Mentari pagi menyapa kota Panda dengan cahaya hangat, tapi bagi Anggi, sinarnya tak membawa kehangatan apa pun. Ia berdiri di depan cermin kecil yang tergantung di kamar mandi panti. Wajahnya bersih, tak ada luka. Tapi tatapan matanya kosong. Mata itu menyimpan terlalu banyak cerita yang tak pernah ia bagi pada siapa pun.
Ia menghela napas, mencuci wajah berkali-kali, seperti mencoba membasuh rasa sakit yang mengendap di dalam hati. Semalam ia membela diri. Semalam ia mengalahkan ketakutan yang selama ini ia pendam. Tapi mengapa pagi ini terasa lebih menyakitkan dari semalam?
“Anggi… ayo sarapan dulu, Nak,” suara Bu Sari terdengar lembut dari luar.
“Iya, Bu. Sebentar lagi,” jawabnya pelan.
Anggi tersenyum kecil di depan cermin—senyum palsu yang sudah lama ia pelajari. Senyum itu bukan untuk dirinya. Tapi untuk dunia. Untuk adik-adik panti yang selalu menunggu pelukan hangatnya. Untuk Bu Sari yang sudah menjadi ibunya sejak kecil. Dan untuk semua orang yang mengira ia kuat.
Sesampainya di kampus, langkahnya seperti biasa: tenang, sopan, menunduk saat berpapasan dengan mahasiswa lain. Tapi tetap saja, bisikan kasar itu menyambutnya.
“Itu tuh anak beasiswa. Sok suci.”
“Hahaha, masih aja pake sepatu butut itu.”
“Liat tuh, bajunya selalu sama.”
Anggi menunduk. Bukan karena malu, tapi karena tidak ingin ada yang melihat matanya. Jika mereka melihat lebih dalam, mereka akan tahu: mata itu menyimpan badai.
Ia duduk di bangku paling belakang ruang kuliah. Sendiri. Seperti biasa. Suara dosen di depan hanya jadi latar samar. Anggi memikirkan banyak hal: pekerjaan, biaya makan, buku yang harus dicicil, dan senyuman adik-adik panti yang tak boleh padam.
Di sela pikirannya yang kalut, datang secarik kertas dari arah depan. Ia buka perlahan.
"Miskin kok sok rajin, mending keluar aja dari sini."
Tulisan tangan itu menusuk seperti sembilu. Tapi Anggi tidak marah. Ia hanya menghela napas.
Dalam hati, ia berkata, “Aku tidak akan membalas. Bukan karena aku lemah. Tapi karena aku tahu… hidup ini terlalu singkat untuk dipakai membenci.”
Ia lipat kertas itu dan masukkan ke tas, lalu menatap ke luar jendela. Angin pagi menyapu wajahnya, membawa bisikan lembut yang hanya ia yang bisa dengar.
“Bertahanlah, Anggi. Suatu hari, semua akan terbalas. Dengan cara yang tak akan mereka sangka.”
Hujan turun saat Anggi melangkah keluar dari gedung kuliah. Hujan kecil yang terasa seperti air mata langit—diam, lembut, tapi penuh makna. Ia tidak membawa payung. Tapi tak masalah. Hujan seperti ini justru menyembunyikan tangis yang tak pernah bisa ia tunjukkan.
Langkahnya menuju halte kecil di ujung kampus terasa berat. Bukan karena tubuhnya lelah, tapi karena dadanya sesak oleh kenyataan hidup. Tadi pagi ia diledek. Siangnya disindir. Dan kini ia berjalan sendiri, dalam dingin yang menusuk.
Di halte itu, ia duduk. Diam. Membiarkan air hujan membasahi rambut dan bajunya. Ia tak peduli. Hatinya jauh lebih basah dari tubuhnya. Di seberangnya, beberapa mahasiswa duduk berkerumun, tertawa keras—seolah dunia mereka sempurna. Tak ada luka. Tak ada kekurangan. Tak ada rasa takut akan besok.
Salah satu dari mereka melirik ke arahnya dan berbisik sambil tertawa, “Tuh anak miskin lagi ngelamun. Pura-pura sedih biar dikasihani, kali.”
Anggi mendengar itu. Tapi ia tak bergerak. Matanya kosong menatap jalanan. Dalam benaknya, ia memutar ulang suara-suara yang tiap hari menyayat:
“Kenapa kamu nggak nyerah aja, Gi?”
“Kamu kan nggak punya apa-apa.”
“Tempatmu bukan di sini.”
