Bab 16 - Penculikan

Malam menggantung sunyi di atas langit kota Panda. Kabut tipis turun perlahan, menyelimuti jalanan dan bangunan yang mulai sepi. Namun di tengah keheningan malam, dua sosok bayangan bergerak dari arah berbeda—sama-sama mengincar satu nama yang mulai mengguncang takdir besar: Anggi Saputra.

Di kamar hotel bintang lima di pusat kota, seorang pria berambut perak berdiri menatap jendela besar yang menghadap ke kampus Universitas Panda. Matanya tajam, penuh perhitungan. Wajahnya tenang namun menyimpan karisma tegas seorang pemimpin lapangan. Namanya Awan—orang kepercayaan sekaligus tangan kanan Datuk Saputra.

Awan bukan sekadar ajudan biasa. Ia adalah pengawal yang telah menjaga keluarga Saputra sejak muda, dan kini, setelah bertahun-tahun mengabdi, ia diberi tugas terpenting: mencari dan membawa pulang cucu sah pewaris Saputra Group.

Di atas meja kayu di belakangnya, terpajang beberapa foto: wajah Anggi dalam berbagai kegiatan kampus, saat kerja paruh waktu, hingga sedang bermain dengan anak-anak panti asuhan. Di samping foto-foto itu, ada catatan kecil, tempat, dan jam—semua dicatat rapi.

“Datuk, anak itu hidup seperti rakyat biasa. Dia tidak tahu jati dirinya…” gumam Awan lirih sambil menatap foto Anggi yang tersenyum kecil.

Ponselnya bergetar pelan. Sebuah pesan masuk dari nomor yang hanya dikenal oleh orang-orang dalam lingkaran Saputra: "Waspadai pergerakan Malin. Dia juga mencari Anggi."

Awan mengepalkan tangannya. “Aku tidak akan membiarkan anak itu disentuh oleh Malin. Tidak akan.”

Di sisi lain kota, di rumah besar dengan penjagaan gelap dan suram, Malin Saputra, paman Anggi yang licik dan kejam, duduk di ruang rahasia bawah tanah. Di hadapannya, berdiri seorang pria bertubuh kekar berseragam hitam. Namanya Bora, pengawal pribadi Malin sekaligus tukang eksekusi andal.

“Lacak bocah itu. Aku mau dia ditemukan sebelum Awan melacak lebih jauh. Jangan sampai si tua itu menyentuh pewaris,” perintah Malin dengan suara dingin.

Bora mengangguk. “Kami sudah pantau pergerakan Anggi. Dia jarang keluar selain untuk kampus dan kerja paruh waktu. Tapi dia mulai dekat dengan dua gadis—salah satunya cukup aktif mendampinginya.”

“Cari titik lemahnya. Kalau perlu, gunakan mereka sebagai umpan,” kata Malin sambil tersenyum miring.

“Kalau Anggi menolak pulang ke keluarga Saputra?” tanya Bora hati-hati.

Malin menyeringai, matanya dingin.

“Kalau dia menolak… buat dia hilang. Pewaris tak harus hidup.”

Tanpa disadari oleh Anggi, hidupnya kini mulai dikelilingi oleh dua kekuatan besar: satu dari kakek yang mencintainya dan ingin menebus kesalahan masa lalu… dan satu lagi dari paman haus kuasa yang tak segan mengorbankan darah untuk mempertahankan kekayaannya.

Dan pada malam yang tampak biasa itu, dua sosok misterius—Awan dan Bora—bergerak di dua sisi kota dengan misi yang sama, namun dengan niat berbeda.

Sementara Anggi, dengan senyum polosnya, sedang membacakan buku cerita untuk adik-adik panti yang menatapnya penuh cinta.

Ia belum tahu bahwa waktu yang damai akan segera terusik oleh bayang-bayang masa lalu… dan perburuan pewaris sejati telah dimulai.

Setelah sore mulai bergeser ke senja, suasana kampus perlahan mereda. Mahasiswa mulai pulang, menyisakan beberapa yang masih menunggu angkutan atau sekadar nongkrong di taman kampus. Namun di lorong belakang gedung Fakultas Sosial, ada empat bayangan mencurigakan yang tengah berkumpul dalam bisikan panas.

“Malem ini,” ucap Riko sambil menggertakkan giginya. “Kita kasih pelajaran sama bocah miskin sok suci itu. Udah bikin gua malu seharian.”

Dedi tertawa pendek. “Akhirnya! Udah gatel tangan gua.”

“Gua bawa besi pendek, tenang aja,” timpal Baim dengan tatapan bengis.

Mereka menunggu di balik semak, di sudut sepi belakang kampus. Riko sudah dapat informasi bahwa Anggi biasa pulang lewat jalur itu. Dan sore ini, semuanya tampak berjalan sesuai rencana—hingga langkah kaki itu terdengar mendekat.

“Eh, udah dateng tuh,” bisik Yuda.

Anggi berjalan santai, memanggul tas kain tuanya, wajahnya tenang seperti biasa. Tapi tepat saat ia melewati lorong itu...

“Sekarang!” teriak Riko.

