Suasana di kafe itu masih sunyi, hanya diiringi suara musik lembut dan denting gelas dari meja-meja sekitar. Tapi di meja pojok, di mana Anggi dan Pak Dimas duduk, ada satu kebenaran besar yang tengah mencair seperti es dalam gelas teh yang tak lagi disentuh.
“Pak, saya… bukan hanya cucu Datuk Saputra,” ucap Anggi lirih, namun mantap. “Saya adalah cucu laki-laki pertama dari keluarga Saputra. Anak dari putra sulung Datuk—ayah saya, Sutan Saputra.”
Pak Dimas mengangkat alisnya. “Berarti kamu… pewaris utama?”
Anggi mengangguk perlahan. “Benar, Pak. Saputra Grup punya garis waris yang sangat tradisional. Laki-laki dari garis utama adalah penerus sah. Tapi ayah saya meninggal secara misterius saat saya masih bayi. Lalu... paman saya, Malin Saputra, mengambil alih segalanya.”
Pandangan Anggi menerawang, suara mulai bergetar. “Malin tidak pernah punya anak laki-laki. Dia hanya punya seorang putri—sepupu saya, Hikrima Saputri. Ia cantik, cerdas, tapi... dia tahu dirinya bukan penerus sah.”
Pak Dimas menyimak dengan seksama. “Jadi, dia tahu kamu masih hidup?”
“Saya tidak yakin. Tapi saya rasa... pamanku tahu. Itu sebabnya saya disingkirkan. Dia ingin menutup semua jejak, supaya tak ada yang bisa menandingi klaimnya atas warisan.”
Pak Dimas menarik napas panjang. “Anggi… kamu hidup dalam bayang-bayang bahaya besar.”
Anggi mengangguk. “Itulah kenapa saya hidup sederhana. Menyamar sebagai mahasiswa miskin. Saya hanya ingin menjalani hidup saya... setidaknya sampai saya cukup kuat untuk mengambil kembali apa yang seharusnya milik keluarga saya. Bukan karena rakus, tapi karena saya ingin membersihkan nama ayah saya yang dilenyapkan dari sejarah keluarga.”
Diam. Hening panjang.
Kemudian Pak Dimas menatap Anggi, sorot matanya penuh penghormatan. “Kamu bukan sekadar pewaris kaya raya. Kamu adalah simbol keadilan yang ditunda. Jika kamu memutuskan untuk melawan… saya percaya kamu akan melakukannya dengan cara yang terhormat.”
Anggi tersenyum kecil. “Saya tak ingin balas dendam. Saya hanya ingin kebenaran… dan hak saya kembali.”
Pak Dimas menepuk bahu Anggi pelan. “Kamu punya nyali. Dan mulai hari ini, kamu tidak sendiri.”
Pak Dimas menghela napas berat. Tatapannya tak lagi tenang. Ia menyesap kopinya yang sejak tadi sudah dingin, lalu menatap Anggi dengan sorot yang lebih tajam namun tidak menghakimi.
“Anggi… ada satu hal yang belum aku ceritakan juga,” ujarnya perlahan. “Aku punya hubungan profesional dengan Saputra Grup.”
Anggi menatapnya kaget. “Bapak?”
Pak Dimas mengangguk. “Ya. Aku salah satu konsultan pendidikan eksternal yang sering diminta memberi masukan untuk program CSR mereka. Kadang juga terlibat dalam diskusi soal beasiswa dan program pengembangan SDM. Aku cukup sering bertemu dengan petinggi mereka. Termasuk… Malin Saputra.”
Anggi menunduk. “Jadi... bapak tahu siapa dia sebenarnya.”
“Secara bisnis, iya. Tapi aku selalu merasa ada yang janggal dengan pria itu. Terlalu ambisius. Selalu ingin mengontrol narasi. Dan... terlalu tertutup soal sejarah keluarganya. Selama ini, tak pernah ada cerita soal anak laki-laki dari kakaknya yang katanya telah meninggal bersama istrinya dalam kecelakaan. Tapi dari cara dia bicara, aku bisa melihat... dia menyembunyikan sesuatu.”
