun. Naya, meski panik, tetap fokus, menembak satu pria yang mencoba mendekat dari belakang.
Tubuh-tubuh berserakan.
Tapi Leonard telah menghilang.
---
Adrian melepaskan anak buahnya, yang hanya mampu mengangguk lemah sebagai ucapan terima kasih. "Bawa mereka ke mobil. Aku akan kejar Leonard."
Naya menahan lengannya. "Sendirian?"
"Ini harus aku akhiri sendiri."
Namun sebelum Adrian sempat pergi, Leonard muncul dari sisi lain ruangan—dengan granat di tangan.
"Satu langkah lagi, dan kita semua mati!" teriaknya.
Adrian berhenti. Pandangannya tajam. "Lepaskan, Leonard. Ini bukan caramu mati."
Leonard tersenyum pahit. "Kau tahu kenapa aku tidak pernah bisa membencimu? Karena kita sama. Sama-sama rusak. Sama-sama kosong."
"Bedanya aku memilih berubah," jawab Adrian pelan.
Tiba-tiba, peluru dari arah tak terduga menembus bahu Leonard. Naya—berdiri dengan pistol terangkat.
Leonard jatuh, granat terlepas dari tangan, dan Adrian melompat, menendangnya ke sisi lain sebelum meledak.
Ledakan memekakkan telinga, menghancurkan sebagian ruangan, membuat debu dan puing beterbangan. Namun mereka selamat.
Leonard… tak lagi bergerak.
---
Beberapa jam kemudian, di luar gudang yang kini hangus, Adrian duduk di atas kap mobil. Matanya menatap langit yang mulai cerah. Naya datang dan duduk di sampingnya.
"Kau baik-baik saja?" tanyanya.
Adrian hanya mengangguk. "Semua ini… akhirnya berakhir."
"Tidak. Ini baru permulaan," kata Naya sambil menyentuh tangannya.
Dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Adrian percaya—bahwa cinta bisa jadi peluru paling kuat, yang tak membunuh… tapi menyelamatkan.
---
Setelah ledakan mereda, mereka berjalan tertatih keluar dari reruntuhan gudang. Aroma besi terbakar memenuhi udara. Darah mengering di pelipis Adrian, sementara lengan Naya sedikit tergores serpihan logam.
Namun keduanya masih berdiri. Masih bernapas.
Naya memandang Adrian dengan sorot yang berbeda. Bukan lagi hanya kagum atau cinta, tapi penghormatan yang lahir dari luka, dari keberanian. Dan dari ketakutan yang sempat mengoyak batinnya saat melihat Adrian berlari ke arah granat tanpa ragu.
Mereka duduk di sisi mobil yang disandarkan di semak, menghadap ke matahari yang perlahan menyibak langit kelabu.
"Kau tahu…" Naya memecah hening dengan suara yang nyaris tak terdengar. "Aku membunuh seseorang tadi."
Adrian menoleh, menatapnya dalam.
"Aku tidak menyesal," lanjut Naya pelan. "Tapi aku takut pada diriku sendiri. Takut jika bagian diriku yang baru saja kubuka itu... tak bisa kututup lagi."
Adrian mengangguk, perlahan menggenggam tangannya. "Itu perasaan pertama yang muncul setelah kau membunuh. Yang kedua adalah… bertahan hidup. Yang ketiga—rasa bersalah yang menempel seperti bayangan."
"Aku tidak ingin jadi seperti Leonard. Atau bahkan seperti dirimu… di masa lalu."
"Kau tidak akan pernah," jawab Adrian tegas. "Kau berbeda. Kau memilih membunuh untuk melindungi. Bukan karena dendam. Itu membedakan kita dengan mereka."
Naya tersenyum kecil, pahit. "Tapi luka tetap luka, kan?"
Adrian diam. Lalu, untuk pertama kalinya sejak pertemuan mereka, ia membuka sedikit pintu masa lalu yang selama ini ia kunci rapat.
---
"Aku pertama kali membunuh saat umur 15," ucapnya lirih.
Naya menoleh cepat, terkejut.
"Seorang pria. Musuh ayah angkatku. Aku diberi pistol, disuruh memilih: tarik pelatuk atau mati bersama ibuku. Aku menarik pelatuk. Kupikir, itu satu-satunya cara."
Adrian memejamkan mata, seolah bayangan bocah 15 tahun itu kembali muncul. "Setiap malam aku mimpi wajahnya. Sampai hari ini. Tapi semakin lama, semakin banyak wajah yang muncul, sampai aku lupa mana yang pertama. Saat itu, aku tak punya siapa-siapa. Tak ada yang menahanku dari menjadi monster."
Naya menatapnya, air mata menggenang.
"Sekarang kau punya aku," katanya pelan. "Dan aku tak akan biarkan kau kembali jadi monster."
