Suasana kelas pagi itu sedikit lengang. Matahari belum tinggi, tapi udara di kampus sudah mulai menghangat. Di dalam kelas, Anggi duduk diam. Tatapannya kosong, pikirannya masih tertinggal pada percakapannya semalam dengan Pak Dimas. Di luar, masih banyak yang memandangnya dengan mata bertanya-tanya. Riko dan kawan-kawannya pun masih belum paham mengapa “si miskin” itu kembali seolah tak terjadi apa-apa.
Tak lama, Pak Dimas datang menghampiri dari depan kelas.
"Anggi, ikut saya ke ruang rektor sekarang. Ini penting."
Anggi berdiri. Beberapa mahasiswa langsung bisik-bisik. Tapi Anggi tak menghiraukan, ia berjalan tenang keluar ruangan.
Ruang rektor tampak tenang. Pak Dimas mengetuk pintu dua kali sebelum mempersilakan Anggi masuk. Rektor Wiratmaja tengah duduk di balik meja besar dari kayu jati, sedang membaca dokumen. Saat melihat kedatangan mereka, ia pun berdiri menyambut dengan senyum hangat.
Namun begitu Pak Dimas menyodorkan berkas kecil berisi informasi penting dan menyebut satu nama yang sangat ia kenal, senyum itu seketika lenyap.
"S-Sutan Saputra?" gumam rektor lirih. Matanya terbelalak, lalu berpindah memandang Anggi.
"Anak kandungnya... ini... ini Tuan Muda Anggi Saputra?"
Pak Dimas hanya mengangguk pelan.
Rektor Wiratmaja gemetar. Tangannya perlahan terlepas dari berkas di atas meja. Keringat dingin mulai merembes di pelipisnya. Ia melangkah dari belakang meja, kemudian… berlutut di hadapan Anggi dengan kepala menunduk dalam-dalam.
“T-Tuan Muda... maafkan saya... saya sungguh tidak tahu... saya tidak menyangka...”
Anggi refleks terkejut. “Pak, tolong jangan seperti ini…”
Namun Wiratmaja tetap dalam posisi hormat itu. “Kalau bukan karena ayahmu, Sutan Saputra, saya dan keluarga saya mungkin masih menggembala kambing di lereng Gunung Meru. Beliau yang membantu saya hingga saya bisa kuliah, menjadi dosen, hingga dipercaya memimpin kampus ini. Semua fasilitas, semua gaji para staf, semuanya dari donasi keluarga Saputra.”
Matanya berkaca-kaca. “Saya berhutang nyawa dan masa depan pada keluargamu, Tuan Muda.”
Anggi merasa dadanya sesak. Ia menunduk dan perlahan memegang bahu rektor.
“Pak, saya mohon berdirilah. Saya bukan siapa-siapa. Saya bukan orang besar. Saya hanya mahasiswa yang sedang belajar bertahan hidup.”
Rektor perlahan berdiri, tapi matanya masih berkaca-kaca.
“Tuan Anggi... kamu adalah cucu dari Datuk Saputra, anak dari Sutan Saputra. Warisanmu lebih dari sekadar uang. Kamu adalah pemimpin masa depan keluarga yang telah berjasa untuk banyak orang, termasuk saya.”
Pak Dimas ikut angkat bicara, “Kami memanggilmu hari ini bukan hanya untuk menjelaskan kebenaran, tapi juga untuk memberi tahu bahwa kami akan menjagamu. Dunia luar mungkin belum tahu siapa dirimu… tapi bagi kami, kamu sangat berharga.”
Anggi mengangguk perlahan. Suara hatinya masih riuh, tapi ada ketegasan baru yang tumbuh di sana.
“Terima kasih. Tapi... saya mohon, jangan umumkan ini ke siapa pun. Biarkan saya tetap seperti biasa. Kalau saya di sini hanya karena nama besar keluarga, maka semua perjuangan saya tak ada artinya.”
Wiratmaja tersenyum haru. “Baik, Tuan Muda. Kami akan menjaga rahasia ini sebaik-baiknya.”
Dan hari itu, di balik dinding-dinding megah universitas, seorang rektor yang dulu miskin dan seorang pewaris kerajaan bisnis besar, saling menunduk dengan rasa hormat yang tulus. Satu karena rasa terima kasih yang tak terbalaskan. Satunya lagi karena memilih untuk tetap hidup dalam kesederhanaan, demi harga dirinya.
Lorong depan ruang rektor terasa sepi. Hanya ada beberapa mahasiswa yang lalu lalang dan staf yang melintas sesekali. Di ujung koridor itu, Rani berdiri menunggu sejak Anggi dipanggil oleh Pak Dimas tadi pagi. Wajahnya cemas, jemarinya meremas tas kecil di dada, dan pikirannya melayang tak tentu arah.
"Kenapa harus rektor? Apa ada masalah serius? Jangan-jangan... Anggi di-drop out?"
Pintu ruang rektor terbuka perlahan.
Keluar dari dalam ruangan itu—bukan dengan wajah muram atau langkah berat—melainkan dengan tenang, percaya diri, dan senyum samar di bibir, Anggi melangkah seperti tidak terjadi apa-apa.
Riko, yang kebetulan sedang melewati lorong itu bersama kedua temannya, langsung menghentikan langkahnya. Matanya membulat saat melihat siapa yang keluar dari ruang rektor.
"Gila… Itu si miskin?" gumamnya lirih, seolah tidak percaya.
"Barusan dia dari dalam?!" bisik Dony dengan kaget.
"Mustahil... dia keliatan kayak... kayak bos!" tambah Rendy, matanya masih tak lepas dari sosok Anggi.
Anggi tidak menoleh sedikit pun ke arah mereka. Ia berjalan pelan, santai, dan seolah tidak memedulikan dunia sekitarnya.
