Bab 2 - Di Hina Di Kampus

Hari itu, angin pagi di kampus Naraya berhembus pelan. Mahasiswa lalu lalang dengan gaya santai dan pakaian mahal. Namun di antara mereka, langkah kaki Anggi Saputra terasa paling berat.

Ia berjalan pelan menuju kelas, membawa tas usang yang mulai koyak di bagian pinggir. Di dalamnya, tertumpuk rapi buku-buku pelajaran, catatan kecil, dan setumpuk tugas yang ia kerjakan semalam sembari bekerja mencuci piring di warung makan.

“Eh, eh, eh! Lihat siapa yang datang… Si Pahlawan Panti!” teriak Genta dari ujung lorong.

Beberapa mahasiswa langsung tertawa. Reza, Dira, dan Putra ikut menghampiri, membentuk lingkaran kecil mengurung Anggi.

“Wah, bajumu makin keren, bro. Daur ulang dari karung beras ya?” kata Dira sinis.

Anggi hanya tersenyum. “Maaf, saya mau masuk kelas.”

Namun Reza langsung menarik tas Anggi dari belakang, membuat isi di dalamnya tumpah berserakan. Buku, kertas tugas, dan pulpen bergelimpangan di lantai kotor.

“Wah, jatuh ya? Yah, tugasnya jadi kotor deh. Dosen pasti marah nih,” ucap Reza berpura-pura prihatin.

Belum sempat Anggi membungkuk, Genta sudah menyenggolnya dari samping, membuat tubuh Anggi terdorong jatuh ke lantai. Siku bajunya robek, lututnya terbentur keras, dan noda tanah menempel di kemeja putihnya.

Tawa mereka menggema di lorong itu.

Beberapa mahasiswa yang lewat hanya menatap sekilas, lalu berlalu tanpa peduli. Ada yang menahan tawa, ada pula yang pura-pura tidak melihat.

Anggi menahan napas. Ia meraih bukunya perlahan, sambil berusaha tidak menunjukkan rasa sakit. Dalam diam, hatinya perih. Tapi wajahnya tetap tenang.

“Saya tidak apa-apa,” ucapnya lirih, lebih kepada dirinya sendiri.

“Eh, jangan lupa ya bersihkan lantai setelah ini. Si miskin harus rajin,” ujar Dira sambil tertawa puas.

Mereka pergi meninggalkan Anggi sendirian.

Namun di balik semua penghinaan itu, tak satu pun dari mereka tahu… bahwa darah bangsawan mengalir dalam diri pemuda miskin ini. Bahwa di balik pakaian lusuhnya, tersembunyi warisan kerajaan raksasa.

Dan bahwa suatu hari nanti, semua tawa hinaan itu akan berganti menjadi ketakutan.

Lantai koridor mulai lengang. Mahasiswa sudah masuk ke ruang kelas masing-masing, menyisakan Anggi yang masih berjongkok, memunguti satu per satu bukunya yang kotor. Debu dan noda tanah menempel di sampulnya. Beberapa halaman tugasnya basah karena air yang tergenang di dekat tembok.

Ia memandangi kertas yang kusut itu dengan mata nanar. Itu tugas ekonomi mikro yang dikerjakannya semalaman, hasil begadang setelah cuci piring di warung Bu Santi sampai larut malam. Dan sekarang, hanya tinggal sobekan basah yang mungkin tak akan diterima dosen.

“Anggi,” sebuah suara lembut memanggil dari belakang.

Anggi menoleh pelan. Rani—mahasiswi berhijab yang duduk di bangku belakang kelasnya—berjalan menghampiri sambil membawa selembar tisu dan air minum.

“Kamu nggak apa-apa?” tanyanya, menatap luka di siku Anggi yang mulai memerah.

Anggi menggeleng. “Nggak apa-apa, cuma luka kecil.”

Rani jongkok di hadapannya, mengelap sedikit luka itu dengan lembut. “Aku lihat tadi mereka sengaja dorong kamu. Itu keterlaluan.”

“Bukan yang pertama, Ran.” Anggi tersenyum kecil. “Udah biasa.”

Rani mendesah kesal. “Tapi kamu nggak pernah ngelawan. Sampai kapan kamu mau diam aja?”

