Disisi lain.
Langkah Vina terasa ringan tapi hatinya justru berat ketika sampai di depan rumahnya—sebuah rumah petak sempit di gang kecil yang hanya muat satu motor lewat. Lampu teras menyala redup, temaram menyorot tembok yang catnya mulai mengelupas. Ia menghela napas panjang sebelum membuka pintu kayu yang mulai reot.
“Bu... aku pulang,” gumamnya pelan, meski ia tahu ibunya sudah tertidur. Suara napas berat dari dalam kamar menandakan penyakit lama sang ibu belum membaik.
Vina menaruh tas kerjanya di atas meja kecil, lalu duduk sendirian di tepi ranjang, membuka jilbabnya perlahan. Di luar, suara motor lewat sayup-sayup terdengar, tapi di dalam sini... hanya keheningan. Hening dan penuh rasa rindu yang tak bisa ia bagi.
Wajah Anggi kembali hadir di benaknya. Sosok pemuda pendiam itu, berjalan di depannya saat mereka bubar kerja tadi. Jarak mereka memang dekat, hanya beberapa langkah, tapi bagi Vina—jarak itu terasa jauh. Bukan karena langkah, tapi karena perbedaan hidup.
"Aku hanya teman kerja..." bisiknya lirih. Ia tahu, Rani dan Anggi lebih dekat. Mereka satu kampus, dunia mereka selaras. Sedangkan dirinya? Ia hanya pekerja penuh waktu yang menggantungkan harapan dari upah harian.
Namun meski begitu... perasaannya tidak bisa dilarang. Ia ingin Anggi bahagia. Meski itu berarti ia hanya akan memandang dari jauh.
Vina merebahkan tubuhnya di kasur tipis yang mulai usang. Matanya terbuka menatap langit-langit, dan dalam sunyi malam itu, ia hanya bisa tersenyum getir. "Semoga... besok aku masih bisa lihat dia lagi."
Vina belum memejamkan mata ketika suara batuk pelan terdengar dari dalam kamar. Ia segera bangkit, melangkah cepat menuju kamar ibunya yang hanya dibatasi tirai lusuh berwarna coklat tua.
“Bu… Ibu belum tidur?” tanyanya lembut sambil duduk di pinggir ranjang.
Sosok tua itu mengerjapkan mata, menatap putrinya dengan lemah. “Vina… kamu udah pulang, Nak?”
“Iya, Bu. Maaf ya pulangnya malam lagi,” ucap Vina, sambil merapikan selimut yang melorot dari tubuh ibunya.
Ibu Vina tersenyum, meski jelas terlihat lelah. “Nggak apa-apa… asal kamu hati-hati. Ibu cuma khawatir kamu kecapekan.”
Vina menggenggam tangan ibunya yang kurus dan dingin. “Capek nggak seberapa, Bu… asal Ibu cepat sembuh. Biar bisa duduk di teras lagi tiap sore.”
Senyum tipis merekah di wajah ibunya. “Ibu masih bisa kok… asal kamu jangan terlalu banyak pikiran.”
Namun justru kata-kata itu membuat Vina nyaris menitikkan air mata. Ia menunduk, menatap lantai, menyembunyikan kesedihannya.
“Bu… kalau misalnya Vina punya seseorang yang Vina suka… tapi dia jauh di atas Vina… Vina harus gimana?” tanyanya pelan.
Ibu Vina mengernyit samar. “Orang itu… baik?”
“Baik banget, Bu. Tapi Vina cuma bisa lihat dari jauh,” jawab Vina dengan suara serak.
Ibunya menarik tangan Vina, mengelus lembut. “Kalau dia memang ditakdirkan untuk kamu… sejauh apapun dia sekarang, nanti Tuhan bakal dekatkan. Tapi kalau tidak… jangan terlalu lama menunggu, Nak. Hidupmu masih panjang.”
Vina diam. Matanya berkaca-kaca. Lalu ia menunduk dan mencium tangan ibunya.
“Makasih ya, Bu… Vina sayang Ibu.”
“Ibu juga sayang Vina. Selalu.”
Disii lain.
Malam sudah larut ketika Rani melangkah masuk ke kontrakannya yang sempit dan sunyi. Hanya satu bohlam redup yang menggantung di tengah ruangan, menciptakan bayangan panjang di dinding yang kosong. Ia meletakkan tas kerjanya di atas meja kecil yang juga merangkap meja makan dan meja belajar.
Langkahnya lesu. Bahunya berat. Tapi yang lebih berat adalah pikirannya.
Ia duduk di pinggir ranjang tipisnya, melepaskan sepatu pelan-pelan. Pandangannya kosong menatap dinding. Hening. Tapi di dalam hati, riuh tak karuan.
