BAB 4 "BAYANG MASALALU"

Malam itu terasa mencekam, seakan udara yang mereka hirup penuh dengan ancaman yang tak terlihat. Naya duduk di ruang tamu rumah persembunyian, matanya kosong menatap ke luar jendela yang dipenuhi kabut. Pikirannya berkecamuk, tidak bisa menghindar dari kenangan lama yang mulai terbangun kembali.

Adrian berada di dekatnya, bersandar pada meja sambil memeriksa senjata yang telah dibersihkan. Tapi matanya lebih sering melirik Naya, memperhatikan ketenangannya yang tampak rapuh. Ada sesuatu yang berubah pada wanita itu. Sesuatu yang tak bisa dijelaskan hanya dengan kata-kata. Ia tahu, saat ini Naya bukan lagi hanya wanita yang ia cintai. Naya adalah kunci dari semua ini. Namun, ada satu hal yang belum terungkap.

Naya mendekat, memegang secangkir teh yang ia buat untuk Adrian. "Kau tahu, terkadang aku merasa seperti terjebak dalam mimpi buruk yang tak pernah berakhir," katanya, suaranya rendah, nyaris tak terdengar.

Adrian mengangkat wajahnya, menatapnya dalam. "Kau tak sendiri, Naya. Kita semua terjebak di dalamnya."

"Namun... aku tidak tahu apakah aku masih bisa keluar." Naya menghela napas, menundukkan kepala. "Ayahku, dulu... ia adalah bagian dari dunia ini, dunia yang gelap dan penuh tipu daya. Tapi aku tak pernah tahu seberapa dalam dia terlibat. Aku selalu mengira dia hanya seorang pengusaha biasa."

Adrian terdiam, mendekat, duduk di sebelahnya. "Naya, apa maksudmu?"

Naya menatapnya, matanya berbinar dengan kilatan ketakutan yang tak bisa disembunyikan. "Semua yang terjadi sekarang... mungkin ada hubungannya dengan ayahku. Leonard, Vasco, dan bahkan mereka yang mengejarku—mereka semua mungkin tahu sesuatu yang aku tidak tahu."

Adrian menggenggam tangan Naya, mengguncangnya pelan. "Apa yang kau maksud?"

Naya menelan ludah. "Ayahku pernah bekerja untuk seorang pria bernama Rafael Venza. Seorang kepala sindikat yang sangat berkuasa. Aku tidak pernah tahu, karena ia selalu menjaga jarak dari dunia itu. Tapi ada sesuatu yang hilang. Sebuah kode, sebuah dokumen penting yang akan mengubah jalannya kekuasaan di dunia ini. Dan aku... aku mungkin adalah satu-satunya yang bisa menemukannya."

Adrian merasa darahnya membeku. "Dan itu ada padamu? Kode itu?"

Naya mengangguk pelan, wajahnya pucat. "Aku... aku tidak tahu pasti. Tapi ada petunjuk dalam catatan ayahku. Petunjuk yang bisa mengarahkanku ke tempat yang sangat berbahaya. Aku hanya berharap tidak ada yang pernah mencarinya."

Adrian menggigit bibirnya, menyusun kata-kata. "Jika mereka mencari kode itu... mereka akan datang kepadamu. Dan kita akan menjadi sasaran mereka."

Naya menunduk, mencoba menahan air mata yang menggenang di pelupuk matanya. "Aku tak pernah memilih ini. Semua ini terjadi begitu cepat. Aku hanya ingin hidup biasa, Adrian. Aku hanya ingin hidup denganmu."

Adrian menggeser tubuhnya lebih dekat, menarik Naya ke dalam pelukannya. "Kau akan mendapatkan itu. Kita akan berjuang untuk itu. Tapi kita harus tahu siapa yang mengejar kita, dan apa yang mereka inginkan."

Tiba-tiba, suara pintu depan terbuka, dan langkah-langkah berat terdengar. Vasco memasuki ruangan, wajahnya tegang dan penuh dengan kekhawatiran. "Adrian," katanya dengan nada rendah, "ada sesuatu yang baru saja aku dapatkan. Informasi ini sangat penting."

Adrian melepaskan pelukannya dari Naya dan berdiri. "Apa itu?"

Vasco mengeluarkan sebuah amplop tebal dari tasnya dan menyerahkannya pada Adrian. "Ini adalah salinan dokumen yang baru saja aku ambil dari tangan salah satu orang Venza. Mereka sedang mencari sesuatu. Dan sekarang, mereka tahu siapa yang harus mereka cari."

