Bab 8 - Bos Preman

Sore itu, selepas kelas terakhir yang cukup melelahkan, Anggi melangkah keluar dari gerbang kampus dengan tas lusuh di punggungnya. Langit mulai memerah, menandai waktu senja yang datang dengan angin sejuk. Tapi hati Anggi tetap berat, meskipun wajahnya tetap tenang. Seperti biasa, tak ada yang tahu bahwa beban yang ia pikul jauh lebih besar dari yang tampak.

Tujuannya jelas—minimarket tempat ia bekerja. Tempat yang jadi sumber pemasukan demi bisa bertahan hidup dan menyekolahkan adik-adik panti.

Sesampainya di sana, Vina menyambutnya duluan dari balik kasir dengan senyuman lebarnya. “Weh, pahlawan datang juga,” serunya santai.

Anggi tersenyum tipis. “Pahlawan kesiangan,” balasnya dengan nada ringan.

Vina tertawa. “Cepetan ganti baju, pelanggan sore biasanya mulai rame. Si Rani udah di gudang, ngecek stok.”

Tanpa banyak bicara, Anggi masuk ke ruang ganti, mengganti seragamnya dengan cepat. Saat keluar, Rani sudah berdiri di pintu gudang sambil menenteng clipboard. Begitu melihat Anggi, senyumnya langsung merekah—meskipun ada sisa kekhawatiran di sorot matanya.

“Udah baikan?” tanya Rani pelan sambil berjalan mendekat.

“Lumayan,” jawab Anggi. “Kamu yang nggak perlu terlalu khawatir.”

Rani menghela napas. “Sulit. Aku lihat kamu digencet terus, difitnah, disudutkan... Tapi kamu nggak pernah ngelawan. Nggak marah. Gimana caramu nahan itu semua?”

Anggi hanya menatapnya sebentar, lalu tersenyum. “Karena aku tahu siapa diriku. Dan mereka... hanya tahu apa yang mereka lihat.”

Jawaban itu membuat Rani terdiam. Ingin rasanya ia menggenggam tangan Anggi, meyakinkan bahwa ia tak sendiri. Tapi ia tahu, Anggi bukan tipe yang mudah membuka hati.

Jam bergulir. Pelanggan mulai berdatangan. Anggi bertugas di bagian parkir, menyusun motor dan membantu jika ada pertanyaan. Sesekali ia melirik ke arah kasir, melihat Vina yang bercanda dengan pelanggan dan Rani yang tetap fokus, tapi sesekali melirik ke arahnya.

Di antara tawa dan transaksi, ada satu dunia sepi yang mengurung Anggi. Ia ada, tapi tak sungguh hadir. Ia tersenyum, tapi bukan dari hati. Semua dilakukannya demi orang-orang yang bergantung padanya—anak-anak panti, Bu Sari, dan harapan kecil untuk masa depan.

Ketika malam mulai merayap dan minimarket bersiap tutup, Vina menyenggol bahunya. “Kamu tuh kayak tokoh utama di sinetron, Gi. Misterius, tapi bikin penasaran. Jangan-jangan kamu agen rahasia?”

Anggi tertawa pelan. “Kalau iya, kamu udah ketahuan, Vin.”

Rani ikut tertawa, tapi di dalam hatinya, ia tahu—Anggi memang menyimpan sesuatu. Bukan tentang sinetron atau agen rahasia. Tapi tentang masa lalu dan luka-luka yang tak ia izinkan siapa pun lihat.

Dan malam itu, ketika lampu minimarket mulai dipadamkan, Anggi berdiri sejenak di luar, memandangi jalan yang gelap. Ia tahu, malam belum usai. Ujian belum berakhir. Tapi ia siap. Karena selama masih ada orang yang ia lindungi, maka diam adalah kekuatan terbesarnya.

Setelah minimarket resmi tutup dan pelanggan terakhir melangkah pergi, Rani sibuk mencatat laporan kas harian, sementara Vina membereskan rak bagian depan. Anggi sendiri berada di gudang belakang, merapikan stok air mineral yang baru datang tadi siang. Tak ada yang bicara. Hanya suara kipas tua yang berdecit pelan, menambah suasana sunyi di antara mereka.

