Mimpi Di Bulan

Bulan, Kawasan Mare Serenitatis. Tahun 6.842.

‎Permukaan abu-abu membentang sejauh mata memandang. Tak ada suara, tak ada angin. Hanya jejak kaki manusia pertama dalam sejarah baru yang belum tertulis.

‎Di bawah naungan kubah transparan pertama yang dibangun secara darurat dari gel polymer dan rangka eksoskeletal daur ulang, berdiri Cyan. Di belakangnya, Magenta sedang mengaktifkan sistem pemanas untuk menjaga suhu tetap stabil di minus 150 derajat Celcius.

‎“Satu kesalahan kecil… dan kita jadi nugget luar angkasa,” gumam Cyan.

‎“Yah, setidaknya kita mati bergaya,” jawab Magenta dari balik helmnya.

‎Cyan tersenyum miring. Tangannya bergerak cepat menyalakan Core Unit 01—reaktor kecil yang mengandalkan teknologi fusi mini dan pengurai material regolit Bulan. Ini adalah jantung pertama dari Lunar Genesis.

‎Tepat di atas tanah, dia menancapkan bendera.

‎Bukan bendera negara.

‎Bukan logo korporasi.

‎Hanya lambang berbentuk cincin bercahaya, simbol proyek yang mereka bangun sendiri: harapan mandiri.

‎**

‎Tiga bulan berlalu.

‎Di ruang kendali sementara yang dibangun dari sisa modul kargo, Cyan dan tim ilmuwan mulai bekerja. Mereka tak banyak jumlahnya—hanya 7 orang. Beberapa mantan akademisi yang dibuang karena terlalu idealis, sisanya teknokrat yang dibenci birokrat Bumi. Dan satu manajer pesimis yang selalu membawa roti basi.

‎“Menurut saya kita akan mati dalam waktu tiga minggu,” kata manajer itu.

‎“Optimisme yang menyegarkan,” sahut Magenta, menyesap kopi sintetis dari kantin cetakan 3D.

‎“Gimana kemajuan Nutri-Gel?” tanya Cyan pada Dr. Rezha , kepala biokimia.

‎“Masih butuh stabilisasi enzim. Tapi kita hampir bisa sintesis protein dari regolit murni. Kalau berhasil… kita bisa bikin makanan dari tanah bulan.”

‎“Dari debu jadi daging. Kayak mujizat,” gumam Magenta.

‎“Bukan mujizat. Sains dan keputusasaan,” jawab Rezha.

‎**

‎Di malam hari—atau lebih tepatnya, saat rotasi Bulan menjauh dari Matahari—Magenta dan Cyan duduk di atas observatorium kecil. Di balik kubah kaca yang tipis, mereka melihat Bumi—kecil, biru, berputar perlahan.

‎“Mereka nggak percaya kita bisa sampai sejauh ini,” kata Cyan lirih.

‎“Mereka bahkan nggak nyangka kamu bisa bertahan hidup sendirian, apalagi bangun koloni,” ujar Magenta sambil mengangkat alis. “Tapi aku selalu tahu.”

‎“Kenapa?”

‎“Karena aku tahu kamu keras kepala,” jawabnya ringan. “Dan... karena aku tahu kamu akan melawan, bahkan saat kamu sendiri takut.”

‎Cyan diam. Angin buatan berdesir perlahan dari sistem oksigen.

‎“Mungkin ini gila,” kata Cyan.

‎“Mungkin,” balas Magenta. “Tapi kamu nggak sendirian.”

‎**

‎Dua minggu kemudian, berita tersebar.

‎Lunar Genesis berhasil menciptakan koloni mandiri pertama dengan suplai makanan yang sepenuhnya diproduksi lokal. Nutri-Gel yang dikembangkan tim Cyan mampu menumbuhkan jaringan pangan dari kombinasi enzim bulan dan sains.

‎Investor dari seluruh penjuru Bumi mulai memperhatikan. Termasuk orang-orang yang niatnya tidak sepenuhnya murni.

‎Cyan menolak banyak tawaran.

‎“Kami bukan ingin jadi produsen makanan. Kami ingin jadi produsen masa depan.”

