Pagi itu, suasana kampus lebih riuh dari biasanya. Mahasiswa lalu lalang di koridor Fakultas Ekonomi, sebagian besar sudah tahu bahwa Anggi Saputra tidak hadir sejak pagi. Namun yang membuat suasana mendadak tak mengenakkan adalah kabar miring yang mulai tersebar dari mulut ke mulut.
“Eh, denger nggak? Si Anggi tuh katanya ketahuan nyolong uang di minimarket tempat dia kerja,” ucap seorang mahasiswa laki-laki dengan suara lantang di tangga menuju ruang kelas.
“Astaga! Serius?”
“Pantesan nggak masuk kampus! Malu kali dia!”
Rani yang sedang duduk di bangku depan kelas mendongakkan kepala pelan. Matanya menyipit, telinganya menangkap setiap kata. Dan seperti dugaan awalnya, suara itu berasal dari Bayu, salah satu senior paling berisik sekaligus biang onar kampus.
Bayu terkenal sebagai pengadu domba dan penghasut. Beberapa kali dia mempermalukan mahasiswa miskin di depan umum hanya untuk hiburan. Dan Anggi, dengan penampilannya yang sederhana dan sikapnya yang kalem, adalah target empuk.
“Gue dapet kabar dari kenalan gue. Katanya Anggi itu nyolong duit di laci kasir. Nggak heran sih, anak miskin mana tahan liat duit banyak.”
Tawa beberapa mahasiswa pecah.
Rani berdiri. Wajahnya pucat, namun sorot matanya tajam. “Kamu nggak punya bukti. Jangan sembarangan ngomong!”
Bayu mengangkat bahu santai. “Lah, emang kamu pacarnya? Sampai segitunya ngebelain maling?”
“Dia bukan maling!” bentak Rani, suaranya sedikit bergetar. “Dia kerja keras! Dia bantu adik-adik di pantinya! Kalau kamu gak tahu apa-apa, lebih baik diam!”
Ruangan hening. Beberapa mahasiswa hanya melongo melihat keberanian Rani. Tapi Bayu malah tertawa.
“Wah, yang naksir anak panti ngamuk, guys! Seru nih!”
Rani menggenggam tangan erat. Hatinya panas. Tapi ia tahu, melawan dengan emosi hanya akan membuat semuanya makin buruk. Ia menarik napas dalam-dalam, menahan tangis yang mulai menggenang di pelupuk.
Sementara itu, Anggi duduk di tepi danau kecil di luar kota. Jauh dari bising dunia yang sedang mempergunjingkan namanya.
Ia tahu, ketidakhadirannya akan menimbulkan tanya. Tapi ia tak menyangka, fitnah sekeji itu bisa dilontarkan oleh orang-orang yang bahkan tidak mengenalnya secara utuh. Ia menatap pantulan dirinya di air, tampak lelah dan kusam. Namun ada satu hal yang tak pernah padam—tekadnya untuk tetap sabar.
“Apa salahku? Aku cuma pengen hidup wajar, belajar, kerja, dan bantu adik-adik. Tapi kenapa mereka benci aku seperti ini…”
Tangannya meremas kalung pemberian Bu Sari yang tergantung di leher. Kalung itu, entah mengapa, membuatnya merasa lebih kuat setiap kali ia nyaris runtuh.
Di kampus, Rani menatap ponselnya. Ia telah mengirim pesan pada Anggi sejak pagi, tapi belum juga dibalas.
> “Anggi… aku gak percaya omongan mereka. Kalau kamu butuh aku, aku di sini. Tolong balas pesanku…”
Hatinya diliputi cemas, kecewa, dan geram. Ia belum tahu di mana Anggi, tapi ia yakin satu hal: pria itu tidak seperti yang mereka katakan.
Rani melangkah keluar dari ruang kelas dengan langkah cepat. Matanya mencari-cari seseorang, siapa pun yang mungkin tahu keberadaan Anggi. Ia hampiri Vina yang baru saja tiba dari shift pagi di minimarket.
“Vina, kamu lihat Anggi? Dia nggak ke kampus dan nggak masuk kerja juga, kan?” tanya Rani dengan napas memburu.
Vina menggeleng cepat, wajahnya cemas. “Iya… dia nggak datang. Dari tadi pagi aku tanya ke manajer, katanya Anggi izin, tapi nggak bilang kenapa. Kamu tahu?”
Rani menghela napas panjang. “Nggak… aku juga nggak dikabarin. Tapi kampus udah heboh. Ada yang bilang dia maling… yang ngomong si Bayu.”
