Anggi berjalan menyusuri trotoar sepi malam itu, hanya diterangi lampu jalan yang redup. Langkahnya lelah, pikirannya penuh—tentang fitnah di kampus, kekhawatiran Rani, Vina yang tampak diam namun penuh perhatian, dan Bu Sari di panti yang mungkin menunggunya. Tapi semuanya lenyap seketika ketika ia merasa ada yang mengikutinya.
Langkahnya berhenti di depan taman kota saat ia mau berjalan arah pulang. Suara langkah lain berhenti pula.
"Sudah lama kutunggu saat ini."
Suara berat itu berasal dari balik pohon besar di sudut taman. Muncul sosok tinggi besar dengan mata tajam, jaket kulit lusuh, dan senyum yang menyeringai jahat. Di belakangnya berdiri tiga pria bertubuh kekar, bekas anak buah yang pernah mengeroyok Anggi.
“Bos Gendo…” desah Anggi pelan, mengenali wajah itu dari cerita para preman di jalanan.
“Kau buat malu orang-orangku. Dan sekarang… kau harus bayar,” kata Gendo sambil membuka jaketnya, menunjukkan tato besar di dadanya.
Anggi menghela napas. “Aku hanya membela diri. Tapi kalau kau memaksanya...”
“Kita akhiri di sini. Malam ini.”
Tanpa aba-aba, Gendo menyerang lebih dulu, tinjunya meluncur deras ke arah wajah Anggi. Namun Anggi bergerak cepat, tubuhnya menunduk lalu memutar ke samping, membuat serangan itu meleset.
Dua anak buah Gendo ikut maju, tapi hanya butuh tiga detik bagi Anggi untuk melumpuhkan mereka—satu sapuan kaki, satu pukulan keras ke dada, dan tubuh mereka ambruk tak sadarkan diri.
Kini hanya tinggal Gendo dan Anggi. Udara semakin dingin, suasana semakin mencekam.
"Siapa kau sebenarnya, hah? Bukan cuma bocah miskin biasa!" Gendo mulai panik melihat gerakan Anggi yang terlalu cepat dan akurat.
Anggi menatap dalam, suara hatinya tenang tapi tajam. “Aku bukan siapa-siapa. Tapi aku tak akan diam saat diinjak.”
Duel sengit berlangsung. Gendo mengerahkan seluruh kekuatan brutalnya, tapi Anggi mengimbanginya dengan teknik dan presisi. Mereka bertukar pukulan dan tendangan, menciptakan dentuman keras di tengah taman kosong itu. Tubuh Gendo sempat menghantam bangku taman, tapi ia bangkit lagi dengan darah di sudut bibirnya.
Anggi, dengan napas yang masih stabil, menunggu.
Akhirnya, satu tendangan menyilang dari Anggi mengenai perut Gendo. Pria itu jatuh berlutut, terengah, tak lagi mampu berdiri.
Anggi mendekat. “Kau bukan lawanku.”
Gendo terdiam. Matanya nanar menatap pemuda di hadapannya, yang kini perlahan membalikkan badan dan berjalan pergi, kembali ke jalan setapak menuju panti.
Malam itu, di bawah langit yang kelam, hanya ada satu hal yang pasti: kota Panda mulai menyadari—ada kekuatan besar tersembunyi di balik sosok pemuda miskin bernama Anggi.
Tubuh Gendo membungkuk. Darah mengalir dari bibirnya yang sobek. Tapi matanya belum menyerah.
"Aku belum selesai!" raungnya sembari bangkit, mencabut pisau dari pinggangnya.
Cahaya bulan memantul pada bilah tajam itu.
Anggi mematung. Bukan karena takut—tapi karena kecewa. Ia benci kekerasan. Tapi malam ini, ia tahu: diam bukan pilihan.
"Jangan paksa aku melewati batas," ucap Anggi pelan. Suaranya bergetar, bukan oleh rasa takut, tapi oleh beban di dadanya.
"Sudah terlambat untuk bicara, bocah!" teriak Gendo lalu menerjang.
Pisau itu melesat ke arah Anggi.
Namun tiba-tiba…
CRAASS!
Anggi menangkap pergelangan tangan Gendo dengan satu tangan, kuat seperti besi. Lalu, dengan gerakan secepat kilat, ia membalikkan tangan itu ke belakang hingga terdengar suara retakan kecil.
“ARGHHH!!” Gendo berteriak kesakitan. Pisau terlepas.