Adrian tersenyum miris. "Aku tak layak dicintai, Naya. Dunia di mana aku hidup… penuh darah. Kau bisa pergi sekarang. Aku tak akan menahanmu."
Naya menggeleng. "Kalau aku pergi, kau akan hilang. Dan aku tak sanggup kehilangan satu-satunya orang yang membuatku merasa hidup kembali."
Ia mendekat, meletakkan kepala di bahu Adrian. Untuk sesaat, dunia yang mereka tinggali terasa sunyi. Tak ada mafia. Tak ada dendam. Hanya dua jiwa rusak yang saling menemukan ruang untuk pulih.
---
Namun ketenangan itu tak berlangsung lama.
Ponsel satelit Adrian bergetar.
Pesan singkat muncul:
> “Leonard tidak sendiri. Mereka datang.”
—Vasco
Adrian mematung. Ia tahu betul artinya. Leonard hanyalah pion. Di atasnya, ada struktur lain. Lebih besar. Lebih dalam. Dan lebih kejam.
Naya membaca pesan itu. Matanya membulat. "Apa maksudnya?"
"Leonard bekerja untuk organisasi baru. Mereka mengincar semua mantan kepala jaringan mafia, termasuk aku. Leonard cuma permulaan."
"Berarti ini belum berakhir?"
Adrian berdiri, menatap horizon yang mulai menghangat. "Belum. Bahkan mungkin baru saja dimulai."
---
Malam itu mereka kembali ke rumah persembunyian yang tersembunyi di balik kebun tua. Luka dibalut, senjata dibersihkan. Tapi pikiran mereka tetap gaduh.
Naya duduk di dekat perapian, memandangi api sambil membolak-balik album foto lama yang Adrian simpan. Ia menemukan foto kecil seorang bocah dengan senyum polos—tak seperti Adrian yang ia kenal sekarang.
"Ini kau?"
Adrian mengangguk. "Sebelum semuanya berubah."
Naya menatap foto itu lama. "Aku ingin mengenal sisi itu. Sisi yang belum hancur."
Adrian duduk di sampingnya, memandangi api. "Kalau aku tunjukkan semuanya, kau tak akan pergi?"
"Justru aku akan lebih mencintaimu."
---
Dan malam itu, untuk pertama kalinya, mereka berdua tidur tanpa senjata di sisi. Tanpa ketakutan akan peluru. Tanpa desing bahaya. Hanya dengan pelukan. Dan doa diam-diam agar dunia memberi mereka satu hari lagi… bersama.
Namun pagi belum sepenuhnya terang saat suara tembakan menggema dari luar rumah.
Adrian terbangun seketika. Ia menarik Naya ke balik dinding dan meraih senapan serbu.
"Mereka datang lebih cepat dari perkiraan."
Naya mengambil pistolnya. "Kita harus keluar lewat belakang."
Adrian mengangguk. Tapi sebelum mereka bergerak, sebuah granat gas dilempar ke dalam rumah.
Asap memenuhi ruang tamu.
Batuk. Suara kaca pecah. Jeritan.
Adrian meraih tangan Naya dan menerobos jendela belakang. Tubuh mereka terjatuh di tanah lembab. Dari balik semak, lima pria bersenjata lengkap muncul.
Mereka mengepung.
Adrian siap menarik pelatuk.
Tapi dari kejauhan… suara motor berdengung.
Vasco datang—bersama dua anak buah setianya. Tembakan membelah udara, menghantam salah satu pengepung.
Adrian dan Naya segera berlindung di balik mobil. Tembakan balasan terjadi. Kekacauan. Asap. Teriakan.
Dalam waktu kurang dari lima menit, keheningan kembali.
Semua penyerang mati.
Vasco mendekat. "Ini baru permulaan, Adrian. Mereka mencari sesuatu."
Adrian menghela napas berat. "Apa?"
"Kode. Senjata. Dan—"
Vasco berhenti, menatap Naya.
"Dan apa?" desak Adrian.
"Dan dia."
Adrian menoleh. Naya terpaku. Wajahnya membiru.
"Apa maksudmu?"
Vasco menarik nafas. "Ayahnya Naya dulu pemegang kunci keuangan salah satu sindikat lama. Mereka pikir informasi itu... ada padanya. Dalam DNA. Atau dalam ingatan."
Adrian membeku. Naya menatap keduanya, bingung. "Aku? Aku tidak tahu apa-apa!"
"Tapi mereka tidak akan percaya itu."
---
Bab ini kini menutup dengan badai yang jauh lebih besar dari yang mereka duga.
Naya bukan lagi sekadar gadis biasa yang terjebak dalam dunia gelap Adrian.
Ia adalah pusat dari pusaran yang lebih besar.
Dan cinta… akan kembali diuji di bawah bayang-bayang pengkhianatan, rahasia, dan peperangan baru.
---
Bab 3 Selesai