Bab 7 - Kecurigaan

Suasana kampus pagi itu seperti biasa—ramai, tapi beracun. Bisik-bisik masih beterbangan, terutama tentang Anggi yang katanya akan "dihukum" oleh dosen karena mendengar fitnah. Beberapa mahasiswa bahkan tertawa-tawa di pojok kantin saat Anggi lewat.

"Eh, tuh si miskin," ujar salah satu tukang bully bernama Toni sambil menunjuk. "Hari ini tamat riwayatnya! Mau dihukum, tuh! Dikeluarin paling!"

Yang lain tertawa. Mereka tak tahu, Anggi tak menggubris semua itu. Dia hanya melangkah pelan ke gedung fakultas, dengan hati tenang tapi waspada.

---

Satu pesan masuk di ponsel Anggi dari pihak fakultas:

> “Anggi Saputra, harap menghadap ke ruang dosen Bapak Dimas pukul 09.30.”

Langkahnya berhenti sejenak. Ia membaca ulang, lalu kembali melangkah. Dosen Dimas bukan sembarang dosen. Ia cerdas, tajam, dan tidak mudah percaya pada rumor. Tapi kenapa dia memanggil Anggi?

---

Pintu ruang dosen diketuk pelan. Dari dalam terdengar suara berat.

“Masuk.”

Anggi melangkah masuk, sedikit menunduk hormat.

Pak Dimas duduk di balik mejanya. Sorot matanya tajam, penuh perhitungan.

“Silakan duduk, Anggi.”

Anggi duduk tanpa banyak bicara.

“Kamu tahu kenapa kamu saya panggil?” tanya Pak Dimas tenang.

“Saya dengar… soal tuduhan di grup kampus, Pak.”

Pak Dimas tersenyum tipis, namun bukan senyum biasa. Ada teka-teki di matanya.

“Saya tidak percaya pada gosip. Dan saya sudah cek, itu bukan kamu. Tapi… yang ingin saya tanyakan bukan itu.”

Anggi menoleh pelan.

Pak Dimas membuka map berisi dokumen yang tidak Anggi duga.

“Saya penasaran. Siapa kamu sebenarnya, Anggi Saputra?”

Anggi mengerutkan kening. “Maaf, Pak?”

“Beberapa hal membuat saya heran. Nilai akademikmu tinggi, bahasa tubuhmu sangat tenang, dan kemampuan observasimu melampaui mahasiswa biasa. Ditambah… ada seseorang yang mengenal gaya bela dirimu.”

Anggi menegang.

Pak Dimas menatap lurus. “Saya pernah jadi dosen tamu di luar negeri, tepatnya di kampus Royal Oxford. Saya melihat teknik bela diri yang sangat… unik. Dan saat saya tidak sengaja melihat kamu membela diri dari gerombolan preman jalanan kemaren. Kebetulan saya lewat dan melihat kamu dari kejauhan. Saya melihat jejak yang sama.”

Sunyi.

“Pak…” Anggi menunduk. “Saya… hanya anak panti.”

“Tapi kamu bukan sembarang anak panti,” ujar Pak Dimas pelan. “Kamu menyimpan sesuatu. Saya tidak akan paksa kamu bicara. Tapi satu hal: kamu harus berhati-hati. Orang-orang yang bersembunyi biasanya diburu oleh dua sisi—yang ingin melindungi, dan yang ingin menghancurkan.”

Anggi terdiam. Lalu ia berdiri perlahan. “Terima kasih, Pak. Saya mengerti.”

Pak Dimas mengangguk.

“Anggi…”

Anggi menoleh.

“Kalau suatu saat kamu butuh perlindungan, datanglah padaku dulu. Jangan sembunyikan semuanya sendiri.”

---

Di luar ruangan, Toni dan gengnya masih tertawa puas. Mereka mengira Anggi baru saja diperingatkan atau dipermalukan.

“Gimana? Udah siap cabut dari kampus?” ejek Toni.

Anggi hanya tersenyum samar. “Kalian terlalu percaya cerita.”

Toni cemberut, tapi Anggi sudah melangkah pergi, meninggalkan mereka dengan pertanyaan tak terjawab.

Rani duduk gelisah di bangku taman kecil kampus. Matanya tak lepas dari gedung fakultas, tempat di mana Anggi sedang dipanggil oleh dosen. Jari-jarinya menggenggam erat ponsel, berkali-kali membuka layar, berharap ada kabar dari Anggi—tapi tak ada.

“Anggi… kenapa kamu enggak jawab pesanku?” gumam Rani pelan, suaranya tenggelam dalam hembusan angin siang itu.

Ia merasa ada yang tidak beres. Sejak pagi, kabar tentang Anggi menyebar seperti virus: “Dia fitnah maling.” “Dia bakal diskors.” Bahkan ada yang tertawa puas seolah ini hiburan.

“Padahal dia orang baik…,” bisik Rani. “Kenapa harus dia yang jadi korban?”

Ia menghela napas berat. Dalam hati, ada amarah yang menyesakkan—bukan hanya pada tuduhan itu, tapi juga pada sikap teman-teman sekelas yang begitu mudah menghakimi Anggi, hanya karena dia anak miskin dan pendiam.