Anggi mengepalkan tangannya di bawah meja.
“Aku tahu ini sulit,” lanjut Pak Dimas, “tapi keberadaanmu adalah ancaman bagi posisi dia. Kalau dia tahu kamu masih hidup, dan sedang dekat-dekat dengan lingkungan akademik serta sosial yang bisa membangkitkan perhatian publik…”
Anggi melanjutkan, “...dia pasti akan bertindak cepat.”
Pak Dimas mengangguk. “Itulah sebabnya kamu harus berhati-hati. Tapi juga harus bersiap. Karena cepat atau lambat, semua ini akan meledak.”
Anggi mengangguk pelan. “Saya tidak akan mundur, Pak. Tapi saya juga tidak ingin ada yang terseret, termasuk Rani… Vina… dan juga Bapak.”
Pak Dimas menatapnya dalam-dalam, lalu tersenyum tipis. “Kamu anak muda yang luar biasa, Anggi. Tak banyak yang bisa bersikap sebijak itu di bawah tekanan sebesar ini. Tapi mulai sekarang, kamu tidak sendiri. Aku akan berdiri di belakangmu. Secara moral… dan kalau perlu, secara hukum.”
Anggi tak kuasa menahan emosi. Suara hatinya yang selama ini tertahan seolah menemukan ruang untuk bernafas. Untuk pertama kalinya, ia merasa ada orang dewasa yang benar-benar berpihak padanya.
Pak Dimas menatap Anggi dengan sorot mata yang dalam dan penuh pertimbangan. Setelah suasana kembali sedikit tenang, ia kembali menyandarkan tubuhnya ke kursi dan mulai membuka rahasia yang selama ini hanya diketahui oleh lingkaran dalam kampus.
“Anggi,” katanya perlahan, “ada satu hal lagi yang mungkin akan membuatmu terkejut.”
Anggi mengangkat kepalanya, menatap Pak Dimas penuh tanya.
“Kampus tempat kamu kuliah ini… bukanlah kampus biasa. Banyak yang tidak tahu, tapi sebenarnya, donatur terbesar kampus ini adalah—” ia berhenti sejenak, memastikan Anggi siap mendengar kenyataan— “—adalah Sutan Saputra. Ayahmu.”
Darah Anggi seolah membeku. Dunia terasa diam sejenak.
“A-ayahku…?” bisiknya lirih.
Pak Dimas mengangguk mantap. “Ya. Beliau mendanai sebagian besar perkembangan universitas ini sejak dua puluh tahun terakhir. Gedung utama, beasiswa unggulan, hingga fasilitas-fasilitas modern kampus—semuanya berkat kontribusi Saputra Grup. Bahkan, Rektor kita saat ini, Prof. Wiratmaja, adalah orang kepercayaan pribadi ayahmu. Beliau ditunjuk langsung oleh yayasan Saputra sebagai bagian dari pengawasan moral dan akademik.”
Anggi terdiam. Semua kenangan dan kejadian yang selama ini ia anggap biasa mulai berputar dalam pikirannya. Ia mulai menyadari betapa besar bayangan ayahnya meski ia tak pernah melihat langsung sosok itu. Kampus tempat ia dicaci, dibully, dan dipermalukan… ternyata dibangun atas nama keluarganya sendiri.
“Apakah… Rektor tahu tentang aku?” tanya Anggi, suaranya nyaris tak terdengar.
“Belum tentu,” jawab Pak Dimas. “Saputra Grup sangat tertutup dalam urusan keluarga. Kalau pun Rektor tahu, kemungkinan besar beliau menjaga jarak demi keamananmu. Tapi setelah kejadian beberapa hari lalu… dan mengingat bagaimana Malin Saputra mulai terlihat gelisah… aku yakin waktumu tidak banyak.”