Tapi suasana itu pecah ketika suara gebrakan keras terdengar dari luar.

“ANGGI! KELUAR LO!” suara seorang pria membentak, keras dan garang.

Anggi yang tengah mengangkat dus langsung membeku. Jantungnya berdegup tak karuan. Rani dan Vina tersentak di tempatnya masing-masing.

Vina berbisik dari balik rak, “Itu suara preman kemarin, kan?”

Rani menatap ke arah pintu dengan cemas. “Kenapa mereka datang lagi?”

Anggi menarik napas dalam. Wajahnya tetap tenang, meskipun sorot matanya berubah gelap. Ia melangkah keluar gudang, perlahan, dengan langkah hati-hati. Vina hendak menyusul, tapi Rani menahannya.

“Biar dia sendiri.”

Di luar, 4 orang pria berdiri menunggu. Wajah mereka bengis. Salah satunya adalah Bos preman yang dulu memukul Anggi di parkiran. Kali ini mereka tampak lebih nekat. Tanpa memperdulikan bahwa ini tempat umum, mereka datang mencari masalah.

“Kamu pikir udah aman cuma karena udah bikin kami bonyok waktu itu? Sekarang lo keluar!” bentak salah satu preman sambil memukul-mukul tiang besi.

Anggi berdiri di ambang pintu. “Ini tempat kerja. Kalau kalian mau masalah, tunggu aku di luar. Jangan bawa-bawa tempat ini.”

Preman itu menyeringai. “Wah, berani juga sekarang. Sok jago, ya?”

Seketika, salah satu dari mereka melempar botol kosong ke arah Anggi. Mengenai bahunya. Tapi Anggi tak bergeming. Ia menunduk sebentar, lalu menatap mereka.

Wajahnya datar. Namun di balik ketenangan itu, Vina yang mengintip dari balik rak bisa merasakan hawa berbeda. Seolah... ada sesuatu yang bangkit dalam diri Anggi. Sesuatu yang selama ini ia pendam.

Anggi melangkah maju satu langkah. “Kalau kalian tetap mau rusuh, ayo. Tapi jangan heran kalau kali ini kalian yang pulang bonyok.”

Preman itu tertawa. “Ngancem lo?!”

Tapi saat hendak mendekat, suara peluit polisi terdengar dari kejauhan. Sontak ketiganya panik dan langsung lari terbirit-birit ke gang seberang. Ternyata satpam kompleks sudah menghubungi petugas.

Rani berlari keluar begitu suara sirene menjauh. “Kamu gak papa, Gi?”

Anggi hanya mengangguk. Vina menyusul dengan napas berat. “Tapi mereka pasti balik lagi. Mereka gak akan berhenti sebelum...”

“Biarkan aku yang hadapi,” potong Anggi tenang.

“Tapi kenapa kamu gak lawan mereka? Waktu di parkir kamu diam. Sekarang juga kamu tahan lagi... padahal kamu bisa kan?” tanya Rani, menatap matanya dalam-dalam.

Anggi menoleh ke arah keduanya. Untuk sesaat, topeng ketenangan itu runtuh. Wajahnya terlihat lelah... sangat lelah. Seperti seseorang yang terlalu sering memikul luka sendirian.

“Aku bukan pengecut,” katanya pelan. “Tapi... kalau aku tunjukkan siapa aku sebenarnya, semua yang aku jaga bisa hancur.”

Ucapan itu membuat Rani tercekat. Vina pun terdiam. Ada misteri yang belum terungkap—dan Anggi sengaja menjaganya rapat-rapat.

Anggi lalu berjalan perlahan ke dalam gudang. Langkahnya berat, tapi tetap teguh.

Malam itu, di balik dinding minimarket yang sederhana, dua gadis menyadari satu hal: Anggi bukan hanya pemuda miskin yang sabar dan pendiam. Dia adalah seseorang yang menyembunyikan lautan luka dan kekuatan besar—demi orang-orang yang ia lindungi.

Dan mereka... mulai benar-benar peduli.

Setelah semua lampu minimarket mati, Anggi dan teman-temannya pulang ke rumah masing-masing.