Cyan berdiri di ruang utama—sebelumnya hanya tempat rapat kecil, kini menjadi saksi bisu tekanan yang perlahan mematikan semangat. Lavra memiringkan kepalanya, melongok ke layar holografik yang menampilkan proyeksi distribusi oksigen, produksi pangan, bahkan grafik sederhana jumlah tawa pekerja per minggu. Seolah-olah setiap senyum harus dibuktikan dengan angka yang valid.
“Seperti yang kalian lihat,” kata Lavra, suaranya lebih dingin daripada hibah uang investor, “kesenjangan antara prediksi dan realitas semakin melebar. Jika koloni ini ingin bertahan—lebih tepatnya, jika kalian ingin mempertahankan aliran dana—kalian harus memenuhi target berikut dalam dua minggu ke depan: produksi pangan naik 15%, penggunaan energi turun 10%, dan distribusi logistik minimal 99,9% bebas kesalahan. Tidak ada ruang untuk toleransi.”
Beberapa kepala divisi mengangguk tergagap, menelan ludah mereka. Maya—kepala pertanian—berusaha tersenyum, meski di sudut matanya tampak kerutan kecemasan. Rezha, di barisan belakang, merapatkan kedua tangannya, seolah siap mengangkat perisai jika perlu.
Ketika rapat usai, Lavra meninggalkan ruangan tanpa menoleh. Pintu otomatis tertutup dengan bunyi lembut, menyisakan gema pertemuan yang sekarang menjadi hantu bagi semua yang hadir.
Di lorong sempit di balik pintu ruang rapat, Cyan dan Magenta berdiri berhadapan. Lampu-lampu terang di atas kepala menyorot wajah mereka, menimbulkan bayangan panjang di lantai logam.
“Mereka memberi kita dua minggu,” ucap Magenta pelan, suaranya nyaris tenggelam dalam dengungan sistem pendingin. Ia menepuk saku jaketnya, memeriksa tablet tempat ia menyimpan data rahasia dan rencana kontingensi. “Kita perlu menghitung ulang semuanya—mulai dari stok bibit jagung hingga frekuensi shift kerja di laboratorium.”
Cyan mengangguk, menyesap udara buatan. “Aku sudah memeriksa jalur cadangan oksigen. Semua baik-baik saja, tapi kita butuh lebih: proyeksi panen kita harus melebihi 15%—setidaknya 18%. Dan itu artinya, metode pemupukan yang kita gunakan harus diubah.”
Magenta menarik napas dalam. “Aku akan panggil Maya dan Lia. Kita susun strategi bersama—di ruang kebun mikro, diam-diam.”
Cyan tersenyum tipis, lalu meraih tangan Magenta, membelai punggung telapak tangannya dengan lembut. “Kamu… baik-baik saja?”
Magenta menoleh, matanya redup. “Aku… cemas. Bukan hanya soal koloni. Kita berdua… ini semakin sulit. Aku takut cinta kita jadi tertimbun di bawah tumpukan formulir dan grafik.”
Cyan mengusap pelipisnya, menahan detik kecemasan yang menukik ke paru-parunya. “Aku tahu. Tapi kita memiliki satu kelebihan: kita bisa saling mengisi. Ketika rasanya semua memaksa kita untuk menjadi angka, kita tetap manusia. Kita akan melewati ini—bersama.”
Mereka berdua bertukar senyuman yang hampir seperti janji, kemudian berjalan menyusuri lorong ke arah kubah kebun mikro—tempat di mana harapan dan rahasia mereka bertumbuh.
Di kubah kebun mikro, Maya sudah menanti dengan beberapa lembar catatan. Lia berdiri di samping rak rak kecil yang berisi bibit jagung biru, sementara beberapa petani muda sibuk memeriksa kelembapan udara. Begitu Cyan dan Magenta tiba, suasana seketika menjadi lebih serius.
Maya melongok ke Cyan, kemudian membuka presentasi kecil di tablet-nya. “Ini data panen terakhir,” katanya. “Kenaikan rata-rata hanya 12%. Di bawah target Lavra. Untuk mencapai 18%, kita perlu menggandakan intensitas lampu LED, namun itu akan meningkatkan konsumsi energi sebesar 7%—berlawanan dengan target penurunan 10% yang Lavra minta.”
Rezha, yang tiba lebih belakangan, menampilkan grafik koneksi listrik dari turbin cadangan. “Kita bisa alihkan sebagian energi dari zona non-produksi—misalnya lab sekunder dan ruang rekreasi—ke zona pertanian. Tapi itu akan membuat penelitian di lab terhenti selama satu minggu.”
Lia menunduk, mengelus piringan data di tangannya. “Kita perlu memastikan stabilitas mental warga. Target itu berat. Kita tidak bisa terus saja menekan mereka dengan angka. Banyak yang sudah lelah.”
Magenta mengangguk perlahan. “Bagus. Jadi rencana kita: fokus pada dua titik utama—produksi dan distribusi. Saya akan koordinir petani untuk menerapkan metode pemupukan baru—berbasis mikro-nutrien intensif. Maya, kamu bisa memimpin itu. Kemudian, Rezha, alihkan energi semalam sini, dan geser peneliti ke shift siang. Lia, tolong siapkan sesi pendampingan emosional dan penyuluhan tentang pentingnya kerja kolektif.”
Lia tersenyum kecil. “Baik. Aku akan jadwalkan sesi di setiap kubah—besar dan kecil. Biar warga merasa didengar, bukan hanya diukur sebagai statistik.”
