Koloni Bulan Berkembang

Mare Serenitatis, Bulan. Tiga Minggu Setelah Pengiriman Pertama.

Pagi simulasi menyinari kota kecil yang kini tak lagi sunyi.

Kubah-kubah tambahan telah berdiri. Sebagian digunakan sebagai tempat tinggal, laboratorium, gudang, bahkan satu dijadikan taman eksperimen—isi tumbuhan hasil rekayasa genetik dan sihir pemurni atmosfer. Jalan-jalan sempit antar modul mulai ramai oleh para teknisi, ilmuwan, dan para pekerja migran yang datang dari orbit bawah Bumi.

Lunar Genesis resmi bukan lagi proyek pribadi Cyan. Ini mulai berubah jadi peradaban mini.

**

Di ruang kontrol pusat, Cyan berdiri di tengah layar holografik yang menampilkan peta koloni. Sinyal dari berbagai sektor masuk bertubi-tubi: permintaan energi tambahan, gangguan tekanan udara di zona timur, konflik jadwal rotasi shift malam.

“Kita resmi kacau balau,” gumamnya sambil menyesap kopi dari tabung hisap.

Di sebelahnya, Magenta—dengan rambut dikuncir dan seragam teknisi lusuh—mengatur logistik dengan cepat. Wajahnya serius, tapi matanya tenang.

“Kacau artinya hidup,” ujarnya. “Sistem organik selalu mulai dari kekacauan.”

“Kamu baru baca buku sistem biologis lagi, ya?”

“Aku bahkan bawa kutipan buat bikin kamu tambah stres,” katanya sambil menyeringai.

Mereka tertawa kecil. Meski lelah, kebersamaan mereka jadi pelindung dari tekanan luar. Di tengah teknologi dan ruang vakum, interaksi manusia tetap jadi jantung koloni ini.

**

Masalah pertama datang dalam bentuk yang tak terduga: politik internal.

Beberapa investor yang sebelumnya hanya diam, kini mulai ikut campur. Mereka ingin agar Lunar Genesis mengubah struktur menjadi korporasi yang berbasis profit. Salah satu dari mereka, seorang pengusaha agresif dari zona Eurasia, mengirim delegasi ke Bulan.

“Kami pikir, proyek ini bisa menghasilkan triliunan dalam satu dekade jika dikomersialisasikan,” kata mereka dalam rapat holografik. “Bayangkan Nutri-Gel sebagai produk massal.”

Cyan menatap mereka lama. “Kami tidak di sini untuk bikin toko roti luar angkasa.”

Magenta melipat tangan. “Kami sedang membangun habitat. Bukan supermarket.”

Delegasi itu tersenyum tipis. “Bumi tidak akan membiarkan Anda tumbuh terlalu bebas. Kecuali Anda bermain dalam sistem.”

**

Dan memang, tekanan dari Pemerintah Bumi mulai terasa.

Awalnya halus—regulasi impor dan ekspor. Lalu datang inspeksi. Setelah itu, tuduhan tentang “eksperimen genetik tanpa lisensi.”

“Mereka mencari celah,” kata Rezha. “Kalau ini berlanjut, mereka akan menjatuhkan sanksi.”

“Atau lebih buruk,” tambah manajer pesimis. “Mereka akan anggap kita ancaman.”

“Kalau kita terus bertahan tanpa tunduk, mereka mungkin akan memutus suplai utama,” tambah Magenta pelan. “Kita terlalu mandiri buat selera mereka.”

**

Tapi di tengah tekanan itu, magnetisme Cyan dan Magenta makin terlihat.

Dalam setiap rapat, setiap kebijakan, Cyan selalu meminta pendapat Magenta. Di mata banyak orang, dia mulai dilihat bukan hanya sebagai teknisi... tapi sebagai pemimpin informal.

Magenta juga mulai mendapatkan pengikut. Warga koloni melihatnya sebagai penengah, pemberi arah. Seseorang yang—meski tidak memegang jabatan resmi—memancarkan aura kepemimpinan alami.

