Tidak ada yang lebih mencurigakan dari diam yang terlalu lama di pusat kendali biosfer.
Cyan tahu itu. Karena sekarang, ruang yang biasanya riuh oleh laporan panen dan obrolan teknis malah terasa seperti kapal karam.
"Output hidroponik Zona B turun delapan persen."
Suara Rezha terdengar datar, tetapi Cyan menangkap tekanan yang tak biasa. Di balik kacamata cembungnya, mata Rezha berkilat tak tenang.
"Bukan karena kurang nutrisi," lanjutnya, "melainkan karena sebagian energi dialihkan… tanpa izin."
"Ke sektor rekayasa, ya?" gumam Cyan.
Rezha tak menjawab. Tapi diamnya cukup sebagai konfirmasi.
Mereka sedang main kucing-kucingan. Dan bukan dengan binatang jinak.
Di luar habitat utama, suhu turun drastis. Tapi di dalam ruang pos pemantau teknik, udara justru terasa panas oleh emosi yang tertahan.
"Kau menyadari ini bisa dianggap sabotase, kan?" tanya Lavra tajam pada seorang teknisi senior yang baru saja keluar dari ruangannya.
Sang teknisi hanya menunduk, tak menjawab.
"Aku bisa keluarkan perintah penahanan sementara," lanjut Lavra, nadanya tenang, tapi Cyan tahu: Lavra tidak sedang berbasa-basi.
Ia seperti es yang menyelimuti amarah, dan setiap tatapannya adalah ancaman yang dibungkus protokol.
Dari balik jendela dalam, Magenta berdiri menonton. Tangannya mengepal, tapi wajahnya tetap tenang. Terlalu tenang.
"Dia hanya… mencoba memperbaiki ketidakseimbangan daya," ujarnya ketika Lavra menoleh.
"Tanpa izin."
"Karena permintaan izin akan ditolak, seperti biasa."
Magenta tidak mengangkat suara. Tapi justru karena itu, kata-katanya terasa seperti pisau yang baru diasah.
Lavra mendekat. “Kau lupa siapa yang menyelamatkan proyek ini dari pemotongan dana?”
“Dan kau lupa siapa yang membuatnya tetap hidup.”
Tatapan mereka saling mengunci. Tak ada yang mengalah. Tapi Cyan, yang berdiri sedikit di belakang, tahu: sesuatu sedang bergeser.
Malam di Bulan bukan berarti gelap. Tapi malam dalam hati orang-orang yang muak dipantau? Itu lebih gelap dari ruang vakum.
Di sektor limbah—tempat yang biasanya tak pernah disorot kamera audit—beberapa pemuda mulai membentuk lingkaran diskusi rahasia.
Tentang solar panel lama yang bisa dihidupkan kembali. Tentang air terkompresi yang bisa disuling ulang. Tentang… hidup tanpa koordinat Bumi.
"Kita sudah cukup pintar untuk bertani di kawah, bukan?" kata salah satu dari mereka.
"Kenapa kita harus terus dikendalikan seperti drone?"
Cyan berdiri di pojok, menyimak. Tak bicara. Tapi matanya bertemu dengan sepasang mata lain: milik Magenta.
Ia tahu Magenta juga mendengar.
Dan ia tahu Magenta tidak akan menghentikan mereka.
Bukan karena ia setuju. Tapi karena...
...ada rasa bersalah yang lebih besar daripada pelanggaran terhadap otoritas.
Malam itu, di bawah kubah kaca sektor konservasi, Cyan dan Magenta kembali bertemu.
Tanpa kata. Hanya saling duduk di atas panel besi yang dingin.
“Semua ini akan pecah,” ucap Magenta, lirih.
Cyan mengangguk.
“Kau takut?”
“Aku lebih takut kalau kita terus begini.”
“Begini bagaimana?”
Magenta menoleh pelan. Ada cahayanya di matanya—seperti pantulan bintang dari balik kaca tebal kubah.
“Terjebak dalam sistem yang bahkan tak bisa kita kutuk dengan lantang,” jawab Cyan akhirnya.
Mereka duduk lebih dekat. Tapi tak bersentuhan. Karena dunia mereka tak mengizinkan cinta yang kentara.
Dan dalam senyap itu, Magenta membisik, “Jangan khawatir… Jika semua ini meledak, aku ingin kau berada di sisi yang sama denganku.”
Dan jauh di sudut pangkalan, di ruang hampa informasi, satu sinyal gelap berkedip untuk pertama kalinya.
Seseorang—bukan dari koloni, dan bukan dari Bumi—akhirnya menerima pesan:
“Genesis akan dimulai ulang.”