Sudah tiga hari Anggi tak terlihat di kampus. Tak ada pesan, tak ada kabar, dan tak seorang pun tahu ke mana ia pergi.
Di taman belakang gedung perkuliahan, Rani duduk gelisah sambil memainkan ujung jilbabnya. Wajahnya tampak lelah karena kurang tidur. Di sampingnya, Vina yang baru datang langsung duduk tanpa berkata sepatah kata pun.
“Kamu juga belum dapet kabar dari Anggi, kan?” bisik Rani dengan suara penuh kekhawatiran.
Vina hanya menggeleng lemah. “Aku sempat tanya anak minimarket, katanya Anggi juga belum masuk kerja sejak tiga hari lalu…”
Mata Rani berkaca-kaca. Ia menggigit bibir bawahnya. Ada perasaan yang sulit dijelaskan: takut, sedih, dan marah bercampur jadi satu.
Di sisi lain kampus, suasana jauh berbeda. Di kantin belakang, sekelompok mahasiswa tampak tertawa keras—dipimpin oleh Riko, si tukang bully yang sejak lama tak pernah akur dengan Anggi.
“Gua bilang juga apa! Si anak panti itu pasti malu dan nggak berani nongol lagi!” seru Riko sambil tertawa, disambut teriakan teman-temannya.
“Mana ada mahasiswa kere kayak dia tahan difitnah. Kampus ini bukan buat orang kayak gitu!”
“Hahaha! Bener! Dia paling cuma pura-pura kuat kemarin. Sekarang liat aja, ngilang!”
Gelak tawa mereka makin menjadi-jadi. Mereka menikmati ketiadaan Anggi seperti sedang merayakan kemenangan. Namun mereka tak pernah tahu, bahwa kebenaran sedang menunggu waktunya untuk muncul.
Di ruang dosen, Pak Dimas duduk di balik meja kerjanya dengan dahi mengernyit. Tangannya memegang berkas daftar kehadiran mahasiswa, dan matanya tertuju pada satu nama: Anggi Saputra.
Sudah tiga hari tidak hadir. Dan bukan hanya itu. Ada sesuatu yang terus mengusik pikirannya sejak pertemuan terakhir mereka.
Anggi adalah mahasiswa yang tidak biasa. Terlalu tenang dalam menghadapi tuduhan berat. Bahkan ketika semua orang menatapnya dengan curiga dan cemooh, Anggi tidak membela diri. Ia hanya diam... dengan sorot mata yang sangat dalam.
“Bocah itu... ada yang disembunyikan dariku,” gumam Pak Dimas, setengah berbicara kepada diri sendiri.
Ia teringat bagaimana pertama kali ia mencurigai Anggi. Gerak tubuh Anggi terlalu terlatih. Cara bicaranya terlalu tenang untuk ukuran anak miskin yang tinggal di panti. Bahkan saat duduk di ruangannya, postur tubuhnya tetap tegap, seolah sudah terbiasa menghadapi tekanan jauh lebih besar dari sekadar fitnah.
Pak Dimas menurunkan kacamatanya dan menyandarkan tubuh ke kursi.
“Aku pernah melihat sikap seperti itu... bukan dari mahasiswa biasa. Tapi dari anak orang besar—yang dilatih untuk tetap diam dalam tekanan.”
Seketika benaknya dipenuhi pertanyaan: siapa sebenarnya Anggi Saputra? Mengapa ia begitu rapi menyembunyikan latar belakangnya? Dan apa sebenarnya yang terjadi hingga anak itu memilih untuk tidak masuk kuliah dan kerja?
Tapi di tengah rasa penasaran itu, Pak Dimas tidak ingin menekan. Ia memilih menunggu, dengan satu harapan:
“Anggi… cepatlah kembali. Aku ingin bicara… empat mata.”
Pagi itu, suasana panti begitu tenang. Matahari merambat perlahan ke sela jendela kamar sederhana milik Anggi. Anak-anak panti sudah berlarian di halaman, tertawa dan bermain seperti biasa. Namun tidak dengan Anggi. Ia hanya duduk bersandar di ranjang, menatap kosong ke arah langit-langit.
Sudah tiga hari ia memilih berdiam di panti. Ia bahkan tak menginjakkan kaki ke kampus maupun ke tempat kerja. Dalam diamnya, ia berusaha menyusun kembali kepingan semangat yang berserakan—tetapi kenyataan yang menyakitkan dan ingatan masa lalu terus membebani dadanya.