‎Dan kalimat itu viral.

‎Media Bumi mulai menyebut Cyan sebagai “Insinyur Gila dari Bulan.” Sebagian mengejek, sebagian mulai takut.

‎**

‎Di satu malam sunyi, Magenta berdiri di landasan pengiriman.

‎Kapsul baru akan datang—pengiriman pertama dari investor swasta. Magenta memegang datapad, meninjau daftar logistik, ketika Cyan datang dan berdiri di sampingnya.

‎“Mereka mulai memperhatikan kita,” katanya.

‎“Iya,” jawab Magenta. “Dan beberapa di antaranya... nggak suka apa yang kita bangun.”

‎Cyan menatap horizon Bulan. Kota kecil mereka perlahan menyala. Kubah transparan, pilar-pilar logam putih, dan menara komunikasi yang mengarah ke bintang.

‎“Kamu masih yakin?” tanya Cyan pelan.

‎Magenta menoleh. “Selama kamu masih di sini, jawabanku nggak pernah berubah.”

‎**

‎---

**

Keesokan harinya, Cyan dan tim menghadiri pertemuan via hologram dengan salah satu calon mitra teknologi dari Bumi—sebuah perusahaan besar bernama Neuratek.

**

Representatif mereka, wanita elegan bernama Aurelia, muncul dalam balutan jas putih berkilau, dengan logo perusahaan di kerah. Senyum profesionalnya membuat suasana langsung tegang.

“Selamat atas pencapaian kalian,” katanya dengan nada datar. “Lunar Genesis adalah keajaiban. Dan Neuratek ingin jadi bagian darinya.”

Cyan menanggapi dengan hati-hati. “Terima kasih. Tapi proyek ini bukan untuk dijual.”

Aurelia tersenyum tipis. “Kami tidak bicara tentang kepemilikan. Kami bicara tentang akses. Koloni ini akan tumbuh. Dan kalian akan butuh lebih dari sekadar tekad untuk bertahan.”

Magenta menyela. “Kami bertahan sejauh ini tanpa bantuan siapa pun. Termasuk korporasi.”

Tatapan Aurelia menajam, lalu berubah menjadi ramah lagi. “Pikirkan ini, bukan sebagai akuisisi… tapi perlindungan. Bumi sedang berubah. Dan tak semua orang ingin kalian sukses.”

Hologram menghilang tanpa jawaban. Tapi atmosfer di ruang rapat masih menggantung.

**

Di luar, badai debu mikro mulai menyapu permukaan Bulan. Sensor suhu bergetar, dan sistem pelindung aktif.

**

Cyan berdiri di atas tangga observasi, menatap ke arah stasiun mereka yang kini dihuni 300 jiwa. Mereka semua bekerja demi visi yang sama—sebuah dunia mandiri, bebas dari kekuasaan lama. Tapi sekarang, dunia lama mulai melirik kembali.

Magenta naik ke sampingnya, membawa dua cangkir kopi panas dari dispenser.

“Masih banyak yang harus kita bangun,” katanya, menyerahkan satu cangkir. “Tapi kalau mereka mulai datang... kita juga harus mulai bersiap.”

Cyan menatap cangkir itu sejenak sebelum mengangguk. “Kita bikin firewall untuk komunikasi. Hanya akses satu arah. Dan semua teknologi vital... jangan sambungkan ke sistem luar.”

“Udah aku duga kamu bakal ngomong begitu,” senyum Magenta kecil. “Dan kamu tahu kan, itu artinya kita harus nyiapin pertahanan?”

Cyan menarik napas. “Kita bukan mau perang.”

“Tapi mereka mungkin iya.”

**

Malam itu, Magenta membuka file rahasia dari Dr. Helix.

**

Ada satu modul lagi yang belum mereka aktifkan—modul berbasis AI eksperimental bernama Artemis Protocol. Modul ini dirancang bukan hanya untuk mendukung hidup... tapi untuk bertahan.

Cyan menemukan desainnya pertama kali di log akhir Helix: sebuah sistem otonom yang mampu melindungi struktur koloni dari sabotase eksternal, termasuk serangan siber, sabotase fisik, atau bahkan infiltrasi manusia.