Anggi memejamkan mata sejenak, mencoba meredakan gejolak yang mendidih di dadanya.
“Jadi,” lanjut Pak Dimas, “ini bukan cuma tentang kamu. Ini tentang warisan, tentang nama besar, dan tentang masa depan banyak orang. Jika kamu siap, aku akan bantu mempertemukanmu dengan Prof. Wiratmaja secara diam-diam. Kita perlu tahu posisi beliau, dan apa langkah terbaik selanjutnya.”
Anggi mengangguk pelan. “Terima kasih, Pak Dimas. Saya siap.”
Pak Dimas tersenyum. “Kamu adalah anak Sutan Saputra. Tapi yang lebih penting, kamu adalah Anggi Saputra—pemuda yang memilih jalan lurus di tengah kegelapan. Dan itu… lebih berharga dari sekadar nama.”
Pagi itu, langit Kota Panda cerah, seolah ikut menyambut sesuatu yang berbeda. Setelah malam panjang dan percakapan penuh rahasia dengan Pak Dimas, Anggi kembali ke panti dengan langkah tenang. Ada beban besar di hatinya, namun ada juga keteguhan baru yang perlahan tumbuh.
Sesuai janji Pak Dimas, hari ini Anggi diminta kembali masuk kampus. Ia datang tepat waktu, mengenakan pakaian sederhana seperti biasa, tas selempang lusuh yang setia menemaninya, dan sepatu yang solnya mulai menipis. Namun ada satu hal yang berbeda—tatapan matanya. Lebih tajam, lebih dewasa, lebih tegar.
Saat langkah kakinya mendekati gerbang kampus, tiba-tiba…
“ANGGIIIIII!!!” teriak suara yang sangat ia kenal.
Rani, gadis ceria yang biasanya menjaga jarak dengan orang lain, kini berlari ke arahnya tanpa peduli sekeliling. Tanpa aba-aba, ia langsung memeluk Anggi erat, menumpahkan segala kekhawatiran dan rasa rindu selama beberapa hari ini.
“Aku pikir kamu kenapa-kenapa!” isaknya, tidak peduli jika teman-teman satu kampus sedang memperhatikan.
Belum sempat Anggi bicara, Vina muncul dari arah lain. “Anggi!” serunya tak kalah panik. Ia juga memeluk Anggi—lebih cepat, lebih gugup—dan langsung melepaskan lagi dengan wajah memerah. “Aku… aku cuma mau pastikan kamu baik-baik saja…”
Kini ketiganya berdiri di depan gerbang kampus, dan mata mahasiswa lain mulai menyorot mereka bertiga seperti tontonan besar. Bisik-bisik mulai terdengar.
“Lihat tuh… si miskin dipeluk dua cewek sekaligus…”
“Itu Rani kan? Cantik kampus… kok bisa sih? Gila…”
“Gue rasa dia nyantet…”
“Bisa jadi sih… masa anak panti dipeluk Rani…”
Di tengah semua keramaian itu, seorang pria berdiri tak jauh. Mukanya merah padam—Riko, si tukang bully, tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Matanya melotot melihat Anggi yang harusnya “menghilang” kini justru berdiri tegak dan dikelilingi dua gadis cantik.
“Brengsek… kenapa dia balik lagi?!”
Sementara itu, Anggi tetap tenang. Ia menatap semua dengan senyum tipis. Bukan senyum membalas dendam, tapi senyum seseorang yang sudah selesai melarikan diri dari dirinya sendiri. Ia menatap Rani dan Vina bergantian, lalu berkata, “Maaf sudah bikin kalian khawatir. Aku baik-baik saja sekarang.”
Dan untuk pertama kalinya, ia melangkah masuk ke kampus bukan sebagai si miskin yang selalu dicemooh, tapi sebagai seseorang yang mulai disadari banyak orang… punya arti lebih dari yang selama ini mereka kira.
---