Langit Abu dan Cahaya Tersembunyi

Waktu di koloni seperti lupa caranya berjalan. Sinar artifisial yang memancar dari kubah pelindung hanya mengingatkan para penghuni bahwa sistem siklus siang-malam masih bekerja. Tapi rasanya, untuk Cyan, waktu berhenti sejak ruang rapat hari itu.

Ia menatap layar di tangannya tanpa benar-benar membaca data. Rezha duduk di seberangnya, gelisah, mengetukkan pena pada meja logam, sementara suara sepatu Lavra yang mendekat di lorong terdengar seperti ancaman tak terlihat.

“Kau sadar, kan,” kata Rezha pelan, “semua ini hanya pembukaan. Setelah audit, pasti ada tekanan pengalihan kendali.”

Cyan mengangguk pelan. “Dan aku rasa Aurelia tahu.”

Pintu otomatis membuka, dan Lavra masuk. Seolah gravitasi ruangan berubah. Matanya menelisik semua sudut, bahkan tanaman sintetis di pojokan ruangan terasa dihakimi.

“Mulai dari ulang,” katanya tanpa basa-basi. “Sampaikan struktur produksi, distribusi, dan... rekayasa laporan kalian.”

Cyan tidak langsung menjawab. Ia melihat Magenta yang berdiri tak jauh di belakang Lavra, diam. Tatapan mereka bertemu sejenak. Sekilas. Tapi cukup untuk menyalakan sesuatu yang tak boleh terlihat oleh orang lain.

Selama Cyan mempresentasikan data, pikirannya bercabang. Bukan hanya soal struktur produksi dan tekanan yang akan datang, tapi tentang tatapan Magenta—penuh luka, penuh rindu.

Lavra mencatat sesuatu, lalu menyela. “Menarik. Tapi aku ingin tahu mengapa jumlah konsumsi oksigen tak sebanding dengan proyeksi populasi.”

Diam. Rezha menggeram pelan.

“Karena... kami sembunyikan satu zona dari laporan,” ujar Cyan akhirnya. Suaranya tenang, tapi dadanya berdegup cepat.

Lavra mendongak, alisnya terangkat. “Kau mengaku?”

“Tidak,” jawab Cyan, senyumnya tipis. “Aku hanya mengatakan kenyataan.”

Ruangan mendadak sunyi. Magenta menunduk, tapi seulas senyum di sudut bibirnya nyaris terlihat. Ia tahu ini gila. Tapi juga tahu Cyan tidak pernah setengah-setengah memperjuangkan apa yang ia yakini benar—termasuk dirinya.

Sore hari, ketika semua tim dibubarkan sementara dan Lavra menghilang ke ruang administrasi, Cyan berpapasan lagi dengan Magenta di koridor stasiun air. Tidak ada kamera di sana. Hanya sensor tekanan udara.

“Aku tahu kau sedang menghancurkan dirimu sendiri,” ucap Magenta. Tangannya menyentuh dinding, seolah bicara pada logam, bukan pada Cyan.

“Kalau aku hancur, akan kupastikan puing-puingnya merobek semua topeng di koloni ini,” balas Cyan. Matanya tajam, tapi nadanya lembut saat menambahkan, “Dan sebagian dari puing itu, Magenta... akan tetap memilih menabrakmu. Walau berkali-kali.”

Magenta tertawa kecil. “Berbahaya sekali kau.”

“Mungkin karena kau yang membuatku begitu,” bisik Cyan.

Sebuah suara dari pengeras menyela keintiman itu. Lavra memanggil semua pemimpin sektor ke ruang utama. Tidak ada waktu untuk rahasia.