Orang-orang mulai mengukir nama mereka di dalam cerita sehari-hari koloni. Anak-anak kecil—anak para teknisi dan ilmuwan yang dibawa ke sini—menyebut kubah tempat Magenta biasa bekerja sebagai “Rumah Ibu Kedua.” Bahkan Rezha yang skeptis, diam-diam mulai mendengar nasihat Magenta lebih dari laporan resmi.

**

Pada akhir bulan keenam sejak koloni didirikan, perayaan kecil diadakan.

Mereka menyalakan lampu di seluruh kubah. Ada musik, tarian antigravitasi, bahkan makanan pertama dari hasil panen Nutri-Gel yang diolah menjadi sup nabati dan roti sintetis. Sederhana, tapi penuh harapan.

Kubah observasi dihias dengan lampu warna-warni, seperti pesta kecil di pinggir galaksi. Beberapa anak berlarian dalam gravitasi rendah, tertawa karena bisa melompat lebih tinggi dari biasanya. Seorang pria tua—mantan peneliti dari stasiun luar angkasa—membacakan puisi yang ia tulis tentang Bumi, tentang rindu, dan tentang harapan masa depan yang tak bergantung lagi pada planet asal.

Di balkon pusat observasi, Cyan berdiri berdua dengan Magenta, memandangi kerlip lampu kota kecil yang telah mereka bangun.

“Apa kamu pernah nyangka kita bakal sampai sejauh ini?” tanya Magenta.

“Enggak. Tapi kamu percaya sejak awal.”

“Aku percaya kamu… dan ide yang kita bangun.”

Cyan menatapnya lama. Ada jeda, tapi belum ada kata cinta. Masih terlalu awal. Tapi juga terlalu dalam untuk sekadar “terima kasih.”

**

Malam itu langit luar tampak lebih jernih. Jauh dari polusi, dari atmosfer tebal, bintang-bintang seperti bisa disentuh tangan.

Beberapa warga tidur lebih nyenyak malam itu. Ada yang menuliskan surat untuk keluarga di Bumi. Ada yang menempelkan foto anaknya di dinding tempat tidur modul. Ada pula yang hanya duduk diam di luar kubah, mengenakan setelan antariksa, memandangi Bumi dari kejauhan. Diam-diam menangis.

Karena di balik semangat membangun koloni, ada rindu yang tak bisa dikirim lewat kargo.

**

Tapi koloni juga berubah pelan-pelan. Muncul kelompok-kelompok kecil dengan agenda berbeda. Ada yang ingin mempercepat kemerdekaan penuh dari Bumi. Ada yang lebih memilih tunduk dan menjadikan koloni sebagai "cabang luar angkasa" negara asal mereka.

Di balik tawa dan perayaan, gema ketegangan tetap bergema.

Cyan mulai mencatat lebih banyak nama di daftar rapat darurat. Magenta menghabiskan malam-malam panjang berbicara dengan warga satu per satu, memastikan tak ada yang merasa ditinggalkan.

**

Di suatu sore simulasi, Cyan berjalan sendirian di taman eksperimen. Ia memperhatikan tanaman jagung biru—hasil rekayasa silang dengan bahan alien yang ditemukan dari asteroid—berkembang pelan dalam tanah sintetis.

Langkah Magenta terdengar dari belakang.

“Kamu istirahat sebentar?” tanyanya.

Cyan mengangguk, lalu duduk di bangku kecil. Hening beberapa saat.

“Kamu tahu,” ujar Cyan akhirnya. “Aku nggak pernah nyangka kalau 'memulai koloni' berarti jadi orang tua untuk ratusan manusia yang semua punya ide masing-masing.”

Magenta tersenyum. “Tapi kamu juga nggak pernah mundur.”

“Karena kamu selalu ada.”

Kali ini, tak ada jeda. Magenta hanya menggenggam tangannya perlahan.

Dan di antara cahaya lembut simulasi matahari, dua orang manusia—tak sempurna, tapi saling mempercayai—melanjutkan membangun peradaban baru. Satu langkah, satu harapan, satu cinta kecil yang diam-diam tumbuh di antara bintang-bintang.

---

Beberapa hari setelah perayaan, sebuah pesan diam-diam masuk ke sistem komunikasi lokal.