Riko mengerutkan kening. Ada rasa tidak nyaman mengendap di dadanya. Sosok yang biasa dia hina, sekarang tampak sangat berbeda. Aura tenangnya membuat Riko merasa seperti ditelanjangi di tengah keramaian.
Sementara itu, Rani, yang sejak tadi menahan degup jantung di depan pintu, langsung menyambut Anggi begitu keluar.
“Anggi!” serunya pelan namun penuh harap. “Kau… kau gak apa-apa?”
Anggi berhenti di depannya. Sorot matanya lembut, namun dalam. Ia mengangguk pelan, menatap mata Rani.
“Aku baik-baik saja, Ran,” jawabnya tenang.
Rani menutup mulutnya sejenak, menahan emosi yang nyaris meluap. “Aku… aku pikir kamu… dikeluarkan…”
Anggi menggeleng dan tersenyum lembut. “Tidak semudah itu.”
Rani tidak menahan diri lagi. Ia langsung memeluk Anggi, kali ini lebih tenang dari sebelumnya, tapi dengan pelukan penuh rasa lega.
Beberapa mahasiswa yang lewat mulai melirik, bahkan ada yang memotret diam-diam. Sosok Rani, si cantik populer kampus, kini memeluk erat seseorang yang seminggu lalu mereka hina sebagai "sampah tak berharga".
Riko menggertakkan gigi. Dunia terasa terbalik. Anggi—yang dulu jadi bahan ejekannya—kini berdiri di puncak perhatian.
“Ada yang aneh…” bisik Riko, matanya menyipit penuh curiga. “Gak mungkin rektor manggil anak kampung biasa ke ruangannya tanpa alasan…”
Ia pun melangkah pergi, namun hatinya tidak tenang. Ada ketakutan samar yang belum bisa ia jelaskan.
Sementara itu, Anggi menatap langit kampus. Langit yang dulu terasa penuh tekanan dan beban, kini terlihat sedikit lebih cerah. Tapi ia tahu, badai belum benar-benar berlalu.
Setelah meninggalkan kampus, Anggi berjalan santai menuju halte dekat gerbang utama. Matahari mulai condong ke barat, memberi cahaya keemasan di trotoar kampus yang mulai sepi. Beberapa mahasiswa masih melirik ke arahnya, seolah belum bisa memproses apa yang mereka lihat hari ini—Anggi yang keluar dari ruang rektor dengan santai, seolah dia bukan siapa-siapa, tapi juga bukan orang biasa.
Di dalam bus kota yang berguncang pelan, Anggi duduk di pojok dekat jendela. Ia menghela napas panjang.
“Kembali ke kehidupan semula… seperti tak ada yang berubah.”
Padahal, di dalam dirinya banyak hal telah bergolak. Pertemuan dengan Rektor Wiratmaja dan penegasan dari Pak Dimas bahwa dirinya adalah pewaris sah keluarga Saputra membuat pikirannya campur aduk. Tapi satu hal yang pasti, ia tidak ingin mengubah jati dirinya hanya karena kenyataan itu.
Sesampainya di minimarket tempatnya bekerja, suasana seperti biasa: ramai, sedikit berisik, dan penuh pelanggan dengan wajah lelah. Namun di antara semua itu, ada satu wajah yang langsung membuat hatinya hangat—Vina, rekan kerjanya yang sederhana namun penuh perhatian.
Vina yang tengah mengisi rak air mineral menoleh ketika mendengar pintu otomatis berbunyi. Begitu melihat Anggi, matanya membesar.
“Anggi!” serunya senang. “Kamu masuk kerja juga hari ini?”
Anggi tersenyum. “Iya. Aku kan masih butuh uang buat beli sabun panti,” canda Anggi ringan.
Vina terkekeh, tapi matanya masih memperhatikan Anggi lebih dalam. Ia sempat mendengar dari pelanggan kampus tentang “si miskin” yang dipanggil rektor hari ini. Dan sekarang, Anggi di hadapannya—tenang, tidak terlihat tertekan sedikit pun.
Mereka mulai bekerja bersama, Vina di kasir, Anggi di gudang belakang sekalian menyusun motor pembeli yang parkir dan sesekali membantu mengatur barang di etalase. Tapi malam itu, saat pelanggan mulai berkurang dan suasana mulai lengang, Vina mendekat ke arah Anggi yang sedang menyusun dus di belakang.
“Anggi…” ucap Vina pelan.
“Hm?” Anggi menoleh sambil menyeka keringat.
“Kamu… beneran gak papa?” tanyanya lembut, hampir seperti bisikan.
Anggi menatap wajah Vina. Sorot matanya jujur dan tulus. Ia merasa sedikit bersalah karena harus terus bersembunyi, bahkan dari gadis sebaik Vina.
“Aku baik, Vin. Cuma… lagi banyak yang harus kupikirin.”
Vina mengangguk pelan. Tak ingin memaksa, tapi dalam hatinya ada gelisah yang tumbuh pelan-pelan. Ia tahu, Anggi menyimpan sesuatu. Dan entah mengapa, ia merasa bahwa rahasia itu besar sekali.
Tapi untuk saat ini, cukup baginya bahwa Anggi kembali. Masih menjadi dirinya yang sederhana, rendah hati, dan tetap bekerja keras walau jelas ada sesuatu yang berbeda.
Malam itu, mereka bertiga dengan Rani menyelesaikan shift dengan tenang. Anggi tetap pulang ke panti seperti biasa, berjalan kaki menyusuri malam, ditemani angin yang sejuk dan lampu jalan yang temaram.
Tapi satu hal yang berbeda…
Langkah Anggi kini membawa beban tak terlihat—beban seorang pewaris yang memilih tetap hidup sebagai rakyat biasa.
---