Malam menyelimuti kota Panda dengan gelap yang lebih tebal dari biasanya. Di salah satu lorong gelap dekat pelabuhan tua, dua gadis duduk bersandar dengan tangan terikat dan mulut dilakban. Vina dan Rani. Wajah mereka pucat, matanya sembab. Mereka sudah berada di tempat itu hampir sehari penuh.
Vina berusaha menenangkan Rani yang terus menangis dalam diam. Dalam hatinya, ia tahu… hanya ada satu orang yang bisa menemukan mereka. Anggi.
“A-anggii…” bisik Vina dalam gumaman tertahan di balik lakban, air matanya menetes. Bukan karena takut semata. Tapi karena hatinya mulai merasa… kehilangan.
Sementara itu, di sebuah kafe sepi di pinggir kota, Anggi duduk bersama seorang pria berbadan kekar, berjaket kulit hitam, dengan bekas luka panjang di pipinya. Namanya adalah Om Dirga, orang kepercayaan ayahnya yang dulu pernah melatihnya diam-diam.
"Kau benar-benar serius soal ini?" tanya Om Dirga, menyelidik.
"Ya. Dua teman saya diculik. Saya yakin ini bukan sekadar keisengan. Bisa jadi ini kiriman dari pihak yang mengincar saya," jawab Anggi datar, namun matanya menyimpan badai.
Om Dirga mengangguk. "Aku punya beberapa orang di pelabuhan lama yang bisa jadi mata-mata. Kita mulai dari sana."
Tanpa buang waktu, mereka naik motor menuju titik lokasi pertama. Anggi menyembunyikan identitasnya dari Om Dirga, tapi satu hal pasti—ia tak akan membiarkan siapapun menyentuh Vina dan Rani lagi.
Di sisi lain, Awan, ajudan setia Datuk Saputra, juga bergerak cepat malam itu. Ia mendapatkan informasi samar bahwa “anak muda berpakaian lusuh dengan aura pemimpin” terlihat bertingkah mencurigakan di sekitar kota dua hari lalu.
Awan mempersempit pencariannya ke kawasan kampus, dan malam itu juga, ia mendapatkan selembar foto yang dikirim dari kontak rahasianya.
Dia terpaku.
"Itu... Anggi. Tuan muda."
Tanpa menunggu perintah lagi, Awan bergegas menuju kota Panda. Saat itu juga.
Kembali ke pelabuhan tua, suara sepatu bergesek dengan tanah kotor terdengar dari luar gudang reyot tempat Vina dan Rani ditahan. Dua pria bertubuh kekar membawa nasi bungkus sambil tertawa kasar.
“Dua cewek manis ini bakal jadi alat tawar yang sempurna. Bos bakal senang banget…”
Tapi mereka tak tahu, bayangan gelap sudah mengintai dari atap. Anggi.
Dengan gerakan cepat dan senyap, Anggi melompat turun. Kakinya menghantam leher pria pertama, membuatnya langsung roboh. Pria kedua hendak berteriak, tapi pukulan siku Anggi menghantam tepat di tenggorokannya.
Sunyi.
Anggi menarik napas pelan. Ia membuka pintu gudang dan mendapati dua sahabatnya dalam keadaan mengerikan.
Rani langsung menangis saat matanya melihat siluet lelaki itu. Vina, meski gemetar, memaksakan senyumnya. "Aku tahu… kamu pasti datang..."
Anggi melepas ikatan mereka. Ia menatap keduanya dengan lembut, lalu menyentuh kepala Vina dan Rani bergantian.
"Kalian aman sekarang."
Tapi sebelum mereka keluar, suara tepuk tangan terdengar dari luar.
"Hebat juga kau, bocah miskin. Atau harus kupanggil… pewaris Saputra?"
Anggi berdiri, pelan membalikkan tubuhnya. Dari balik bayangan, muncullah pria tinggi kurus dengan setelan jas kumal dan mata licik. Di belakangnya, berdiri empat pria bersenjata parang.
"Namaku Bora, utusan dari Tuan Malin Saputra. Dan aku di sini… untuk mengakhiri hidupmu."
Gudang tua di pinggiran kota Panda itu sunyi. Lampu neon berkelap-kelip, menyisakan cahaya remang. Di antara tumpukan kayu lapuk dan barel-barel berkarat, suara langkah kaki berat bergema… disusul tawa kasar.
Bora, pria bertubuh besar dengan wajah penuh luka lama, berdiri sambil menatap Anggi dengan sinis. Di belakangnya, lima anak buah bertampang beringas bersiaga dengan tongkat besi dan rantai.
"Jangan kira bisa kabur malam ini, bocah. Kau sudah mengganggu urusan besar orang-orang penting," kata Bora, menjilat bibirnya yang pecah-pecah.
