New Kyoto
Kota masa depan Utopia yang sepertinya akan hancur karena perang saudara.
Kota dimana Negara tidak memiliki kekuasaan mutlak.
Kapitalisme menuju antiklimaks,
mereka terbagi 3 golongan.
Satu , Orang ekonomi bawah yang lahir nya tidak memiliki apa apa selain berserah diri kepada takdir dan tinggal di bumi yang sekarat .
Dua , Orang ekonomi menengah yang secara harafiah juga tinggal di tengah tengah, yaitu tinggal di antara orbit bumi dan bulan.
Tiga , Orang Ekonomi Atas , yang ini sebenarnya sudah tidak dianggap sebagai orang bumi lagi .
Karena mereka tidak tinggal di bumi ataupun di orbitnya.
Melainkan jauh di alam semesta, meninggalkan peradaban bumi di belakang mereka.
Mungkin itu istilah mereka untuk menyebut "atas".
Tidak jauh dari New Kyoto ,
Stasiun orbital tua “Kestrel-9” menggantung di orbit rendah Bumi, gemetar pelan setiap kali badai elektromagnetik dari Matahari menghantam plat suryanya yang lapuk.
Di dalamnya, seorang laki-laki muda membungkuk di bawah rangkaian kabel dan tabung pendingin—wajahnya berminyak, jari-jarinya cekatan.
Cyan. Seorang mekanik jenius berlisensi dari New Kyoto. Selera humornya aneh, absurd, tapi cara pikirnya melampaui zamannya. Sekarang, ia sedang mencoba membetulkan sistem gravitasi buatan dari skymotor modul.
“Jangan meledak, jangan meledak, jangan—”
BOOM.
Ledakan kecil. Kabut hijau menyembur ke segala arah. Robot vacuum di belakangnya mendeteksi bau busuk dan mulai mengoceh dalam bahasa Jepang kuno.
“Jangan nyalahin aku, kau yang ngisep pipa asam lambung palsu!” bentak Cyan ke robot itu.
“Kamu sadar kamu sedang berdebat sama robot vacuum, kan?”
Magenta berdiri di ambang pintu, hoodie kebesaran menutupi sebagian wajahnya. Rambut hitamnya diikat seadanya, dan sepatu botnya masih berlumpur dari ruang hidroponik. Di antara reruntuhan teknologi, dia adalah satu-satunya hal yang terasa konstan dalam hidup Cyan.
“Dia mulai duluan,” jawab Cyan, masih jongkok.
“Kalau kamu kalah debat sama mesin bersih-bersih, kita harus pikir ulang masa depanmu,” balas Magenta, duduk di atas kursi bekas.
Meski nada suaranya santai, matanya memperhatikan Cyan dengan saksama—campuran perhatian, kecemasan, dan kebanggaan yang tak pernah ia ucapkan.
“Masih mikirin proyek Bulan?” tanyanya.
Cyan mengangguk pelan. “Ada peluang terbuka. Penambangan air. Koloni mandiri. Dan… mungkin, tempat baru untuk mulai hidup.”
Magenta menghela napas. “Bumi aja belum selesai beresin krisis atmosfer. Semua orang takut bergerak. Tapi kamu malah mau bikin peradaban?”
“Kalau semua orang takut… seseorang harus nekat duluan,” gumam Cyan.
Magenta menatapnya beberapa detik, lalu tersenyum kecil.
“Kalau kamu pergi ke Bulan... aku ikut.”
Cyan terdiam. “Kamu serius?”
“Aku bisa santai soal banyak hal, Cyan. Tapi bukan soal ini.”
"Apa kamu punya seseorang buat menjaga kamu?"
"Tidak"
"Pacar?"
"Tidak"
"Teman?,rekan? Sahabat?"
"Oke , kamu menang kak, silahkan ikut.-
Tapi kalau ada apa-apa itu bukan tanggung jawab ku" Cyan mengalah dari argumen kakaknya yang tidak mungkin dia pernah menangkan.
"Bukan kamu yang bertanggung jawab atas aku , tapi aku lah yang bertanggung jawab atas dirimu yang ceroboh"
Magenta mengusap rambut adik sepupunya yang kusut dan mencium pipinya.
**
Tiga hari kemudian. Cyan menerima pesan.
Di layar hologram kecil yang berkedip-kedip, muncul wajah tua Dr. Helix—ilmuwan eksentrik yang dulu pernah jadi dosen tamu di akademinya. Suaranya serak, nyaris seperti rekaman dari masa lalu.
“Cyan. Jika kamu menonton ini… maka aku sudah tidak ada. Dan itu artinya… kamu terpilih.”