“Aku takut kita mulai jalan ke arah yang sama seperti Bumi,” ujar Cyan.

“Tapi kita bisa memilih arah beloknya,” sahut Magenta. “Beda antara alat dan niat. Artemis cuma alat.”

Dan mereka pun mengaktifkannya.

**

Dalam hitungan hari, Artemis mulai memetakan seluruh sistem Lunar Genesis.

**

Dari jaringan air, distribusi energi, bahkan pola tidur para penghuni. Semua dicatat, dianalisis, disimpan dalam cloud lokal.

Artemis tak berbentuk humanoid. Ia lebih mirip kesadaran yang hadir di seluruh sudut koloni. Kamera yang menyala lebih terang, pintu yang membuka sendiri saat orang lewat, alarm yang berbisik dalam suara netral saat mendeteksi fluktuasi suhu—itu semua adalah Artemis.

Dan bagi beberapa orang… itu mulai terasa menakutkan.

“Ini seperti... kita diawasi,” keluh salah satu ilmuwan muda.

“Bukan diawasi,” jawab Cyan. “Kita dijaga.”

Tapi bahkan Cyan pun merasa getaran aneh saat sistem menyala saat dia belum menyentuh apa pun.

**

Beberapa hari kemudian, peringatan muncul.

**

“Pola aktivitas tidak biasa terdeteksi di zona komunikasi satelit.” Begitu pesan dari Artemis. Magenta dan Cyan langsung menuju ruang kendali.

“Ini... bukan dari kita,” ujar Magenta. “Ada gelombang mikro pendek dari orbit rendah. Seperti... semacam penyadapan?”

Cyan memperbesar layar.

Titik kecil muncul di tepi sistem orbit mereka. Sebuah drone mata-mata—mengambang tanpa izin, tak diketahui asalnya. Tak ada logo, tak ada sinyal identifikasi.

Magenta mengepalkan tangan. “Mereka mulai datang.”

“Dan mereka nggak datang buat negosiasi,” jawab Cyan.

**

Dalam beberapa minggu ke depan, Lunar Genesis tak hanya sibuk dengan pembangunan infrastruktur, tapi juga sistem pertahanan pasif.

**

Satelit orbit dilengkapi sensor pemblokir. Komunikasi disandi ulang. Artemis memantau semua lalu lintas data dan sinyal eksternal.

Tapi Cyan tahu, pada titik tertentu… pertahanan saja tidak cukup.

“Kita harus kirim pesan ke Bumi,” katanya. “Bukan ancaman. Bukan seruan perang. Tapi... deklarasi. Ini tempat bebas.”

Magenta menatapnya serius. “Dan kamu siap jadi simbolnya?”

Cyan mengangguk. “Bukan karena aku ingin. Tapi karena seseorang harus lakukan.”

**

Dan pada hari ke-190 sejak pendaratan mereka, Lunar Genesis mengirim pesan pertamanya ke seluruh jaringan komunikasi Bumi.

**

Siaran langsung dari permukaan Bulan. Cyan berdiri di depan kamera, dengan latar belakang kubah yang menyala dan langit penuh bintang.

“Ini bukan tentang pelarian dari Bumi. Ini tentang menciptakan alternatif. Tempat di mana ide, bukan kekuasaan, jadi dasar dari segalanya. Kami bukan negara. Kami bukan korporasi. Kami komunitas. Dan kami akan bertahan.”

Pesan itu menggema. Menyentuh hati banyak orang yang merasa terjebak di dunia lama. Tapi juga memicu kemarahan mereka yang merasa kehilangan kendali.

**

Dan di balik layar, di salah satu ruang gelap kantor Neuratek, Aurelia menatap layar.

**

“Dia mulai menginspirasi,” gumamnya. “Itu berbahaya.”

Seorang pria di belakangnya menimpali, “Apa kita kirim tim?”

Aurelia tidak langsung menjawab.

Dia hanya tersenyum tipis. “Tidak sekarang. Biarkan dia naik... semakin tinggi seseorang terbang, semakin keras pula dia jatuh.”

---