Anggi menatap langit-langit koridor sejenak. “Kalau aku marah, apa bedanya aku sama mereka? Lebih baik aku diam, sampai waktu sendiri yang membalas.”

Rani terdiam. Dalam hati, ia mengagumi kekuatan Anggi. Tapi juga merasa sedih karena tidak bisa berbuat banyak.

Tak lama kemudian, bel kelas berbunyi. Anggi bangkit sambil menenteng bukunya yang basah. Ia tetap masuk kelas, duduk di bangku paling belakang, dengan baju yang masih kotor dan wajah tanpa ekspresi.

Dosen datang. Kelas dimulai. Tapi Anggi tenggelam dalam pikirannya sendiri.

Waktu istirahat, kantin ramai seperti biasa. Suara gelak tawa dan musik dari pengeras suara membentuk suasana meriah. Tapi di pojok belakang kantin, Anggi duduk sendiri sambil mengaduk nasi bungkus dari panti yang dibawanya dalam plastik bening.

Dia duduk di kursi tua, sendirian, ditemani bekal sederhana: nasi dengan tempe goreng dan sambal.

Tiba-tiba Reza dan Genta lewat di depannya. Mereka sengaja berhenti sejenak.

“Wah, makan apa tuh? Nasi kemarin? Atau sumbangan bencana?” kata Genta sambil tertawa.

Anggi tetap diam.

Reza lalu melirik ke arah meja. “Eh, jangan-jangan itu sisa makanan warung? Lo nyolong ya, Gi?”

Anggi menatapnya dengan tenang. “Makanan halal. Hasil kerja. Bukan minta.”

Kata-kata itu seolah menusuk, tapi Reza hanya tertawa seolah tidak peduli. “Santai, miskin. Hidup memang pahit, kayak tempe lu itu.”

Genta tertawa terbahak. “Eh, Reza. Besok kita kasih dia makan sisa ayam tulang doang. Biar dia tahu rasa!”

Mereka pergi meninggalkan Anggi. Namun Anggi hanya menunduk, menahan napas. Di dalam dadanya, rasa pedih berkecamuk. Tapi seperti biasa, ia telan semuanya dalam diam.

Sore itu, hujan turun rintik-rintik. Anggi berjalan kaki pulang dari kampus ke rumah panti yang jaraknya hampir 5 kilometer.

Di tengah jalan, ia mampir ke warung Bu Santi untuk membantu membereskan piring-piring kotor.

“Anggi, bajumu kok basah?” tanya Bu Santi.

“Jatuh tadi, Bu. Nggak apa-apa.”

Bu Santi menghela napas panjang. “Kamu sabar banget, Nak. Tapi kalau orang udah keterlaluan, kamu harus lawan.”

Anggi hanya tersenyum. “Kalau saya balas, siapa yang akan menenangkan hati orang-orang seperti mereka, Bu?”

Bu Santi terdiam. Matanya berkaca-kaca melihat pemuda yang dibesarkan panti itu tumbuh menjadi seseorang yang berhati emas.

Malamnya, di panti, Anggi duduk bersama anak-anak kecil di ruang tengah. Ia sedang membantu Rosi—anak kelas 5 SD—mengerjakan PR matematika.

“Bang Anggi, tadi di sekolah aku juga dibully, katanya rambutku kayak sapu ijuk,” curhat Rosi sedih.

Anggi tersenyum dan mengelus kepalanya. “Orang yang suka menghina itu hatinya kosong. Tapi kita yang dihina, harus tetap isi hati dengan kebaikan. Nanti, waktu yang akan buktikan siapa yang benar.”

Anak-anak lain berkumpul, mendengarkan cerita Anggi sambil tertawa-tawa saat ia mulai memainkan boneka tangan buatannya sendiri. Di tengah luka batinnya, Anggi tetap jadi pelindung dan penghibur untuk adik-adiknya.

Tak ada yang tahu… bahwa pria muda bernama Anggi Saputra ini menyimpan rahasia besar dalam darahnya.

Bahwa ia adalah pewaris utama dari kerajaan raksasa keluarga Saputra.

Bahwa ia memiliki kalung yang menjadi kunci warisan itu, yang hingga kini tersimpan aman di lemari pengasuh panti.

Dan bahwa… suatu saat nanti, dunia yang kini merendahkannya akan tunduk di hadapannya.

---