Bab 3 - Preman Jalanan

Langit senja kota Panda mulai menua. Matahari tergelincir ke balik cakrawala, meninggalkan warna jingga yang memudar pelan di antara gedung-gedung tinggi. Anggi Saputra melangkah keluar dari kampus dengan ransel lusuh di pundaknya. Tubuhnya terasa letih, bukan hanya karena tugas kuliah yang menumpuk, tapi karena tekanan hidup yang seakan tak memberi jeda.

Seperti biasa, tak satu pun teman kampus menyapanya. Bahkan mereka menjauh seolah kehadirannya membawa kutukan. Ia sudah terbiasa dengan ejekan, bisik-bisik, bahkan tawa mencemooh yang menusuk dari balik punggung. Anggi tetap diam, berjalan menunduk. Tidak ada gunanya membalas.

Hari ini dia terlambat keluar kelas karena harus membereskan tugas kelompok yang entah kenapa selalu menyisakan bagian terburuk untuknya. Mereka menyuruhnya mengetik, mencetak, bahkan membuat slide presentasi, tapi namanya tak pernah disebut saat presentasi berlangsung. Dia hanya duduk di bangku belakang, tersenyum menahan pedih.

Sepulang kuliah, Anggi langsung menuju tempat kerjanya, sebuah minimarket kecil yang terletak di pinggir jalan besar. Ia bekerja di sana sebagai petugas kebersihan dan gudang sejak enam bulan lalu. Tempat itu menjadi saksi bisu perjuangannya bertahan hidup sambil membiayai sekolah adik-adik panti.

Sesampainya di belakang toko, ia mengganti kemeja putih kampus dengan kaos polos usang yang sudah agak pudar warnanya. Ia mulai menyapu halaman belakang dan mengangkat dus-dus air mineral dari truk yang baru datang. Beberapa karyawan lain sudah mengenalnya, termasuk dua kasir bernama Rani dan Vina. Mereka cukup akrab, walau tidak terlalu dekat.

Namun malam ini berbeda.

Saat Anggi sedang mengangkut tumpukan dus ke dalam gudang, tiga pria asing masuk ke area parkir belakang. Mereka tampak seperti preman lokal—berjaket lusuh, celana robek, dan rokok yang tak lepas dari jari. Mereka mendekat, awalnya hanya iseng mengganggu dengan pertanyaan-pertanyaan kasar.

"Hei bocah, lo kerja di sini ya? Nunduk aja dari tadi. Jangan-jangan maling?" salah satu dari mereka mendekat sambil mendorong dada Anggi.

Anggi menahan diri. "Saya cuma kerja, Bang. Mohon jangan ganggu."

"Wah, sok sopan. Denger tuh, anak kampus nyuruh kita jangan ganggu!"

Tawa kasar pecah. Salah satu dari mereka melempar kaleng kosong ke kepala Anggi. Kaleng itu berdentum ringan tapi cukup menyakitkan.

"Udah! Pulang sana kalau takut. Atau sini, kasih duit jajan biar kita tenang."

Anggi menghela napas. Ia tahu, kalau dia menjawab salah, semuanya bisa jadi lebih buruk. Tapi saat dia menolak memberi uang, salah satu dari preman itu mendorongnya sampai jatuh. Yang lain menendang tubuhnya berkali-kali. Kepalanya terbentur lantai semen.

Orang-orang di sekitar hanya menonton. Beberapa karyawan yang melihat dari dalam minimarket pura-pura tidak tahu. Tidak ada yang berani ikut campur. Hanya seorang gadis dari dalam toko yang akhirnya keluar.

"ANGGI!"

Teriakan itu menghentikan aksi para preman. Vina, kasir muda yang dikenal lembut dan sopan, berlari keluar dan menghampiri Anggi yang tergeletak. "Apa yang kalian lakukan?!"

Preman-preman itu tertawa. "Salah sendiri, dia nyolot. Kami cuma ngajarin sopan santun."

"Pergi sekarang atau saya panggil satpam komplek!" bentak Rani, yang tiba-tiba muncul di belakang Vina. Ia memegang tongkat kayu bekas rak toko.

Ketiga preman itu mendecak pelan, lalu pergi sambil mengumpat. Vina langsung memeriksa luka Anggi. Wajahnya berdarah, bajunya kotor penuh debu.

"Kenapa kamu diam aja? Mereka hampir ngebunuh kamu!"

Anggi menoleh pelan. "Aku nggak bisa balas… banyak orang…"

"Tapi kamu bisa mati!"

Rani ikut duduk di sampingnya. Wajah kerasnya melunak. Ia membuka botol air dan menyiram luka di kepala Anggi. "Kamu bukan sampah, Anggi. Jangan biarin dirimu diinjak begini terus."