Anggi menatapnya lurus. “Kenapa orang-orang sepertimu selalu mengandalkan rasa takut? Apa dunia tidak cukup menyakitkan bagimu?”
“Diam!!” Gendo meninju sembarangan, tapi Anggi menghindar dan membalas dengan satu pukulan keras di dada. Gendo terlempar ke belakang, menghantam tiang taman.
Langit semakin gelap, angin berembus kencang, dan hujan mulai turun rintik-rintik.
Anggi berdiri di tengah taman, dengan dada naik-turun, mengenang semua yang telah ia tahan—penghinaan, fitnah, kelaparan, kerja keras, dan beban menjaga adik-adik panti. Semua itu membentuk amarah yang ia simpan rapat, terkunci dalam dada.
Dan malam ini, kuncinya pecah.
Gendo berusaha bangkit sekali lagi. Tapi Anggi sudah berada di hadapannya. Kedua mata mereka bertemu. Di mata Anggi, tidak ada kebencian, hanya luka yang dalam.
Satu tinju menghantam rahang Gendo. Lalu satu tendangan memutar mengenai rusuknya. Gendo ambruk tak sadarkan diri, tubuhnya tergelatak di tanah basah.
Hujan mulai deras.
Anggi menatap langit.
Air mata dan hujan bercampur di wajahnya. Ia tak tahu mana yang lebih sakit—luka di luar, atau luka di dalam. Tapi satu hal pasti, ia tidak lagi sama. Dunia telah memaksanya berubah.
“Maaf, Bu Sari…” bisiknya pelan. “Aku janji tetap sabar… Tapi kadang dunia ini terlalu kejam untuk ditahan sendiri.”
Ia berjalan perlahan meninggalkan taman, langkah berat namun mantap. Di balik rintik hujan malam itu, seorang pemuda miskin dengan luka di dada dan misteri di punggungnya, mengukir sejarah yang tak seorang pun tahu.
Langkah Anggi tertatih menyusuri trotoar sepi. Tubuhnya basah kuyup, bukan hanya karena hujan, tapi karena darah dan peluh. Setiap langkah terasa berat, seperti membawa beban seribu kenangan yang menusuk hati.
Kilatan petir membelah langit.
Di balik bayangan pohon, sepasang mata memperhatikannya. Seorang anak kecil berpakaian lusuh—tidak lebih dari delapan tahun—berdiri menggigil di sudut taman, menyaksikan perkelahian tadi tanpa suara.
Anggi berhenti.
Mereka saling pandang dalam diam. Anak kecil itu terlihat takut, tapi juga kagum. Mata polosnya berbinar aneh, seolah baru saja melihat sosok pahlawan.
Anggi menghampirinya perlahan, lalu berjongkok meski tubuhnya sendiri hampir roboh.
“Kamu dari mana?” tanya Anggi dengan suara serak.
Anak itu menunjuk ke tenda kecil tak jauh dari taman. “Aku… aku tinggal di situ sama Ibu. Tapi Ibu sakit…”
Anggi memandang tenda kumuh itu. Seketika wajah Bu Sari dan adik-adik pantinya terbayang. Hatinya mencelos. Dunia ini terlalu banyak penderitaan, dan dia tahu bagaimana rasanya.
Tanpa ragu, ia mengeluarkan lembaran uang lusuh dari kantong celananya—hasil kerja keras minggu ini. Ia sisakan hanya sedikit untuk ongkos makan besok, lalu sisanya ia serahkan ke bocah itu.
“Buat beli obat, ya. Bilang ke apotek, ini buat ibumu.”
Anak itu mengangguk pelan. Matanya berkaca-kaca. “Abang… siapa?”
Anggi tersenyum tipis. “Aku… cuma orang biasa.”
Anak itu pun memeluk Anggi sebentar. Lalu berlari menembus hujan.
Anggi berdiri lagi, menatap langit. Tangannya gemetar. Tubuhnya memar. Tapi hatinya terasa lebih hidup dari sebelumnya.
Dia tahu… meski dikhianati, difitnah, dan dipukuli—selama ia masih bisa membantu orang lain, hidupnya tidak sia-sia.
Di kejauhan, sirine polisi terdengar samar.
Anggi segera melangkah pergi, menghilang di balik gelap, sebelum seseorang datang dan menyaksikan apa yang seharusnya tidak diketahui siapa pun. Kekuatan itu... masih harus dirahasiakan.
Malam terus turun, hujan belum reda, tapi jiwa Anggi kini telah membara.
---