Beberapa mahasiswa lewat sambil menatapnya. Ada yang berbisik, ada pula yang tertawa kecil. Rani menggertakkan gigi.

Tak lama, ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk dari Vina.

> "Ran, aku denger Anggi dipanggil dosen ya? Kamu di kampus? Gimana kabarnya dia?"

Rani mengetik cepat.

> "Iya. Aku belum tahu. Dia belum keluar. Aku juga khawatir."

> "Kalau pulang kerja nanti kabari aku ya. Aku juga pengen tahu dia gimana. Dia orang baik. Nggak mungkin kayak yang dituduhkan."

Rani menatap pesan itu lama, lalu tersenyum tipis. Meski Vina bukan teman kampus, tapi perhatian gadis itu terhadap Anggi terasa tulus. Ia pun membalas singkat.

> "Iya, nanti aku kabari. Makasih, Vin."

Beberapa menit kemudian, pintu ruang dosen terbuka. Anggi keluar dengan langkah tenang. Wajahnya tak menunjukkan amarah atau ketakutan. Tapi bagi Rani, ekspresi tanpa emosi itulah yang paling mengkhawatirkan.

Rani langsung berdiri dan menghampiri.

“Anggi! Kamu nggak apa-apa?” tanyanya cemas.

Anggi menoleh, memberi senyum kecil. “Aku baik, Ran. Enggak seperti yang mereka bilang.”

“Dosen marah?” Rani menahan napas.

Anggi menggeleng pelan. “Enggak. Malah... beliau nanya soal latar belakangku.”

Rani tertegun. “Latar belakang?”

Anggi hanya tersenyum. “Nanti aku ceritain. Sekarang... kita ke kelas, yuk.”

Rani mengikuti di belakangnya, tapi pikirannya terus berkecamuk. Apa maksud dosen menanyakan latar belakang? Dan... kenapa Anggi tetap tenang di tengah badai fitnah ini?

Satu hal yang pasti—ada sesuatu dalam diri Anggi yang belum ia tahu. Dan perlahan, tabir itu pasti terbuka.

Langkah kaki Anggi terdengar ringan di koridor kampus, namun di dalam dadanya, segala sesuatunya berat. Rani berjalan di sampingnya, sesekali mencuri pandang ke arah wajah tenangnya, mencari celah untuk bertanya lebih jauh.

“Anggi…” Rani akhirnya membuka suara. “Tadi kamu bilang dosen nanya soal latar belakangmu?”

“Iya,” jawab Anggi tanpa menoleh. Suaranya tenang, tanpa beban.

Rani menahan napas, ragu. “Terus... kamu jawab apa?”

Anggi menoleh sejenak, memberi senyum kecil yang nyaris hambar. “Aku jawab seadanya. Sesuai yang mereka tahu selama ini. Anak panti, kuliah dari beasiswa, kerja sambilan.”

“Tapi kenapa beliau nanya itu?” desak Rani pelan.

Anggi diam. Langkahnya terhenti di depan kelas yang masih kosong. Ia menatap ke luar jendela, memandang langit yang mulai memudar warnanya.

“Mungkin karena aku terlalu... berbeda,” gumamnya. “Atau mungkin... ada yang mereka curigai. Tapi itu bukan hal penting.”

Rani menarik napas dalam-dalam. “Anggi, aku bukan orang kepo. Tapi kalau kamu punya masalah, kamu bisa cerita ke aku.”

Anggi menatapnya, lama. Mata Rani tampak tulus, seperti air yang jernih tanpa kedalaman rahasia. Tapi justru karena itu, ia tidak ingin menyeret gadis itu masuk ke dunia kelam masa lalunya.

“Terima kasih, Ran,” ucapnya pelan. “Tapi ada hal-hal dalam hidupku yang lebih baik nggak diceritakan.”

Rani terdiam. Hatinya terasa ditolak, tapi ia tak ingin memaksa. Ia hanya mengangguk, mencoba memahami meskipun benaknya dipenuhi tanya.

Sementara itu, dari ujung lorong, beberapa mahasiswa yang biasa membully Anggi melintas sambil tertawa kecil. Salah satunya berbisik keras-keras, cukup untuk didengar:

“Itu dia si penjahat kampus yang pura-pura miskin. Hati-hati aja, nanti ketularan maling juga kalian.”

Mereka tertawa. Rani hendak melawan, tapi Anggi lebih dulu menahan lengannya.

“Biarin,” ucap Anggi lirih. “Semakin mereka bicara, semakin mereka memperlihatkan siapa diri mereka.”

Rani menunduk. Di satu sisi ia kagum, tapi di sisi lain, hatinya mengkerut. Bagaimana seseorang bisa setenang itu menghadapi kebencian yang terus menghujani?

Anggi menatap langit sekali lagi. Di balik awan itu, ia yakin ada takdir besar yang menunggunya. Tapi untuk saat ini, biarlah semua tetap dalam diam. Biarlah dunia melihatnya sebagai pemuda miskin biasa.

Karena waktu akan tiba. Dan saat itu datang, semua akan tahu siapa sebenarnya Anggi Saputra.

---