Cyan dan Magenta duduk berdampingan dalam kegelapan ruangan, cahaya biru dari hologram memantul di wajah mereka.
Hening.
“Aku meninggalkan padamu sebuah teknologi. Sebuah kunci untuk membuka masa depan yang mereka tolak. Dan dana… yang cukup untuk memulai sesuatu besar.”
“Jangan bangun kerajaan. Bangun harapan.”
Sebuah Log panjang tiba-tiba keluar ke layar komputer Cyan , sangat panjang.
Kemudian pesan berakhir. Hologram padam. Keheningan masih menyelimuti ruangan.
Cyan masih menatap kosong.
“Gila,apa maksudnya” bisiknya.
Magenta berdiri dan berjalan ke arah jendela stasiun, menatap bumi yang perlahan berputar di bawah sana—separuh diliputi awan badai, separuh lainnya terbakar cahaya jingga dari Matahari.
“Gila atau nggak… kamu nggak akan jalan sendirian.”
Cyan menatapnya. Matanya gemetar. “Ini bakal melawan seluruh Pemerintah Bumi, Mag.”
“Kalau kamu pikir itu bakal bikin aku mundur, berarti kamu masih belum mengerti tentang diriku"
**
Beberapa minggu kemudian...
Kapsul buatan sendiri mereka mendarat di sisi gelap Bulan. Angin tak bersuara menyapu permukaan debu halus, dan dunia serasa hening—seolah tidak ada hukum Bumi yang berlaku di sini.
Magenta melangkah tepat di belakang Cyan saat pintu udara terbuka. Helmnya retak sedikit, bekas uji coba gila mereka bertahun lalu. Tapi senyumnya tidak retak sedikit pun.
“Kita benar-benar di sini,” ujar Cyan.
“Ini bukan sekadar proyek, Cyan,” bisik Magenta sambil menatap cakrawala abu-abu.
“Ini awal dari sesuatu yang lebih besar.”
Cyan memegang tangan kakak sepupunya dengan erat .
Di depan mereka terdapat batu monolit silver yang ditengahnya terdapat layar .
Tertutup debu bulan ,
Tapi jika diperhatikan dengan seksama masih terlihat LED merah biru di sudut sudut nya.
Cyan merasa jantungnya berdegup kencang saat mereka melangkah lebih dekat ke monolit itu. Setiap langkah terasa berat, seolah beban masa lalu dan harapan masa depan menyatu dalam diri mereka. Magenta menepuk bahunya, memberi semangat. “Lihat, ini adalah kesempatan kita untuk menciptakan sesuatu yang berbeda. Kita bisa memulai dari sini, dari awal yang baru.” Cyan mengangguk, meski keraguan masih menyelimuti pikirannya. "Tapi bagaimana jika kita gagal? Semua ini bisa jadi sia-sia." Magenta tersenyum, sebuah senyuman yang penuh keyakinan. “Kegagalan adalah bagian dari proses. Yang penting adalah kita berani mencoba.” Dengan tekad baru, Cyan mendekati layar yang tertutup debu. Dia mengusap permukaan dingin itu, dan LED mulai berkedip-kedip, seakan merespons sentuhannya.
“Siap?” tanya Magenta. Cyan menarik napas dalam-dalam, mengingat pesan Dr. Helix. “Kita tidak hanya membangun harapan, kita membangun masa depan.” Mereka berdua saling menatap sebelum Cyan menekan tombol di layar. Dalam sekejap, data dan informasi mulai mengalir, membentuk gambaran jelas tentang apa yang bisa mereka capai. Mereka merasakan getaran energi yang kuat, seolah semangat para pendahulu ikut menyertai langkah mereka.
Dari layar monolit, sebuah peta holografik muncul—struktur kuno tertanam di bawah permukaan Bulan, terlupakan oleh sejarah, tapi penuh potensi. Magenta terpukau. “Ini bukan cuma teknologi... ini warisan.” Cyan mengangguk, pelan-pelan mulai memahami skala misi mereka. Data dari Dr. Helix menunjukkan bahwa tempat ini dulunya adalah stasiun riset era kolonisasi pertama, ditinggalkan karena konflik internal. Sekarang, itu bisa jadi fondasi awal dunia baru. Angin diam Bulan menyelimuti mereka, seolah mengundang untuk melangkah lebih jauh. “Kita bukan lagi pelarian,” ucap Cyan pelan. “Kita pionir.” Magenta tersenyum, matanya berkaca-kaca. “Ayo kita mulai.”
Dalam momen itu, Cyan dan Magenta tahu bahwa perjalanan mereka baru saja dimulai, dan tantangan besar menanti di depan.
---