Pagi itu, langit kota Panda cerah. Kampus kembali ramai oleh mahasiswa yang berlalu-lalang. Anggi berjalan pelan memasuki gerbang, menunduk seperti biasa, menahan rasa sakit yang belum sepenuhnya hilang sejak malam kemarin. Luka di pelipisnya telah mengering, namun memar di perut dan bahu masih terasa nyeri tiap kali ia menarik napas dalam-dalam.
“Anggi!” suara Rani menyapanya dari arah taman kampus.
Anggi menoleh, tersenyum samar melihat Rani berlari kecil mendekatinya. Rambut Rani diikat ke belakang, wajahnya segar meski tampak sedikit khawatir.
“Lukamu gimana?” tanya Rani tanpa basa-basi.
“Sudah mendingan,” jawab Anggi singkat. “Terima kasih sudah nemenin semalam.”
Rani menatapnya lekat-lekat. “Kamu harus lebih hati-hati. Dunia nggak selalu baik sama orang baik.”
Anggi hanya tersenyum. Mereka lalu berjalan bersama menuju kelas. Rani terlihat agak kikuk, seolah ingin mengatakan sesuatu tapi tertahan. Setelah beberapa langkah, ia akhirnya membuka suara.
“Eh, Gi… kamu sadar nggak, teman-teman makin sering ngeledek kamu?”
Anggi diam. Ia tahu yang Rani maksud. Memang, sejak awal semester, hampir tiap hari ia mendapat perlakuan tak menyenangkan dari sebagian mahasiswa di kelasnya. Ejekan soal bajunya yang lusuh, sepatunya yang usang, bahkan kadang mereka menyebar foto-foto saat Anggi bekerja di minimarket.
“Mereka cuma… belum ngerti,” jawab Anggi akhirnya. “Aku nggak mau nyimpan dendam.”
Rani memandang Anggi sejenak. Ia kagum, sekaligus sedih. Di kampus, Anggi selalu jadi bulan-bulanan. Tapi pria itu tak pernah membalas, tak pernah melawan.
Sementara itu, di sisi lain kampus, kelompok mahasiswa dari kalangan ‘elit’ tengah berkumpul. Salah satu dari mereka, Dika, menyeringai saat melihat Anggi lewat bersama Rani.
“Eh, tuh si tukang parkir kampus datang!” celetuknya. Teman-temannya tergelak.
Anggi menunduk makin dalam. Rani menoleh tajam. “Diam, Dika. Nggak lucu.”
“Loh, aku cuma nyapa. Lagian ngapain juga kamu deket-deket sama dia, Ran? Ntar baju kamu kecipratan minyak goreng, lho!”
Rani mengepalkan tangan, tapi Anggi menahan lengannya. “Sudah. Nggak usah dibalas.”
Mereka melewati kerumunan itu. Rani masih kesal, tapi Anggi terlihat tenang, seperti biasa. Ia menatap lurus ke depan, mencoba menutup telinganya dari cemoohan.
Setelah kelas selesai, Anggi bergegas menuju tempat kerja. Di minimarket, Vina sudah datang lebih dulu dan langsung menyapanya.
“Eh, kamu makin populer ya di kampus. Banyak yang ngomongin kamu,” kata Vina sambil menyerahkan seragam.
Anggi tersenyum miris. “Ngomongin apa?”
Vina mengangkat bahu. “Ya… biasa, anak-anak kaya nyari bahan gosip. Tapi santai aja, aku di sini dukung kamu kok.”
Meski Vina bukan teman kampus, ia adalah satu dari sedikit orang yang benar-benar memperlakukan Anggi dengan hangat dan hormat di tempat kerja. Sikapnya blak-blakan, kadang cerewet, tapi tulus.
Di sela istirahat malam itu, Rani mampir ke minimarket dan ikut duduk di ruang belakang bersama Vina dan Anggi. Mereka bertiga mengobrol tentang banyak hal: kuliah, kerja, bahkan tentang masa kecil. Untuk sesaat, dunia di luar seperti tak ada.
“Gi,” kata Rani tiba-tiba. “Kamu pernah kepikiran buat ninggalin semuanya dan mulai hidup baru?”
Anggi mengangguk pelan. “Pernah. Tapi aku punya tanggung jawab di panti. Adik-adik butuh aku.”
Vina melirik Rani, lalu menatap Anggi. “Kamu tuh kuat, Gi. Aku nggak ngerti gimana bisa kamu tetap waras di tengah semua ini.”
Anggi tersenyum tipis. “Mungkin karena aku pernah diajari untuk kuat… sejak kecil.”
