Bab 12 - Keberadaan Tercium

Udara pagi menyelinap lembut ke dalam kamar sederhana itu. Cahaya matahari menyapu dinding-dinding tua panti dengan tenang, seakan ingin menghapus jejak malam yang kelam. Di atas ranjang kecil yang bersih, Anggi masih terbaring. Luka-luka di tubuhnya telah dibersihkan, kain bersih menutupi perban di lengan dan sisi rusuknya yang lebam.

Bu Sari duduk di tepi ranjang dengan mata sembab. Ia belum tidur semalaman. Wajahnya penuh cemas, tetapi ada kelegaan saat mendengar suara napas Anggi yang stabil.

“Anggi…” bisiknya pelan saat melihat kelopak mata anak itu bergerak.

Perlahan, Anggi membuka matanya. Pandangannya masih kabur, tapi segera mengenali sosok wanita yang selama ini menjadi ibu baginya. Ada kehangatan yang menelusup dalam dada, bercampur rasa bersalah dan lega.

“Ibu…”

Bu Sari langsung memeluk tubuh Anggi pelan, takut menyentuh luka-lukanya, tapi tak bisa menahan dorongan kasih yang membuncah.

“Kamu bikin Ibu khawatir, Nak. Hampir saja kamu nggak kembali semalam…” suara Bu Sari bergetar.

Anggi menunduk. “Maaf, Bu… Aku nggak berniat bikin Ibu takut…”

“Ssstt, nggak usah minta maaf. Ibu yang minta maaf. Ibu nggak tahu kamu harus menghadapi semua ini sendiri. Harusnya Ibu bisa lebih peka…”

Keduanya terdiam cukup lama. Anggi memandangi langit-langit, lalu menghela napas. “Aku cuma nggak mau semua orang tahu, Bu. Tentang siapa aku… tentang kekuatan ini… tentang masa lalu yang sebenarnya.”

Bu Sari mengangguk perlahan, lalu mengusap kepala Anggi penuh kasih. “Ibu tahu. Kamu anak yang kuat, Anggi. Tapi kamu juga berhak untuk merasa lemah… untuk bersandar… terutama pada Ibu.”

Air mata Anggi mengalir tanpa suara. Tangisnya bukan karena sakit fisik, tapi karena hatinya yang selama ini terlalu sepi.

“Ibu… aku lelah…”

“Ibu tahu, Nak. Tapi kamu nggak sendirian.”

Di luar kamar, suara anak-anak panti yang sedang menyapu dan menyiram bunga mulai terdengar. Matahari makin terang. Kehidupan perlahan bergerak maju. Namun di dalam kamar itu, waktu seakan berhenti sebentar. Memberi ruang bagi satu anak yang selama ini menanggung dunia dalam diam, dan satu ibu yang akhirnya tahu: bahwa anak ini tidak hanya butuh kasih, tapi juga tempat untuk pulang.

Hari itu, Anggi tidak pergi kuliah. Ia tidak memberitahu dosennya, tidak juga memberi kabar pada Rani. Tubuhnya masih terasa berat, tapi bukan hanya karena luka. Hatinya lebih membutuhkan ruang—tempat untuk diam, menghela napas, dan menemukan kembali dirinya yang tenang.

Ia duduk di halaman panti, mengenakan kaos putih lusuh dan celana panjang longgar. Senyumnya pelan, namun tulus, saat melihat adik-adik panti bermain bola plastik, tertawa, dan berteriak riang. Udara pagi segar, dan matahari mengintip malu-malu di balik awan.

“Bang Anggi ikut dong!” teriak Fajar, anak panti yang paling kecil.

Anggi tersenyum dan berdiri perlahan. Luka di sisi perutnya masih nyeri, tapi ia tak peduli. “Ayo, Bang Anggi jadi kiper!”

Seketika sorak sorai anak-anak memenuhi halaman. Mereka membentuk dua tim seadanya. Bola plastik menggelinding tak tentu arah, tapi tawa mereka mengisi seluruh udara. Beberapa kali Anggi menjatuhkan diri menahan bola, membuat anak-anak bersorak kegirangan. Meskipun sakitnya terasa setiap kali bergerak, rasa hangat yang mengalir di hatinya membuatnya tetap tersenyum.