Bukan pesan biasa—tak terdeteksi oleh sistem pusat. Dikirim dari orbit rendah, dengan enkripsi lawas yang hanya bisa dibaca oleh sistem manual buatan Cyan. Pesannya singkat, tapi cukup membuatnya terdiam beberapa menit setelah membacanya:

"Ada faksi yang ingin mengganti kepemimpinan koloni. Mereka ingin jalur cepat menuju laba, dan menganggapmu terlalu idealis. Hati-hati."

Cyan tidak langsung memberitahu siapa pun. Tapi sejak hari itu, ia mulai memperhatikan lebih dalam—pola interaksi di tim logistik, percakapan singkat yang berhenti saat dia lewat, dan orang-orang baru yang terlalu cepat mendapatkan akses ke sektor vital.

Di ruang makan koloni, Magenta menyadari perubahan sikapnya.

“Kamu terlalu tenang, itu mencurigakan,” ujarnya sambil menyeruput sup Nutri-Gel.

Cyan hanya tersenyum kecil. “Kadang yang paling tenang adalah yang paling panik.”

“Ceritain. Aku tahu kamu nyimpen sesuatu.”

Dia menatap Magenta. Lama. Lalu membuka pesannya, menunjukkannya secara langsung.

Setelah membacanya, Magenta tak bicara beberapa detik. Wajahnya berubah serius.

“Kalau ini benar… kita harus mulai mengunci sistem inti. Mungkin aktifkan protokol isolasi mandiri.”

“Dan kalau salah?”

“Setidaknya kita punya fondasi kalau badai benar-benar datang.”

**

Malam itu, mereka bekerja bersama lebih lama dari biasanya. Mengatur ulang prioritas akses, memeriksa ulang semua log sistem, menyembunyikan beberapa cadangan oksigen dan makanan di modul tersembunyi. Tak banyak bicara. Tapi gerakan mereka sinkron. Seperti dua otak dalam satu tubuh.

“Sebenarnya aku selalu ingin hidup damai,” kata Cyan tiba-tiba. “Aku bukan orang yang suka konflik.”

“Kamu bukan. Tapi kamu selalu bertahan ketika dunia memaksamu untuk bertarung,” jawab Magenta lembut. “Itu bedanya.”

Cyan menoleh. Ada kehangatan dalam suaranya. Kelembutan yang jarang muncul di tengah mesin dan sistem. Mereka saling memandang dalam diam, dalam ruang sempit yang hanya diisi detak jantung dan suara ventilasi.

Dan malam itu, untuk pertama kalinya, Cyan menggenggam tangannya lebih lama.

**

Sementara itu, di modul lain, diskusi rahasia mulai muncul. Beberapa teknisi yang kecewa dengan sistem rotasi kerja yang ketat mulai mempertanyakan kepemimpinan Cyan. Mereka bicara tentang sistem baru yang lebih “fleksibel,” tentang insentif, tentang jalur distribusi privat dengan Bumi. Uang perlahan masuk dalam obrolan.

“Kita bisa mandiri dan kaya,” ujar salah satu pemimpin kelompok kecil itu. “Kalau kita berani mengambil alih.”

Beberapa mengangguk. Beberapa masih ragu. Tapi satu hal pasti: bibit ketegangan mulai tumbuh di tanah kering Bulan.

**

Di luar, lanskap Mare Serenitatis tetap membisu.

Bulan tidak peduli pada konflik manusia, tidak pada harapan, tidak pada cinta. Tapi di antara debu abu-abu itu, sesuatu sedang berubah. Koloni kecil ini bukan lagi sekadar eksperimen. Ia telah menjadi cermin: dari mimpi terbaik manusia... dan juga dari ketamakan terburuknya.

Dan di tengah semua itu, Cyan dan Magenta masih berdiri. Belum sebagai kekasih. Belum sebagai pahlawan. Tapi sebagai dua orang yang—untuk saat ini—berani memilih idealisme, berani bertahan, dan berani percaya bahwa di Bulan pun, kemanusiaan bisa bertumbuh.

