Malam turun dengan derasnya di kota Panda. Hujan mencurah seperti kesedihan langit yang tak mampu lagi dibendung. Di depan gerbang sebuah panti asuhan tua bernama Pelita Jiwa, seorang wanita berjubah hitam berdiri memeluk erat seorang bayi laki-laki yang masih merah. Suaranya kecil, tangisnya lirih, tapi menyayat. Dunia baru saja mulai kejam padanya.
Wanita itu mencium kening sang bayi. Tangannya gemetar saat meletakkan sesuatu ke dada sang anak: kalung emas berukir naga, lambang keluarga Saputra yang sangat disegani. Kalung itu pernah tergantung di leher para pewaris keluarga selama generasi, dan kini berada di tubuh seorang bayi yang akan tumbuh tanpa tahu siapa dirinya sebenarnya.
Setelah mengetuk pintu panti dengan keras, wanita itu menghilang ke dalam kegelapan malam. Ia membawa luka, rahasia, dan kesedihan yang tak pernah bisa diceritakan kepada siapa pun.
Tak lama, pintu terbuka. Seorang wanita paruh baya, Bu Sri, menyambut pemandangan memilukan. Bayi basah kuyup dalam selimut tipis.
“Ya Allah… siapa yang tega meninggalkan malaikat sekecil ini?” bisiknya. Ia mengangkat sang bayi dengan hati-hati, melihat kilatan emas dari kalung naga, lalu buru-buru menyimpannya dalam laci rahasia di ruang belakang. Kalung itu... terlalu mencolok untuk dunia ini. Ia hanya tahu satu hal: anak ini istimewa.
Dan anak itu diberi nama: Anggi Saputra.
Tahun demi tahun berlalu. Anggi tumbuh menjadi bocah yang baik hati dan sabar. Di saat anak-anak lain iri karena tak punya mainan baru, Anggi hanya tersenyum walau sepatu bolong, baju kebesaran, dan tas sekolahnya jahitan ulang. Ia tak pernah mengeluh. Tak pernah bertanya soal orang tuanya. Hanya sekali ia bertanya:
“Bu Sri... kenapa aku nggak punya ibu?”
Pertanyaan itu menghantam hati Bu Sri seperti pisau.
“Karena ibu kamu sedang menitipkan kamu ke dunia, Nak. Suatu hari, mungkin ia akan menjemput.”
Anggi hanya mengangguk. Dalam hati ia tahu, ia berbeda. Tapi tak tahu bagaimana atau kenapa.
Di sekolah umum, Anggi jadi sasaran empuk bully-an. “Eh, anak panti!” teriak teman-temannya. “Kalau lapar bilang dong, nanti kita kasih sisa bekal anjing!”
Tawa meledak. Anggi hanya menunduk, lalu memungut serpihan bekal yang jatuh dan memberikannya ke kucing jalanan. Ia memang tidak punya apa-apa. Tapi ia masih bisa memberi.
Dan itulah dirinya—selalu memberi, meski tak punya.
Ketika ia lulus SMA, sebuah keajaiban datang. Ia mendapatkan beasiswa penuh ke salah satu kampus swasta paling bergengsi di kota Panda: Universitas Naraya.
“Gi! Ini luar biasa!” seru Bu Sri sambil menangis bahagia.
“Tapi Bu... uang kos, buku, makan...”
“Kita akan cari jalan. Kamu hanya perlu belajar. Doa anak-anak panti menyertaimu.”
Dan begitu, Anggi melangkah ke dunia baru. Dunia mahasiswa.
Namun dunia ini lebih kejam dari sekolah. Mahasiswa-mahasiswa Naraya berasal dari keluarga elit, mengenakan sepatu jutaan, membawa mobil sport, memakai iPhone terbaru. Anggi datang dengan sepeda usang dan ransel tambalan.
“Hah! Si miskin masuk kampus elit? Nyesat kali sistem pendidikan negeri ini!” tawa seorang mahasiswa bernama Rico, anak dari pemilik pusat perbelanjaan di kota.
Setiap hari, Anggi menjadi bahan hinaan. Di kantin, ia duduk sendiri dengan roti tawar kering dan air putih. Suara tertawa mengejek selalu mengiringi makannya.
“Ngemis aja di depan gerbang, Gi. Dapet duit lebih tuh!” seru teman-temannya.
Tapi Anggi tetap tersenyum. Ia tidak pernah membalas. Tidak pernah mengeluh. Hanya diam... dan berdoa.
Setiap malam, Anggi bekerja menjadi penjaga parkir di minimarket, kadang mengantar makanan online, kadang memanggul karung beras di pasar subuh. Semua dilakukan demi satu tujuan: mengirim uang ke panti asuhan, agar adik-adiknya bisa terus sekolah.
Sementara teman-teman kampusnya pesta pora, Anggi menggigil di bawah tiang parkir. Tapi ia tak pernah merasa rendah. Justru saat-saat itulah hatinya merasa kuat.
Namun satu malam, sesuatu terjadi.
Saat pulang kerja, ia dicegat oleh tiga orang preman mabuk. “Siniin duit lo! Atau gue tusuk!”