Kalimat-kalimat itu seperti paku yang dipukul pelan ke dalam dadanya. Tapi justru di sanalah ia menemukan kekuatannya. Dalam diam. Dalam rasa sakit. Dalam kesepian.
Ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk dari Bu Sari.
"Nak, adik-adik panti barusan nonton pertunjukan seni. Mereka senang banget. Terima kasih udah bantuin beli tiket mereka kemarin. Mereka nyebut nama kamu terus, loh."
Air mata Anggi jatuh. Tapi bukan karena sedih. Melainkan karena ia tahu—seburuk apapun dunia memperlakukannya, masih ada tempat yang menyebut namanya dengan penuh cinta. Masih ada anak-anak kecil yang menganggapnya pahlawan.
Ia berdiri perlahan, menengadah ke langit yang masih kelabu.
“Aku nggak boleh jatuh. Aku nggak boleh berhenti.”
Langkahnya kembali menyusuri trotoar. Bukan hanya sekadar melangkah—tapi membawa beban dan harapan, luka dan kasih, dendam yang ia kubur, dan cinta yang terus tumbuh di dalam diam.
Hari itu, seorang pewaris yang terbuang, kembali memilih untuk hidup. Bukan demi dirinya, tapi demi mereka yang percaya padanya—walau dunia tidak.
Anggi tidak datang ke tempat kerja malam itu. Untuk pertama kalinya dalam beberapa bulan, ia izin tanpa alasan jelas. Rani sempat menghubunginya, begitu pula Vina. Tapi ia hanya membaca pesan-pesan itu… lalu menutup ponsel dan mengantonginya kembali.
Langkahnya membawa ke tempat yang jarang ia kunjungi: pantai. Senja sudah tenggelam, namun garis cahaya jingga masih menggantung malu-malu di ufuk barat. Suara debur ombak memukul karang dengan tenang, seolah tahu luka di hati yang sedang ia bawa.
Anggi duduk di atas batu besar yang menghadap laut luas. Angin malam menyibak rambutnya yang basah karena hujan tadi belum sempat mengering. Matanya menerawang jauh ke arah gelap, jauh melampaui batas lautan. Di sana, ia mencoba mencari arti. Mencari jawaban. Mencari dirinya sendiri.
Dalam hening, bayangan Ibu Sari—pengasuh panti—muncul di kepalanya. Sosok wanita yang menyambutnya dalam dekap hangat saat ia masih bocah. Yang merawatnya saat sakit. Yang menahan lapar agar anak-anak bisa makan lebih dulu. Wajah itu begitu lelah, namun selalu tersenyum. Anggi menunduk. Air matanya tumpah, satu demi satu.
“Maaf ya, Bu… aku belum bisa membalas semua kebaikan Ibu.”
Pikirannya lalu melayang ke adik-adik di panti. Mereka yang selalu menyambutnya dengan pelukan kecil, mata berbinar, dan senyum tulus meski mengenakan baju tambal. Mereka yang sering ia suapi dengan uang hasil kerja kerasnya. Mereka yang tanpa sadar menjadi penguat langkahnya hari demi hari.
“Aku harus kuat… tapi kenapa rasanya dunia terus menginjak?”
Tangis Anggi pecah. Ia tak mampu lagi menahannya. Di tempat sepi itu, ia membiarkan kesedihan meledak tanpa suara jeritan. Ia menatap langit malam yang mulai berpendar bintang, seolah berharap Tuhan sedang mendengar.
“Kalau aku memang tak berguna, setidaknya… biarkan aku berguna untuk mereka.”
Anggi mencengkeram kalung tua yang tergantung di lehernya—kalung peninggalan yang selalu ia simpan sejak kecil. Ia belum tahu maknanya. Tapi entah kenapa, setiap kali menyentuh kalung itu, dadanya terasa lebih hangat. Seakan ada seseorang… atau sesuatu… yang menjaganya dari kejauhan.
Ia berdiri pelan. Angin semakin kencang. Ombak semakin deras.
Namun dalam hatinya, keteguhan mulai tumbuh kembali.
“Aku akan bertahan… Aku akan melindungi Ibu. Melindungi adik-adik. Meski dunia terus menertawakan aku.”
Dengan mata masih berkaca, Anggi melangkah menjauh dari pantai. Tapi bukan lagi dengan langkah rapuh—melainkan langkah seorang pria muda, yang mulai menyadari bahwa air mata bukan kelemahan… melainkan pengingat bahwa ia masih punya alasan untuk berjuang.
---