Dua minggu kemudian, langit Bulan menjadi saksi kedatangan pesawat logistik yang tidak terdaftar dalam jadwal resmi.

Cyan dan Magenta berdiri di ruang observasi, menyaksikan pendaratan itu. Tak ada lambang korporasi, tidak juga identifikasi dari Pemerintah Bumi. Hanya logo samar—segitiga hitam di atas lingkaran putih—yang membuat Cyan menghela napas berat.

“Mereka datang lebih cepat dari perkiraan,” gumamnya.

Magenta mengangguk. “Dan tidak membawa senyum.”

Begitu pesawat membuka pintunya, keluar enam orang dengan setelan antariksa khusus dan ekspresi datar. Di depan, seorang wanita bertubuh tinggi, berambut perak, membawa tablet berisi dokumen legal.

“Perkenalkan,” katanya tanpa basa-basi. “Nama saya Lavra. Saya ditunjuk sebagai pengawas baru dari dewan investor. Mulai hari ini, semua kebijakan terkait ekspor dan produksi akan melalui tinjauan kami.”

Cyan tetap tenang. “Dan bagaimana kalau kami tidak mengakui otoritas Anda?”

Lavra menatap tajam. “Maka koloni ini akan dicabut dari daftar pendanaan dan semua suplai dari orbit akan dihentikan. Kami membawa persetujuan dari 68% pemilik saham awal.”

Magenta melangkah maju. “Lunar Genesis dibangun bukan hanya dengan uang. Tapi dengan nyawa, waktu, dan harapan. Anda tidak bisa membeli semua itu.”

“Kami tidak membeli. Kami mengambil kembali kendali,” jawab Lavra dingin.

**

Rapat darurat diadakan malam itu.

Cyan duduk di tengah, wajahnya murung. Beberapa kepala divisi terlihat tegang. Rezha membuka proyeksi data pendukung: “Jika suplai diputus, kita bisa bertahan maksimal 23 hari dengan stok saat ini. Jika kita konversi sistem ke mode isolasi penuh, mungkin bisa perpanjang jadi 31 hari. Tapi tanpa energi tambahan, modul tumbuhan tidak akan tumbuh optimal.”

Salah satu teknisi yang dulu pendiam, berdiri. “Mungkin... mungkin kita sebaiknya kompromi. Kita tidak harus menyerah sepenuhnya, tapi setidaknya membuka jalur negosiasi.”

Suasana ruangan hening.

Cyan menggeleng perlahan. “Kalau kita kompromi sekarang, mereka akan menulis masa depan koloni ini tanpa kita.”

“Kita bisa menulis ulang,” balas Magenta cepat. “Tapi hanya kalau kita bertahan.”

**

Malam itu Cyan berjalan menyusuri lorong sepi ke arah modul observasi pribadi.

Ia menatap Bumi dari kejauhan. Titik biru yang dulu tampak seperti rumah, kini seperti penjaga yang sinis. Dunia yang tak pernah puas, bahkan ketika sebagian anaknya memilih pergi jauh untuk mencari ruang bernapas.

Tak lama, Magenta menyusulnya, membawa dua tabung kopi.

“Aku selalu suka tempat ini,” katanya sambil duduk di sampingnya. “Bikin semua keributan terasa jauh.”

“Kamu tahu,” ujar Cyan pelan, “kalau hari itu aku nggak ngajak kamu ikut ke Bulan, aku mungkin udah menyerah sekarang.”

Magenta tertawa kecil. “Kalau kamu nggak ngajak, aku pasti nyusul sendiri.”

Mereka tertawa bersama, kali ini lebih lama. Dalam sunyi luar angkasa, suara tawa mereka seperti nada-nada hangat di tengah kehampaan.

**

Dan di luar sana, jauh di balik kubah pelindung dan sensor tekanan, seseorang sedang menyusun rencana. Bukan hanya untuk menggulingkan Cyan, tapi juga mengambil alih seluruh sistem koloni. Tanpa suara, tanpa peringatan.

Tapi untuk malam itu, Lunar Genesis masih milik mereka.

Masih ada harapan. Masih ada waktu.

Dan mereka belum selesai.