“Anggi…”
Nama itu melintas lagi di kepalanya. Entah sudah berapa kali dalam sehari ia menyebut nama itu—dalam hati. Semenjak kejadian di kampus, Rani merasa hatinya semakin tak tenang. Fitnah yang tersebar begitu cepat, dan Anggi… tetap diam. Tetap tenang. Seolah tak ada apapun yang terjadi.
“Kenapa kamu selalu tahan, Gi? Kenapa kamu nggak pernah marah?” bisik Rani lirih pada dirinya sendiri.
Ia ingat saat Anggi diam-diam membantu mengangkat barang berat di minimarket. Ia juga ingat bagaimana Anggi langsung menghiburnya ketika ia menangis karena dimarahi atasan. Ia selalu ada. Selalu baik. Tapi juga… selalu menyimpan semuanya sendiri.
Rani bersandar di dinding. Tangannya memeluk lutut, matanya memandang ke langit-langit.
“Aku pengen tahu kamu sebenarnya siapa… dan kenapa kamu sembunyikan semuanya dari kami,” gumamnya pelan.
Tiba-tiba ia teringat ekspresi Anggi di kampus tadi siang. Seseorang menyebar kabar bahwa Anggi menghina dosen—dan semua mata menatapnya penuh tuduhan. Tapi Anggi hanya tersenyum tipis, menunduk, dan berlalu seperti angin.
“Aku nggak percaya kamu sejahat itu, Gi…” Rani menghela napas berat.
Sambil membaringkan diri di ranjang, ia memejamkan mata. Tapi benaknya tetap bergelut. Ia tahu, besok akan lebih berat. Ia tahu, Anggi akan tetap diam. Tapi ia berjanji dalam hati…
“Aku nggak bakal diam. Kalau kamu terus disakiti, aku bakal jadi yang berdiri paling depan buat bantuin kamu.”
Senyum kecil mengembang di bibirnya, meski air mata menetes diam-diam. Rani tertidur dengan harapan—dan ketakutan—tentang kebenaran yang belum terungkap.
Kembali ke Lap...Toooop!
Anggi berjalan pelan menyusuri trotoar yang mulai lengang. Malam semakin larut, namun langkahnya enggan pulang. Angin malam menggigit kulit, tapi pikirannya jauh lebih dingin dari cuaca.
Dia melewati deretan pertokoan yang sudah tutup. Lampu-lampu jalan memantulkan bayangan panjang tubuhnya di aspal basah. Tangan kanannya memegang erat tas kecil berisi buku dan sisa bekal dari kerja. Di bahunya masih tertinggal beban hari itu—fitnah, tatapan sinis, tawa ejekan.
Anggi menghela napas panjang dan membelokkan langkahnya ke sebuah taman kecil yang sepi, hanya diterangi lampu taman redup dan suara serangga malam. Ia duduk di bangku tua di bawah pohon beringin besar.
Hening.
Ia menatap ke langit, bintang-bintang bertaburan samar, seolah tahu segala rahasia yang tak pernah ia ungkapkan kepada siapa pun.
"Seandainya aku bisa bicara..." bisiknya, lirih.
Tangannya menggenggam kalung yang selalu tersembunyi di balik bajunya—kalung yang menjadi satu-satunya peninggalan masa lalu, masa yang tak pernah ia mengerti sepenuhnya. Kalung itu dingin, logamnya berat… seperti beban identitas yang selama ini ia kubur.
"Aku bukan siapa-siapa… tapi kenapa dunia memperlakukanku seolah aku musuh?" gumamnya, mata menatap kosong ke depan.
Ia ingat sorot mata dosen tadi, yang tak seperti kebencian… tapi lebih kepada penasaran. Ia tahu sesuatu. Mungkin. Atau mungkin hanya firasat.
Lalu ia ingat Rani… dan Vina. Dua orang yang meski tak tahu segalanya, tetap memperlakukannya dengan baik.
“Kalau mereka tahu siapa aku sebenarnya… apakah mereka masih akan tetap berdiri di sampingku?” tanyanya pada dirinya sendiri.
Anggi menunduk. Matanya mulai berkaca-kaca. Tapi ia menahannya. Menahan seperti biasa. Karena hidup mengajarkannya bahwa air mata tak menyelesaikan apapun—diam dan bertahan, itu satu-satunya cara.
Setelah beberapa saat, ia berdiri. Menarik napas dalam-dalam, membenarkan jaketnya, lalu berjalan pelan kembali ke arah panti.
Langkahnya berat, tapi hatinya mulai mantap.
"Aku akan tetap di sini… tetap menjadi Anggi yang mereka kenal. Sampai waktunya tiba."
---