Adrian membuka amplop itu dengan cepat, matanya mencerna setiap kata di dalamnya. "Ini… ini kode yang dimaksudkan, kan?"

"Ya," Vasco mengangguk. "Dan kode ini hanya bisa dibaca oleh orang-orang tertentu. Aku takut mereka sudah tahu siapa yang memilikinya."

Naya mengangkat wajahnya, menatap Vasco dengan penuh rasa takut. "Dan siapa yang bisa membacanya?"

Vasco menatapnya serius. "Hanya mereka yang dilatih secara khusus untuk menguraikan kode tersebut. Dan kemungkinan besar, kode ini sudah berada dalam genggaman seseorang yang sangat berkuasa. Jika mereka berhasil membacanya, maka dunia ini bisa berada di ujung jurang kehancuran."

Adrian mendekat, menatap Vasco tajam. "Siapa yang menginginkan kode ini begitu rupa? Dan mengapa mereka menginginkan Naya?"

Vasco menghela napas, terlihat ragu. "Itu adalah bagian dari masa lalu Venza. Kode ini berhubungan dengan jalur perdagangan senjata internasional. Jika mereka menguasai kode ini, mereka bisa mengendalikan seluruh jaringan. Dan mereka tahu bahwa Naya adalah kunci untuk membuka itu semua."

Naya terdiam, mulutnya terbuka. "Jadi… mereka mengejar aku hanya untuk mendapatkan kode ini?"

Vasco mengangguk, dan wajahnya semakin serius. "Ya. Dan masalahnya adalah, ada seseorang yang sudah tahu bahwa kode itu ada padamu. Aku tidak tahu siapa, tapi mereka takkan berhenti sampai mereka mendapatkannya."

Adrian menatap Naya dengan tatapan penuh tekad. "Kita harus bergerak cepat. Kita tak bisa berdiam diri lagi."

"Tapi bagaimana?" tanya Naya dengan suara bergetar. "Apa yang harus kita lakukan?"

"Pertama, kita harus tahu siapa yang mengincarmu. Dan kita harus menyiapkan segalanya sebelum mereka datang. Tidak ada lagi tempat untuk mundur."

Vasco berdiri, menepuk pundak Adrian. "Kita akan melakukan apapun yang diperlukan untuk melindungimu, Naya. Tapi kita harus bertindak sekarang."

---

Dengan keputusan yang bulat, mereka mempersiapkan diri untuk melangkah ke dunia yang lebih berbahaya lagi. Dunia yang tak hanya mengancam nyawa, tapi juga masa depan mereka. Adrian dan Naya tahu, bahwa apa pun yang terjadi, mereka harus bersama. Karena hanya dengan itu, mereka bisa bertahan hidup.

Namun, dalam dunia yang penuh dengan pengkhianatan dan permainan kekuasaan, adakah cinta yang bisa bertahan? Atau akankah mereka menjadi bagian dari perang besar yang tak mereka pilih?

---

Malam bergulir lambat. Di luar rumah persembunyian, hujan mulai turun—ringan, tetapi cukup untuk menciptakan irama konstan di atas atap seng. Naya berdiri di dapur, menatap air yang menetes di sisi jendela. Kepalanya penuh dengan gambaran samar masa kecilnya—saat ayahnya menyembunyikan lemari besi di balik lukisan besar, saat suara langkah kaki asing terdengar di malam hari, saat ibunya menangis di balik pintu yang dikunci.

Dia menarik napas panjang, menyandarkan keningnya ke kaca. “Apa semuanya sudah ditakdirkan dari awal?” gumamnya sendiri.

Adrian menghampirinya perlahan, menyentuh bahunya lembut. “Aku tahu ini berat, Naya. Tapi sekarang kita tahu kebenaran. Kita bisa melangkah, bukan lari.”

Naya menggeleng. “Yang kita tahu baru permukaan, Adrian. Ayahku, Rafael Venza, kode itu—semuanya seperti teka-teki yang belum punya bentuk. Bagaimana jika aku membuat kita semua terbunuh hanya karena aku tidak tahu apa-apa?”

Adrian berbalik menghadapnya, menatap mata gadis itu. “Kau tahu jauh lebih banyak dari yang kau sadari. Dan aku... aku lebih percaya padamu daripada siapa pun. Aku tahu kamu kuat. Bahkan saat dunia ini mencoba menjatuhkanmu.”

Naya menahan napas, air mata perlahan menetes di pipinya. Tapi sebelum ia sempat menjawab, suara alarm kecil dari perangkat di ruang kerja Vasco berbunyi nyaring.

Mereka bergegas.