Ucapan itu membuat Rani dan Vina saling pandang. Ada banyak misteri di balik sosok pemuda miskin dan pendiam itu. Dan mereka yakin, cerita hidup Anggi Saputra… tidak biasa biasa saja.
Malam merangkak dingin saat Anggi berjalan sendirian di trotoar sempit menuju panti. Tugasnya di minimarket baru selesai satu jam lalu, dan ia sengaja melewati jalur belakang yang lebih cepat meski gelap dan sepi. Langkahnya tenang, tapi dari ekor matanya, ia tahu: ia sedang diikuti.
Anggi berhenti di sebuah tikungan. Derap langkah yang mengikuti langsung terhenti. Ia pura-pura tak peduli, kembali melangkah, namun kini lebih lambat. Sekejap kemudian, dari semak di sisi kiri jalan, muncul tiga bayangan besar. Preman-preman yang sama—yang kemarin menghajarnya di tempat parkir—muncul dengan senyum bengis.
“Liat siapa ini… Si anak baik yang nggak bisa ngelawan,” ucap salah satu dari mereka, si brewok berjaket lusuh.
Anggi hanya menatap mereka sebentar. Wajahnya tenang, tubuhnya berdiri tegak, tapi tak ada rasa takut di matanya.
“Apa kalian mau uang?” tanyanya dingin.
Preman lainnya tertawa kasar. “Enggak, Bro. Cuma mau ngajarin kamu lagi. Kali ini jangan harap ada orang yang nyelamatin.”
Tanpa aba-aba, mereka langsung menyerbu. Tapi kali ini, Anggi tak lagi memilih diam.
Seketika ia melangkah ke samping, menghindar dari pukulan pertama, dan dengan gerakan cepat, lututnya menghantam perut si brewok. Lelaki itu terhempas ke belakang, mengerang kesakitan. Dua lainnya terkejut, namun belum sempat menyerang, Anggi sudah memutar tubuh dan menyapu kaki lawan berikutnya dengan tendangan rendah yang presisi.
Satu lagi tersisa. Preman yang paling besar menggeram dan maju dengan rantai di tangan. Namun Anggi tak mundur. Ia menangkis rantai itu dengan lengan kirinya, lalu menghantam dada lawannya dengan telapak tangan kanan, mendorong keras hingga tubuh besar itu terlempar ke tiang listrik tua.
Sunyi. Hanya suara napas berat dan rintihan lemah yang terdengar.
Anggi berdiri di tengah mereka, tak berkeringat sedikit pun. Wajahnya tetap datar. Tapi dalam hatinya, ada gemuruh. Ini pertama kalinya sejak lama dia kembali menggunakan apa yang dulu diajarkan oleh sang sesepuh keluarga Saputra.
Ia mendekati si brewok dan berbisik, “Lain kali, jangan ganggu orang yang hanya ingin hidup tenang.”
Lalu ia pergi, meninggalkan tiga bayangan yang meringkuk di bawah lampu jalan yang berkedip.
Malam itu, Anggi kembali ke panti dengan langkah ringan. Tak ada yang tahu. Tak akan ada yang tahu. Karena kekuatannya… bukan untuk pamer. Tapi untuk melindungi.
Anggi tiba di panti asuhan saat malam hampir berganti pagi. Langkahnya pelan, tubuhnya lelah, tapi bukan karena luka fisik—melainkan luka batin yang terus ia sembunyikan. Di balik pintu kayu tua itu, suasana hangat menyambutnya. Suara napas anak-anak kecil yang lelap terdengar lembut dari dalam kamar.
Ia duduk di teras, menatap langit yang mulai terang. Di tangannya masih ada sedikit noda darah—bukan darah musuh, tapi luka di kepalan tangannya sendiri. Ia menggenggam kuat, menahan gejolak yang sejak tadi ingin meledak.
“Maaf, Bu Sari…,” bisiknya lirih, seperti berbicara pada angin malam. “Aku janji akan tetap jadi anak baik.”
Dari jauh, seekor kucing kecil mendekat dan duduk di sampingnya. Anggi tersenyum samar, lalu mengelus kepala si kucing. Saat itu, hanya makhluk kecil itulah yang mengerti betapa berat beban di dadanya.
Malam itu ia menang, tapi hatinya tetap sunyi.
Dan dalam kesunyian itulah, seorang pewaris besar mulai tumbuh… bukan dari kekayaan, tapi dari luka, kesabaran, dan keteguhan hati yang tak tergoyahkan.
---