Di teras, Bu Sari mengintip sambil tersenyum haru. Melihat Anggi tertawa lepas di tengah anak-anak membuatnya lega. Mungkin, di sini lah tempat terbaik Anggi untuk sembuh—bukan hanya dari luka fisik, tapi juga luka batin yang selama ini dipendam sendiri.

Setelah lelah bermain, Anggi duduk di bawah pohon mangga bersama beberapa anak. Mereka makan gorengan yang dibeli dari warung sebelah. Suasana begitu damai. Seolah dunia luar—kampus, fitnah, preman, semua yang menyakitkan—tak pernah ada.

“Bang Anggi kenapa kemarin nggak pulang-pulang?” tanya Sasa polos.

Anggi terdiam sejenak. Ia mengelus rambut Sasa dengan lembut. “Bang Anggi cuma tersesat sebentar. Tapi sekarang udah ketemu jalan pulang.”

Sasa tersenyum, meskipun tak benar-benar mengerti. Yang ia tahu, Bang Anggi kembali—dan itu cukup.

Hari itu, Anggi memutuskan untuk membiarkan dunia menunggu. Ia memilih memeluk kehidupan kecilnya di panti. Di sinilah tempat yang penuh cinta, yang tak menuntut dia menjelaskan siapa dia sebenarnya. Di sini, dia hanya Anggi. Anak panti. Kakak dari belasan adik kecil. Pelindung tanpa pamrih. Rumah bagi hati yang mencari pulang.

Disisi lain.

Di sebuah rumah megah bergaya klasik Eropa di pusat ibu kota, malam begitu sunyi, namun di dalam ruangan utama yang penuh lukisan leluhur dan ukiran emas itu, seorang pria tua duduk termenung. Sorot matanya tajam menembus waktu, tapi dalam tatapannya tersembunyi luka dan rindu yang dalam.

Dialah Datuk Saputra, kepala keluarga besar Saputra. Tubuhnya mungkin telah melemah dimakan usia, tapi kewibawaannya tak pernah luntur. Ia duduk memegang bingkai foto lama—foto seorang bayi lelaki yang dulu digendongnya penuh harap.

“Anggasta...” bisiknya lirih. “Cucu Datuk... kau di mana sekarang?”

Sudah hampir dua dekade sejak cucu kesayangannya hilang. Anak dari putra sulungnya yang meninggal secara misterius. Dan setelah itu, bayi itu pun lenyap tanpa jejak. Namun, Datuk tidak pernah percaya kalau cucunya mati. Ada sesuatu di hatinya yang terus berkata bahwa bocah itu masih hidup.

Tiba-tiba pintu ruangan terbuka. Masuklah seorang pria setengah baya dengan jas rapi dan senyum penuh kepalsuan—Malin Saputra, adik dari almarhum ayah Anggi. Wajahnya mirip, tapi sifatnya jauh berbeda. Ia adalah sosok yang kini menguasai sebagian besar bisnis keluarga, dan diam-diam memiliki ambisi menghabisi siapa pun yang menjadi penghalang kekuasaannya.

“Datuk,” katanya sambil membungkuk. “Masih memikirkan si anak hilang itu?”

Datuk Saputra menatap tajam, tidak suka nada sinis itu. “Itu cucuku, Malin. Dia belum mati.”

Malin tersenyum dingin. “Sudah bertahun-tahun. Kita bahkan tak tahu siapa yang membawanya pergi. Mungkin lebih baik Datuk... menerima kenyataan.”

Datuk bangkit perlahan dari duduknya. “Aku tak butuh saran dari orang yang tak mengerti arti darah dan kehormatan.”

Malin menyembunyikan kekesalannya dengan cepat. Dalam hati, ia tahu jika Anggi benar-benar kembali, warisannya, kekuasaannya, dan posisinya akan hancur. Ia tak akan membiarkan itu terjadi.

Sementara, di luar ruangan itu, seorang asisten keluarga, yang mendengar percakapan mereka, segera menghubungi seseorang di kota Panda.

“Segera cari tahu tentang pemuda miskin bernama Anggi Saputra. Pantau semua gerak-geriknya. Jika itu benar dia... kita harus cepat-cepat mengambil tindakan sebelum semua terlambat.” perintahnya!

Langit malam di kota Panda tampak biasa saja, tapi takdir sedang bergerak cepat.

Anggi, pemuda miskin yang sebenarnya darah bangsawan, sedang diintai. Bukan hanya oleh keluarga yang merindukannya, tapi juga oleh pengkhianat yang ingin menguburnya selamanya.

---