Bab 11 - Terluka

Langkah kaki Anggi akhirnya terhenti di tepi sungai kecil yang membelah kota Panda. Di tempat itu, ia duduk di atas batu besar yang dingin, membiarkan luka-luka di tubuhnya menyatu dengan dinginnya angin malam. Pakaian yang sobek, darah yang telah mengering, dan hujan yang membasahi rambutnya seolah jadi saksi bisu dari semua yang ia lewati malam ini.

Ia memejamkan mata.

Dalam keheningan, wajah Bu Sari muncul di benaknya. Suaranya yang lembut, tangannya yang selalu mengusap kepala Anggi saat ia menangis di masa kecil dulu. Ingatan-ingatan itu datang bersamaan dengan bayang wajah adik-adik panti yang menyambutnya setiap malam dengan senyum penuh harapan, meski hidup mereka jauh dari cukup.

“Aku harus kuat… untuk mereka,” bisik Anggi lirih, hampir seperti doa.

Tapi suara lain menyela dari dalam kepalanya. Suara amarah. Suara sakit. Suara yang menjerit, “Kenapa aku harus terus menahan semuanya? Kenapa dunia begitu kejam?”

Tangan Anggi mengepal. Rasa marah pada orang-orang kampus yang menghinanya, rasa sakit karena fitnah yang mencoreng nama baiknya, hingga rasa terhina karena harus menahan pukulan dari para preman tanpa bisa melawan secara terbuka. Semua itu seperti racun yang mengendap di dada.

“Aku ini siapa sebenarnya?” Anggi menatap permukaan sungai yang memantulkan wajahnya yang lebam. “Kenapa aku harus hidup seperti ini, menyembunyikan jati diri, kekuatan, dan semua yang kumiliki…?”

Angin meniup pelan, membawa suara alam yang menenangkan. Ia terdiam. Lama.

“Ayah… Kakek… kalian sembunyikan aku dari dunia. Tapi sampai kapan aku harus terus bersembunyi?” gumamnya lirih. “Kapan aku bisa berdiri tanpa rasa takut…? Kapan aku bisa memperbaiki semuanya…?”

Air matanya jatuh. Ia cepat menyekanya. Bukan karena malu menangis, tapi karena ia tahu… tangis tak akan mengubah apa pun. Hanya tekad.

Ia mengeluarkan kalung yang selama ini tersembunyi di balik bajunya. Kalung tua yang selalu ia bawa sejak kecil, warisan dari keluarganya—lambang yang hanya dikenali oleh keturunan Saputra sejati.

Ia genggam erat kalung itu.

“Jika takdir memaksaku untuk terus bertahan dalam gelap… maka aku akan jadi cahaya dalam kegelapan itu.”

Langit mulai cerah. Hujan telah berhenti.

Anggi berdiri perlahan. Meski tubuhnya masih lemah, tapi tatapannya sudah tak goyah lagi. Ia melangkah menuju jalan setapak, kembali ke panti asuhan.

Langkah yang lebih mantap. Lebih dalam. Lebih penuh keyakinan.

Karena malam ini, bukan hanya luka yang ia bawa pulang. Tapi juga tekad baru untuk menghadapi hari esok—meski itu berarti harus berdiri sendirian.

Malam semakin larut. Angin lembut menyusup dari celah-celah jendela panti, membawa hawa dingin yang membuat tubuh menggigil pelan. Bu Sari duduk di ruang tamu sederhana, ditemani secangkir teh yang sejak tadi tak tersentuh. Matanya menatap kosong ke arah pintu panti yang belum juga terbuka.

“Sudah lewat tengah malam…” gumamnya lirih.

Anggi belum juga pulang. Itu hal yang jarang terjadi. Anak itu selalu disiplin, selalu pulang tepat waktu bahkan ketika lelah bekerja dan kuliah. Tapi malam ini… ada firasat aneh di dada Bu Sari. Semacam kecemasan yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Ia meraih ponselnya, membuka pesan-pesan terakhir—namun nihil. Tak ada kabar.

Langkah kaki kecil terdengar dari lorong. Ternyata Rido, salah satu anak panti yang masih SD, menghampirinya sambil mengucek mata.

“Bu Sari belum tidur?” tanyanya polos.

“Belum, Nak. Kamu kenapa bangun?” Bu Sari berusaha tersenyum meski hatinya tak tenang.