Empat orang langsung menyerbu dari balik gelap, melingkari Anggi.

Namun yang terjadi selanjutnya jauh dari apa yang mereka duga.

Anggi tidak panik. Tidak kaget. Tidak mundur. Justru dia meletakkan tasnya perlahan ke tanah, dan berdiri tegak.

“Bener kalian mau main fisik di sini?” tanyanya datar. Matanya menatap satu-satu, tanpa gentar.

“Cuma ngomong doang ternyata!” ejek Dedi dan langsung mengayunkan besi ke arah Anggi.

BRAK!

Tapi dalam satu gerakan cepat, Anggi menunduk, memutar tubuh, dan siku kirinya menghantam perut Dedi dengan keras. Dedi terjungkal ke belakang, terbatuk hebat.

“GIL—ARGH!” Yuda coba menyerang dari samping, tapi Anggi memutar dan menghantam dagunya dengan pukulan telak. Tubuh Yuda tersungkur menimpa semak.

Riko yang melihat itu, mendadak gemetar. Tapi gengsi menahannya. Ia mencabut rantai dari saku dan mengayunkannya brutal ke arah kepala Anggi.

Sayang sekali.

Dengan satu gerakan seperti bayangan, Anggi menangkap rantai itu di udara dan menariknya kuat. Riko kehilangan keseimbangan dan wajahnya langsung disambut lutut Anggi yang menghantam rahangnya dengan keras.

BUGH!

Riko terpental, darah mengalir dari hidung dan mulutnya.

Baim, satu-satunya yang belum tumbang, sudah terlalu takut untuk maju. Tapi Anggi berjalan pelan ke arahnya. “Pulang. Sebelum nyawamu yang ketinggalan.”

Baim melempar besinya dan lari terbirit-birit.

Riko dan dua temannya meringkuk, mengerang di tanah, memegangi luka masing-masing. Anggi menghela napas pelan. Ia menatap mereka dengan dingin.

“Aku sudah bilang, jangan main-main dengan orang yang kalian anggap lemah. Karena kadang, yang lemah itu cuma pura-pura.”

Tanpa menoleh lagi, Anggi mengambil tasnya, dan berjalan tenang menembus senja. Meninggalkan bayang-bayang ketakutan yang akan lama melekat dalam ingatan Riko dan gengnya.

Setelah meninggalkan kampus sore itu, Anggi berjalan kaki menuju minimarket tempat ia bekerja paruh waktu. Wajahnya tetap tenang, seperti tak ada yang terjadi meski baru saja mengalahkan empat orang di belakang kampus. Ia menatap langit jingga yang perlahan meredup, memikirkan keseharian yang terus bergulir cepat dan tak terduga.

Saat tiba di depan toko, suasana tampak tak seperti biasanya. Lampu masih menyala, pintu otomatis masih berfungsi, tapi ada satu hal yang janggal—tak ada suara ceria Vina menyapa dari kasir seperti biasa.

Anggi melangkah masuk. Salah satu pegawai lain, Pak Hendra, menyambutnya dengan wajah serius.

"Anggi... kamu baru datang, ya?"

"Iya, Pak. Memangnya kenapa?"

Pak Hendra menatap sekeliling, lalu mendekat dan berbicara pelan. “Vina nggak masuk kerja. Nggak ada kabar juga. Terakhir kali katanya dia mau pulang bareng Rani semalam…”

Anggi menegang. "Terus sekarang mereka di mana?"

"Itu dia masalahnya… Nggak ada yang tahu. Teman kos Rani bilang dia nggak pulang sejak kemarin. Dan Vina juga nggak kelihatan di rumah kontrakannya."

Anggi langsung diam. Jantungnya mulai berdetak lebih cepat. Ada hawa dingin yang menyelinap di tengkuknya. Dua orang yang paling dekat dengannya… hilang?

Pak Hendra menambahkan, "Tadi siang ada yang kirim pesan aneh ke nomor admin minimarket. Isinya singkat: 'Kalau mau lihat temanmu selamat, jangan ikut campur. Dan jangan lapor polisi.'"

Anggi mengepal tangannya. Matanya menyala, bukan karena panik, tapi karena amarah dan kecemasan yang ditahan.

“Pak… saya izin sebentar. Ada yang harus saya cari.”

Tanpa menunggu jawaban, Anggi keluar dari minimarket dan menatap langit malam yang mulai gelap. Wajahnya dingin, tetapi penuh tekad. Ada sesuatu yang berkecamuk dalam benaknya.

"Siapa pun kalian, berani menyentuh orang-orang yang aku sayangi... kalian sudah salah besar."

Anggi mengeluarkan ponsel tuanya, membuka kontak yang jarang ia sentuh—kontak seseorang dari masa lalunya, seseorang yang bisa dia mintai bantuan dalam keadaan seperti ini.

Ia mengetik pesan cepat: “Butuh bantuan. Dua orang diculik. Aku butuh mata dan telinga kota ini malam ini juga.”

Dan pesan itu pun terkirim… menuju seseorang yang kelak akan membuka gerbang besar dalam perjalanan Anggi sebagai pewaris keluarga Saputra.

---