Cyan menatap layar holografik yang menampilkan zonasi kebun. “Aku akan kirim sinyal ke Orion-7—mereka janji kirim panel surya cadangan dalam tiga hari. Jika kita bisa memperkecil defisit energi dengan itu, kita punya ruang untuk menaikkan lampu LED. Jadi, sementara informasi itu belum tiba, kita lakukan yang terbaik dengan yang ada.”
Magenta mengangguk mantap, lalu meraih tangan Cyan. “Kita akan lakukan ini. Kita bisa.”
Saat mereka semua menoleh, di antara rak-rak tanaman jagung biru yang terpendar lembut, Magenta dan Cyan saling beradu mata—seakan berkata, “Aku memercayaimu.”
Ketika malam tiba dan sistem sirkulasi mengheningkan udara, Cyan berjalan sendirian ke balkon observasi. Di sana, ia membuka tablet, menelusuri pesan singkat dari Orion-7: perkiraan waktu kedatangan panel surya, sertifikat kualitas, dan dua baris catatan yang masih samar: “Jika kalian membutuhkan lebih banyak tenaga, coba cek modul eksperimen barat—ada prototipe turbin gravitasi di sana. Kami siap bantu.”
Cyan tersenyum pahit. “Cinta kita diuji oleh angka—tapi kita ingin mempertahankan kehidupan.” Ia mengetuk layar, menambahkan catatan: “Koordinasi dengan Magenta—implementasi prototipe gravitasi segera.”
Di saat yang sama, Magenta berjalan tergesa ke lorong servis, meremas jaketnya. Di sebuah sudut, ia bertemu dengan seorang teknisi muda bernama Arin, yang memandangi layar kecil berisi kode akses ORACLE.
Arin menunduk saat Magenta melintas, lalu meneguk ludah. “Nona Magenta, saya… saya menemukan beberapa anomali di jalur distribusi. Sepertinya ada upaya penyusupan dari akun yang tidak terdaftar.”
Magenta berhenti, merampingkan matanya ke arah Arin. “Anomali apa?” tanyanya lembut, namun suaranya berat. Ia meletakkan tablet di samping Arin dan menatap data di layar.
Arin menunjuk titik-titik merah kecil yang merambat di peta jaringan koloni. “Ini dia. Jika tidak kita tangani sekarang, Lavra akan menganggap sistem kita tidak aman—dan itu bisa jadi alasan baginya untuk memotong akses.”
Magenta menarik napas panjang. “Cyan harus tahu ini secepatnya. Terima kasih, Arin. Diam-diam—jangan sampai Lavra curiga.”
Arin mengangguk, wajahnya tegang. Magenta kemudian berlari ke balkon observasi, menembus udara sintetis yang dingin. Di sana, Cyan masih memandangi Bumi, seperti hendak menggenggam bayangannya yang jauh.
Magenta menghampiri, tangan mereka bertemu. “Cyan, ada hal baru: penyusupan data di ORACLE. Aku sudah peringatkan Arin untuk menyiapkan isolasi jalur, tapi kita perlu tindakan lebih cepat.”
Cyan menoleh, matanya menyala. “Kita harus tutup jalur itu sekarang. Kembalikan aliran ke grup inti kita—blokir semua akses publik. Aku akan perintahkan tim teknis malam ini juga. Ini bukan soal panen lagi—ini soal siapa yang mengendalikan tulang punggung koloni.”
Magenta memeluk lembut lengan Cyan, lalu melepasnya. “Setelah ini, kita juga harus bicara—tentang kita, tentang… apa yang akan terjadi jika semuanya runtuh.”
Cyan menatap Magenta, suaranya lirih, “Aku berjanji, apa pun yang terjadi, aku tidak akan pergi. Aku menolak meninggalkanmu sendirian di sini.”
Mereka berdua berdiri di tepi balkon, menatap bintang-bintang buatan yang berkelip teduh. Debu abu-abu di luar sana tampak seperti samudra gelap—tak peduli pada drama manusia di dalam kubah. Namun di balkon kecil itu, harapan mereka tumbuh, meski di bawah ancaman yang semakin nyata.
Keheningan malam pecah oleh bunyi notifikasi dari tablet Cyan. Pesan singkat Orion-7: “Prototipe turbin gravitasi akan diuji coba dalam 48 jam. Kirim lokasi lapangan. Kami butuh data ritme produksi harian.”
Cyan mengusap layar, lalu memandang Magenta. “Kita punya rencana besar. Turbin itu bisa membantu. Tapi kita tidak boleh terjebak menunggu—setiap detik pergerakan Lavra harus kita antisipasi.”
Magenta mengangguk, matanya memancarkan tekad. “Besok pagi, kita mulai kerja ekstra: Mari cek modul barat, siapkan data uji coba, dan… Magari kita juga harus membuka sesi ‘tenang saja’ untuk warga. Biar mereka tahu kami masih punya kendali.”
Cyan menyentuh pipi Magenta, membisikkan satu kalimat yang hanya keduanya dengar: “Kita akan melaju, bersama.”
Mereka pun melangkah kembali ke interior kubah, menembus lorong yang remang, memulai satu babak baru dalam perjuangan—antara harapan dan sistem yang terus mengintai.
Bab 10 berakhir di sini, dengan ketegangan yang semakin menggantung: ancaman Lavra, rencana panen yang mendesak, serta hubungan terlarang yang menjadi kekuatan sekaligus potensi kelemahan. Tiap langkah ke depan harus dipertimbangkan: demi koloni dan untuk satu sama lain.