Anggi diam. Ia ingin mengatakan sesuatu, bahwa dia bukan seperti anak miskin biasa. Bahwa dia punya kekuatan yang tak seorang pun tahu. Tapi dia terikat janji. Sejak kecil dia sudah dilatih oleh sesepuh keluarga Saputra, dan pesan kakeknya, Datuk Saputra, terpatri kuat di kepalanya:

“Jangan pernah perlihatkan kekuatanmu di depan manusia biasa. Hanya gunakan dalam bayangan. Hanya bila kau terancam nyawa.”

Vina dan Rani membantu Anggi masuk ke gudang. Mereka membersihkan lukanya dengan kapas dan alkohol, lalu memberinya jaket hangat.

"Kita mungkin cuma kasir, tapi kita bukan orang bodoh. Kita tahu kamu nggak biasa. Tapi kamu terlalu baik buat balas jahat,” ujar Rani, lirih.

Anggi tersenyum pahit. "Kalau aku jahat sedikit, mungkin hidupku nggak akan seburuk ini."

Vina menggeleng. "Jangan bilang gitu. Kadang kebaikanmu yang menyelamatkan kami juga."

Malam itu, Anggi duduk diam di gudang belakang. Rasa sakit di tubuhnya memang nyata, tapi luka di hatinya jauh lebih dalam. Ia tahu, dunia ini tidak adil. Tapi ia juga tahu, selama ia masih bisa sabar… mungkin masih ada harapan.

Dan di tengah kejamnya dunia, ia menemukan dua orang yang bersedia duduk bersamanya dalam gelap.

Setelah insiden pengeroyokan di tempat parkir, Anggi duduk di ruang istirahat minimarket dengan Rani dan Vina yang masih setia di sisinya. Udara dingin dari pendingin ruangan terasa menusuk, tapi rasa hangat datang dari perhatian dua teman kerjanya itu.

Rani duduk di sebelah kiri, memandangi luka di pipi Anggi yang mulai membiru. “Kamu yakin nggak mau lapor polisi, Gi?” tanyanya lembut.

Anggi menggeleng pelan. “Biarin aja, Ran. Mereka bukan masalah utama dalam hidupku,” ujarnya tenang.

Vina yang duduk di seberangnya ikut angkat suara. “Tapi kamu nggak bisa terus-terusan begini, disakiti dan diem aja. Dunia tuh kejam, Gi.”

Anggi menunduk, menatap tangannya yang penuh debu dan sedikit darah kering. “Aku bukan tipe orang yang ingin menyelesaikan masalah dengan kekerasan. Kalau aku balas mereka, aku bukan Anggi lagi…”

Rani dan Vina terdiam. Ada luka yang lebih dalam daripada lebam di wajah itu—luka yang tak terlihat tapi terasa. Mereka belum tahu siapa sebenarnya Anggi, tapi mereka tahu: pemuda ini menyimpan rahasia besar dalam diamnya.

Setelah beberapa menit hening, Rani berusaha mencairkan suasana. “Eh, tapi kamu keren juga loh, bisa nahan diri kayak tadi. Aku udah dari tadi mau nabok tuh preman!”

Vina terkekeh. “Iya, kita tuh udah siap ngeroyok mereka, tahu! Tapi kamu malah diem aja kayak biksu.”

Anggi tersenyum kecil. “Terima kasih… karena kalian peduli.”

Suasana mulai mencair. Mereka berbagi cerita ringan, mencoba melupakan kejadian buruk tadi. Sampai akhirnya jam menunjukkan pukul sepuluh malam—tanda giliran kerja mereka selesai.

Keluar dari minimarket, Anggi berjalan mengantar Rani dan Vina ke jalan besar. Lampu-lampu kota memantul di trotoar basah. Suara kendaraan malam membelah udara.

“Tapi serius, Gi… kalau ada yang ganggu kamu lagi, bilang ya. Kita nggak akan tinggal diam,” ucap Rani sebelum naik ojek online.

Vina mengangguk. “Anggi, kamu bukan sendirian.”

Ucapan itu sederhana, tapi menggetarkan hati Anggi. Sudah lama ia tak mendengar seseorang berkata begitu. Ia melambaikan tangan saat keduanya pergi, lalu berjalan sendiri ke arah panti asuhan. Langkahnya ringan, meski tubuh masih nyeri.

Di dalam hatinya, ada rasa hangat yang tak bisa dijelaskan.

Ia sadar, meski dunia terus menyakitinya… masih ada orang yang melihatnya sebagai manusia.

Dan itu cukup untuk membuatnya terus melangkah.

---