Vasco sedang duduk di depan layar komputer, matanya fokus pada peta digital. “Kita punya masalah,” katanya cepat. “Mereka menemukan lokasi ini. Empat kendaraan mendekat dari arah barat. Mereka dipersenjatai. Mereka tahu kita di sini.”

Adrian menatap Vasco tajam. “Siapa yang membocorkannya? Bukankah hanya kita bertiga yang tahu tempat ini?”

Vasco menghela napas berat. “Mungkin tidak lagi. Ada sesuatu yang tidak beres, Adrian. Salah satu dari kita... mungkin dimanfaatkan.”

Naya menatap mereka berdua dengan bingung. “Kamu pikir ada pengkhianat?”

Sebelum mereka bisa menjawab, suara ledakan kecil mengguncang jendela. Suara peluru menghantam sisi rumah menyusul detik kemudian.

“Semua ke bawah tanah!” teriak Adrian sambil menarik tangan Naya. Vasco menekan tombol di balik rak buku, dan sebuah pintu rahasia terbuka, menampilkan tangga menurun yang gelap.

Mereka turun ke dalam bunker kecil yang dibangun untuk keadaan darurat. Di dalam ruangan sempit itu, hanya ada cahaya dari monitor yang terus menampilkan kamera keamanan.

Adrian menatap layar. “Empat orang bersenjata. Satu di atap. Dua mengitari sisi timur. Mereka profesional. Mungkin orang-orang Venza.”

Vasco mengetik cepat di laptopnya. “Aku bisa aktifkan sistem pertahanan otomatis. Tapi hanya akan mengulur waktu. Kita butuh jalan keluar.”

Naya memandang sekeliling ruangan. “Bukankah ada jalur bawah tanah?”

Vasco mengangguk. “Ada, tapi belum pernah digunakan selama bertahun-tahun. Tidak tahu seberapa aman.”

Adrian berdiri, menggenggam tangan Naya erat. “Kita akan cari tahu. Kita harus keluar dari sini sebelum mereka menembus tembok ini.”

Dengan cepat mereka membuka penutup di lantai dan menuruni lorong sempit yang dipenuhi debu. Dindingnya lembap, dan bau tanah menyengat.

“Ini seperti masuk ke perut dunia,” gumam Naya, suaranya bergetar.

Adrian mengangguk. “Tapi lebih baik di sini daripada jadi sasaran peluru di atas.”

Jalur itu membawa mereka ke terowongan tua yang sepertinya pernah menjadi jalur air atau saluran pembuangan. Mereka berjalan hampir sepuluh menit sebelum menemukan pintu baja tua yang tertutup rapat.

Vasco mencoba membukanya dengan paksa. “Bantu aku,” katanya pada Adrian.

Saat mereka membuka pintu itu, suara langkah kaki terdengar dari belakang. Suara berat, bergema dalam lorong gelap itu. Naya menoleh cepat. “Ada orang di belakang kita.”

Adrian menarik pistolnya, berdiri di antara Naya dan sumber suara. “Tetap di belakangku.”

Namun, saat bayangan itu mendekat, suara yang familiar terdengar.

“Tenang! Ini aku, Diego!”

Diego—anak buah Vasco yang dipercaya, muncul dari kegelapan. Wajahnya pucat, basah kuyup oleh hujan, dan tampak tergesa.

“Bagaimana kau bisa menemukan kami?” tanya Adrian, penuh curiga.

Diego terengah-engah. “Aku mengikuti pelacak di mobil mereka. Aku tahu tempat ini pasti ada jalur darurat. Kalian butuh bantuan.”

Vasco menatap Diego tajam. “Apa kau yakin tidak diikuti?”

Diego menggeleng cepat. “Tidak. Aku pastikan.”

Adrian masih belum sepenuhnya percaya. Tapi waktu tidak berpihak. Mereka harus terus bergerak.

Setelah berhasil keluar dari terowongan melalui pintu besi yang berkarat, mereka muncul di hutan kecil yang tak jauh dari batas kota. Udara segar menyambut mereka, tetapi ketegangan belum mereda.

Adrian menyalakan GPS mini. “Kita bisa menuju gudang lama di distrik utara. Di sana kita bisa berlindung sementara dan mengatur strategi.”

Naya menarik napas panjang. “Apa pun yang terjadi... aku ingin tahu semua yang kalian tahu tentang Venza. Aku tidak bisa bersembunyi selamanya.”

Vasco mengangguk. “Baik. Tapi kau harus kuat, Naya. Karena kebenaran tentang Rafael Venza... jauh lebih gelap daripada yang kau bayangkan.”

---

BERSAMBUNG DI BAB 5...