Anggi menunduk. Dalam sekejap, kilasan masa kecil muncul di benaknya—seorang lelaki tua berpakaian adat, wajah keras tapi bijak, mengajarinya bela diri di halaman luas yang tak ia kenali. Ia tidak tahu siapa lelaki itu, tapi gerakan yang tertanam di tubuhnya sangat jelas.
Dalam satu kilatan, ia menangkis, menjatuhkan satu lawan, menyikut rahang satu lagi, dan membuat yang terakhir lari tunggang-langgang. Semua dalam senyap. Semua tanpa sorotan.
Anggi hanya berdiri, mengatur napas, lalu berkata lirih, “Maaf... aku tak ingin terlihat kuat. Aku hanya ingin pulang.”
Ia berjalan pergi, meninggalkan preman-preman yang tergeletak tak berdaya.
Jauh di luar negeri, di sebuah mansion megah milik keluarga Saputra, seorang lelaki tua terbaring lemah. Namanya Datuk Saputra—raja bisnis Asia Tenggara, pemilik Saputra Group, kerajaan dagang yang menjangkau hingga empat benua.
Di tangannya, tergenggam foto seorang anak kecil... Anggi kecil.
Air matanya jatuh perlahan.
“Cucuku... di mana kau?”
Di samping tempat tidurnya, berdiri seorang pria bernama Malin Saputra, adik dari Sutan Saputra, putra sulung Datuk.
“Ayah, sudahlah. Dia sudah mati. Anggi... anak Sutan itu... sudah hilang.”
Datuk memejamkan mata. Ia tahu Malin berbohong. Tapi tubuhnya sudah terlalu tua untuk bertarung. Ia hanya berharap... dunia tidak terlalu kejam kepada cucunya.
Ia tidak tahu bahwa cucunya sedang makan roti tawar di kantin kampus, dikelilingi cemoohan dan tawa yang kejam.
Di kampus, Anggi makin terpojok. Suatu hari, Rico dan gengnya menuduh Anggi mencuri laptop.
“Pasti si miskin ini! Siapa lagi? Kamera mana kamera? Lihat buktinya!”
Anggi hanya berdiri tenang. Tak membantah, tak memohon.
“Kalau aku memang dicurigai karena miskin... maka aku terima. Tapi aku tidak mencuri.”
Beberapa jam kemudian, rekaman CCTV ditemukan. Yang mencuri ternyata anak teman Rico sendiri. Semua diam. Semua malu.
Dosen yang ikut menuduh pun menunduk.
“Anggi... maafkan kami.”
Anggi hanya tersenyum. “Tak apa, Pak. Maaf tak perlu diminta dari yang kecil ke yang besar. Tapi dari yang salah... ke yang benar.”
Dan begitulah hidup Anggi. Dihina, dicaci, dikhianati. Tapi ia tetap berjalan, tetap sabar, tetap menolong. Anak-anak panti masih tersenyum karena kiriman darinya. Orang-orang tua di kampus masih disapanya dengan ramah.
Ia adalah lelaki miskin yang paling terhormat.
Tapi ia tidak tahu…
Bahwa di suatu tempat, takdir sedang menunggu.
Bahwa darah bangsawan masih mengalir di nadinya.
Bahwa ia bukan siapa-siapa…
Tapi yang paling berhak atas segalanya.
Hari-hari terus berlalu. Kampus Naraya tetap menjadi ladang ujian kesabaran bagi Anggi. Di setiap lorong, selalu ada mata yang merendahkan. Di setiap kelas, selalu ada ejekan yang meluncur seolah jadi kebiasaan.
“Woi Anggi, lo duduk situ bikin bangku jadi murahan tau nggak?” seru Genta, anak pejabat daerah, tertawa keras bersama gengnya.
Anggi hanya menatap kosong ke jendela kelas. Ia melihat langit, awan, dan burung-burung yang bebas terbang, seolah ingin berkata: aku juga ingin bebas dari semua ini…
Tapi hatinya tak pernah menaruh benci. Ia tak tahu dari mana datangnya ketenangan itu. Seolah ada suara dari dalam dirinya yang selalu berbisik, “Tenanglah. Yang benar akan terungkap. Yang sabar akan menang.”
Setiap kali ia hampir jatuh, wajah adik-adik panti hadir di pikirannya. Senyum lugu mereka. Tawa renyah mereka saat ia pulang membawa satu bungkus bakso untuk dibagi berlima.
“Bang Anggi hebat!” kata si bungsu, Reni, suatu malam. “Nanti kalau aku besar, aku mau bantu abang kerja!”
Anggi hanya tersenyum. Matanya berkaca.
Tak ada yang tahu, malam itu ia hanya makan dua suap nasi karena harus sisakan untuk anak-anak. Tapi ia tetap bersyukur.
Di dalam hatinya, Anggi menyimpan luka yang dalam. Tapi luka itu tak pernah menjadikan dia dendam. Hanya menjadi alasan untuk terus kuat.
Dan jauh di sudut pikirannya, kalung naga yang dulu disimpan Bu Sri, kadang hadir samar dalam mimpinya. Ia tak tahu benda itu adalah kunci masa depan…
...dan jawaban dari siapa dirinya sebenarnya.
---