“Mau ke kamar mandi… Tapi tadi denger Ibu manggil-manggil Kak Anggi?” Rido menatapnya dengan tatapan polos yang menusuk.

Bu Sari mengusap kepala anak itu lembut. “Iya, Kak Anggi belum pulang. Mungkin masih kerja. Doain ya, biar Kak Anggi baik-baik aja.”

Rido mengangguk. “Kak Anggi orang baik, Bu. Tuhan pasti jagain dia.”

Kalimat polos itu membuat dada Bu Sari sesak. Ia menarik napas panjang, memeluk Rido erat-erat, seakan dalam pelukan itu tersimpan doa-doa yang belum sempat diucap.

Setelah Rido kembali tidur, Bu Sari berdiri pelan, melangkah ke altar kecil di sudut ruangan, tempat ia biasa berdoa diam-diam. Di sana ada bingkai foto lama—foto bersama Anggi kecil saat baru datang ke panti. Mata polos, senyum tulus, dan kalung yang tergantung di leher kecilnya.

“Ya Tuhan…” bisiknya. “Kalau aku boleh minta satu hal malam ini, jagalah anak itu. Aku tahu dia menyimpan luka yang tak pernah dia ceritakan. Tapi dia anak baik… terlalu baik untuk dunia yang kejam.”

Butiran air mata jatuh perlahan dari pipinya. Malam itu, seorang ibu—meski bukan ibu kandung—mendoakan anaknya dengan sepenuh cinta. Dan entah kenapa, bulan di luar jendela tampak sedikit lebih redup, seolah ikut menunduk dalam keheningan.

Pintu panti berderit pelan. Masih subuh, langit belum terang sepenuhnya. Suara langkah perlahan menyusuri lantai depan rumah panti. Bu Sari yang belum juga tidur langsung berdiri dari duduknya, jantungnya berdegup lebih cepat. Dia bergegas membuka pintu ruang tengah—dan di sanalah Anggi berdiri.

Tubuh pemuda itu limbung. Bajunya sobek di beberapa bagian, bercak darah mengering di sisi lengan dan dada. Ada luka sayat kecil di pipinya, dan tangan kirinya memegangi perutnya seolah menahan rasa sakit yang luar biasa. Nafasnya tersengal, tapi matanya tetap tenang.

“Anggi!” seru Bu Sari kaget, langsung berlari menghampirinya.

Anggi berusaha tersenyum. “Maaf, Bu… saya pulang terlambat.”

Namun senyum itu tak bisa menutupi kondisi tubuhnya yang babak belur. Bu Sari nyaris menjerit ketika melihat dari dekat luka-lukanya.

“Ya Tuhan, kamu kenapa, Nak?! Siapa yang melakukan ini?!”

“Tidak apa-apa, Bu. Cuma… masalah di jalan,” jawab Anggi, masih mencoba berdiri tegak.

“Masalah apa yang bikin kamu begini?! Duduk! Duduk dulu, Ibu ambil obat dan kain basah!”

Bu Sari dengan sigap menuntun Anggi duduk di sofa tua. Tangannya gemetar saat membersihkan luka-luka di wajah dan lengan pemuda itu. Air matanya jatuh tanpa bisa ditahan.

“Anggi… kamu ini anak baik. Kenapa harus terus-terusan disakiti dunia? Apa hidup belum cukup kejam padamu?”

Anggi menunduk. Lidahnya kelu. Ia ingin bicara, ingin menjelaskan, ingin menceritakan segalanya, tapi bibirnya terlalu berat untuk terbuka. Ia tak ingin Bu Sari tahu bahwa ia tadi malam hampir membunuh seseorang. Bahwa ia memukul, menendang, dan melukai demi membela dirinya sendiri. Bahwa dirinya... bukan hanya si anak miskin panti biasa.

“Saya janji, Bu,” ucapnya pelan. “Saya akan tetap jadi anak baik. Tapi… kadang, saya harus jaga diri sendiri.”

Bu Sari menggenggam tangannya, menatapnya dengan mata penuh kasih. “Apapun yang kamu sembunyikan, Ibu percaya… kamu tidak akan menyimpang. Tapi mulai sekarang, jangan simpan semua luka sendiri. Biar Ibu yang bantu mengobatinya, ya?”

Anggi menunduk. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, hatinya bergetar. Hangat. Dan sakit. Tapi ada ketenangan yang datang dari pelukan Bu Sari—seperti pelukan seorang ibu kandung, yang tak pernah ia kenal.

---