Wajah Vina langsung menegang. “Astaga, serius? Itu parah, Ran…”
“Iya… dan semua orang percaya aja gitu.” Rani mengepalkan tangan. “Anggi nggak akan lakukan itu. Aku yakin seratus persen. Tapi dia diem, Vin. Dia ilang gitu aja.”
Vina mengangguk pelan, mencoba menenangkan. “Kita harus cari dia. Jangan sampai dia ngerasa sendirian.”
---
Sementara itu, Anggi masih duduk di bawah pohon rindang di bukit belakang kota. Tempat itu sepi, hanya suara angin dan daun-daun kering yang berjatuhan. Ponselnya ia matikan sejak tadi pagi. Ia hanya ingin hening… untuk sejenak.
Bayangan Bu Sari dan adik-adik panti terus muncul di kepalanya. Wajah mereka yang penuh harap, tawa polos mereka setiap kali Anggi membawakan makanan atau cerita dari luar. Dan kini… ia bahkan tak bisa membuktikan dirinya benar pada dunia.
Ia memejamkan mata. Tetesan air jatuh membasahi pipinya. Ia menangis, diam-diam.
Bukan karena ia lemah, tapi karena dunia terlalu sering tak adil pada orang baik.
Dan kadang… kebaikan malah jadi sasaran empuk untuk diinjak-injak.
---
Di panti, Bu Sari menyadari sesuatu yang aneh sejak pagi. Biasanya Anggi akan mengirim kabar atau bahkan mampir sebentar jika libur kerja. Tapi hari ini—sunyi. Ia berdiri di depan pintu, menatap langit yang mulai mendung.
“Hati-hati ya, Nak… Jangan simpan semuanya sendiri. Ibu tahu kamu kuat, tapi kamu juga manusia…”
Di malam harinya, Anggi akhirnya kembali ke kamar kos. Tempat itu tak mewah—hanya bilik sempit dengan kasur tipis dan meja kecil. Tapi malam itu, tempat itu terasa lebih gelap dari biasanya.
Ia buka ponsel dan melihat puluhan pesan dari Rani dan satu dari Bu Sari.
> “Nak, kalau kau sedih… jangan diam. Pulanglah kalau hatimu lelah. Ibu selalu di sini.”
> “Anggi… aku percaya kamu. Tolong balas. Aku khawatir…” – Rani
Air mata Anggi kembali menetes. Ia menulis satu pesan pada Rani:
> “Maaf, aku cuma butuh waktu. Tapi terima kasih… karena percaya padaku.”
Keesokan harinya, Anggi kembali mengenakan seragam kampusnya. Bajunya lusuh, sepatu bekasnya sudah mulai mengelupas. Tapi sorot matanya tampak berbeda. Lebih dingin. Lebih kosong.
Ia melangkah ke gerbang kampus dengan langkah pelan. Suara bisik-bisik segera terdengar, menyelinap di sela-sela daun telinga.
“Itu dia tuh, yang katanya maling itu…”
“Ngaku beasiswa, padahal mungkin semua itu hasil nyolong…”
Anggi tak menanggapi. Langkahnya tetap lurus, wajahnya datar. Tapi di dalam dadanya, hatinya bergemuruh. Ia menggenggam erat tali tasnya, menahan agar emosinya tidak meledak.
Di kejauhan, Rani melihatnya dan segera menghampiri.
“Anggi!” serunya dengan suara penuh kekhawatiran. “Kamu kenapa baru masuk sekarang? Aku—aku takut banget sesuatu terjadi sama kamu…”
Anggi berhenti. Ia menatap Rani sebentar, lalu tersenyum tipis—senyum yang menyimpan terlalu banyak luka.
“Maaf udah bikin kamu khawatir,” jawabnya pelan. “Aku cuma butuh waktu untuk tenang.”
Rani menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan haru. “Kamu tahu kan itu semua nggak benar? Aku percaya kamu, Anggi. Mereka cuma… mereka nggak tahu siapa kamu sebenarnya.”
Anggi mengangguk pelan. “Nggak apa-apa. Aku nggak bisa paksa orang percaya. Tapi yang penting… kamu percaya. Itu cukup buat aku.”
Mereka berjalan bersama menuju kelas. Tapi dari kejauhan, Bayu dan gengnya hanya tertawa pelan, menyeringai penuh kemenangan.
“Lihat tuh si miskin sombong itu. Masih bisa ke kampus juga, hebat…”
Anggi tak menoleh sedikit pun. Tapi langkahnya sedikit mengepal. Hatinya mulai bersiap.
Ia tahu… fitnah ini belum selesai. Tapi ia juga tahu, kebenaran suatu hari akan membuka jalan. Ia hanya perlu bertahan—dan diam-diam, mempersiapkan diri untuk saat itu.
---