Tangannya meraih bingkai foto kecil di atas meja, foto kebersamaannya dengan anak-anak panti dan Bu Sari. Ia tersenyum tipis, lalu meletakkannya kembali. Namun tiba-tiba, pikirannya melayang pada satu sosok yang belum lama ini begitu mencurigainya—Pak Dimas.
Wajah tenang namun tajam itu seolah muncul di depan matanya. Pak Dimas bukan dosen biasa. Ia punya cara pandang yang dalam, dan tatapan matanya saat terakhir kali bertemu meninggalkan pertanyaan besar bagi Anggi.
"Apa beliau tahu sesuatu tentang aku? Atau... apakah beliau hanya mencurigai?" batinnya resah.
Anggi bangkit dari duduknya, berdiri di depan cermin. Wajahnya tampak letih, tapi matanya mulai menampakkan semacam tekad baru. Ia tahu, ia tak bisa terus bersembunyi. Ia tidak bisa selamanya menjauh dari kenyataan.
"Aku harus bicara padanya," gumamnya pelan.
Ia meraih jaket lusuh yang tergantung di belakang pintu. Anggi tahu ini bukan soal klarifikasi di kampus. Ini tentang dirinya sendiri. Tentang identitasnya yang selama ini ia sembunyikan dari semua orang.
Untuk pertama kalinya, ia merasa butuh seseorang yang cukup bijak untuk mendengarkan... dan ia merasa, Pak Dimas mungkin adalah orang yang tepat.
Sore mulai menebar warna jingga di langit Kota Panda saat Anggi duduk sendirian di pojok halaman panti. Tangannya menggenggam ponsel tua yang sempat mati beberapa hari ini. Setelah mengisi daya dan menyalakannya, ia menarik napas panjang.
Tersimpan di daftar kontak, nama Pak Dimas – Kampus terpampang. Ia sempat ragu. Berkali-kali jarinya hendak menekan tombol panggil, namun urung. Hingga akhirnya, dengan detak jantung yang tak beraturan, ia menekan tombol hijau itu.
“Hallo, Pak Dimas… Saya, Anggi Saputra,” ucapnya dengan suara pelan.
Di seberang, terdengar suara hangat dan ramah. “Anggi… saya menunggumu. Kamu baik-baik saja, Nak?”
“Ya, Pak… Saya… saya ingin bicara. Empat mata, jika Bapak berkenan.”
Terdengar jeda singkat sebelum Pak Dimas menjawab, “Tentu. Di mana dan kapan?”
Anggi menatap langit, lalu menjawab pelan, “Di Kafe Senja, dekat kampus. Sore ini, pukul lima?”
“Baik. Saya akan ada di sana,” sahut Pak Dimas, tegas namun tenang.
Setelah menutup telepon, Anggi segera bersiap. Ia mengenakan kemeja sederhana dan celana panjang hitam yang sudah mulai usang. Di wajahnya tak ada riasan atau topeng, hanya ekspresi serius dan sedikit gugup.
Anggi berpamitan dengan Bu Sari. Bu Sari hanya berpesan agar Anggi selalu hati-hati dimanapun. Karena Bu sari yakin Anggi tidak akan melakukan hal yang aneh-aneh.
Kafe Senja adalah tempat yang tidak terlalu ramai, namun hangat dan nyaman. Lokasinya yang agak tersembunyi menjadikannya tempat ideal untuk percakapan yang tak ingin diketahui orang banyak.
Ketika Anggi tiba, langit mulai berubah menjadi ungu. Di sudut kafe, Pak Dimas sudah menunggunya. Ia duduk tenang sambil menyesap kopi hitam.
“Silakan duduk, Anggi,” ujar dosennya ramah.
Anggi menarik kursi dan duduk. Kedua tangan menggenggam erat gelas air mineral yang dipesan pelayan.
Beberapa detik sunyi menyelimuti mereka. Hingga akhirnya, Pak Dimas membuka suara dengan lembut, “Kamu punya sesuatu yang ingin kamu sampaikan, bukan?”
Anggi mengangguk. Matanya menatap lurus ke arah Pak Dimas. “Saya ingin Bapak tahu… siapa saya sebenarnya.”
Pak Dimas tak menjawab. Ia hanya menatap Anggi dengan pandangan tenang, seolah telah menebak arah pembicaraan ini sejak lama.
---