Anggi berdiri di tengah ruang dengan postur tenang. Matanya tajam, napasnya stabil. Tidak ada sedikit pun rasa takut.
"Aku tidak suka kekerasan. Tapi kalau kalian memaksa… aku tidak akan tinggal diam."
Seketika, salah satu anak buah Bora menerjang lebih dulu, mengayunkan rantai ke arah kepala Anggi. Dengan satu gerakan cepat, Anggi membungkuk, memutar tubuhnya, dan menghantam perut pria itu dengan siku keras—cukup kuat membuatnya tersungkur dan memuntahkan darah.
"APA!?" Bora memekik.
Dua orang lagi langsung menyusul, tapi Anggi melompat ke belakang, lalu menyapu kaki mereka secara bersamaan. Satu jatuh membentur dinding. Satu lagi kena tendangan berputar yang membuatnya pingsan seketika.
Tinggal tiga orang.
"Dasar bajingan kecil!" teriak Bora, lalu menyerbu sendiri dengan marah. Ia mengayunkan palu baja ke arah Anggi.
Tapi Anggi bergerak seolah membaca waktu. Ia menunduk, lalu melompat, menendang dada Bora hingga pria raksasa itu terhuyung. Tanpa memberi celah, Anggi mengunci lehernya dengan kaki, menjatuhkannya, lalu menghantamkan tumit ke tanah tepat di samping kepala Bora.
Para anak buah yang tersisa membeku. Ketakutan mulai melanda mereka.
Bora mendesis pelan. "Siapa… siapa kau sebenarnya?!"
Anggi menatapnya dalam, dingin dan nyaris tak berkedip.
"Aku bukan siapa-siapa… tapi aku bukan orang yang bisa kau injak seenaknya."
Di kejauhan, terdengar suara sirene samar. Mungkin seseorang telah melapor karena suara gaduh.
Anggi menarik napas, menoleh ke arah pintu.
"Aku tidak ingin membunuh. Jadi pergilah. Dan sampaikan pada orang yang mengirimmu... aku tidak akan lari."
Tanpa menunggu balasan, Anggi melangkah keluar dari gudang itu, meninggalkan Bora dan anak buahnya yang terkapar.
Hujan gerimis turun perlahan ketika Anggi berjalan tertatih-tatih menyusuri jalan sempit di pinggiran kota. Di kedua sisinya, Rani dan Vina ikut melangkah dengan lemah, wajah mereka masih pucat, mata sembab, tubuh menggigil karena dingin dan trauma.
Vina berpegangan pada lengan Anggi, sementara Rani berjalan di sisi lainnya, sesekali menatap Anggi dengan mata berkaca-kaca. Meski tubuh mereka luka dan hati mereka terguncang, ada satu hal yang membuat mereka merasa sedikit tenang—Anggi ada di sana.
Dia datang. Dia bertarung. Dia menyelamatkan mereka.
“Maaf…” suara Anggi lirih, hampir tenggelam dalam suara hujan dan langkah kaki mereka. “Aku telat datang.”
Vina hanya menggeleng, menggenggam lengan Anggi lebih erat. “Kau datang tepat waktu…”
Rani menatapnya sebentar, lalu berkata pelan, “Andai kau tidak datang, entah apa yang terjadi pada kami... Terima kasih, Anggi…”
Mereka akhirnya sampai di depan panti asuhan. Pintu dibuka oleh Bu Sari yang langsung menjerit kecil saat melihat kondisi mereka.
“Ya Allah, Anggi! Rani! Vina! Apa yang terjadi?!”
Tanpa banyak tanya, Bu Sari segera membawa mereka masuk. Selimut hangat, air hangat, dan suasana kehangatan panti langsung menyelimuti mereka. Anak-anak panti yang masih terjaga ikut mengerubungi mereka dengan kekhawatiran.
Setelah luka dibersihkan dan ketiganya berganti pakaian, mereka duduk bersama di ruang tengah. Vina bersandar di dinding, Rani memeluk lututnya di pojokan, dan Anggi duduk menunduk, tubuhnya kaku, mata terpaku pada lantai.
Bu Sari duduk di sebelahnya, memegang tangannya.
“Anggi... kamu terluka. Tapi hatimu jauh lebih luka, bukan?”
Anggi tak menjawab. Tapi air matanya jatuh—bukan karena dirinya, melainkan karena ia merasa gagal menjaga dua orang yang ia pedulikan.
Tiba-tiba, Vina berdiri dan berjalan mendekat. Ia duduk di sisi lain Anggi, lalu menyandarkan kepala ke pundaknya.
“Jangan salahkan dirimu terus…” bisiknya lirih.
Rani ikut mendekat dan duduk di depan Anggi, memandangnya dalam-dalam.
“Kau penyelamat kami malam ini, Anggi. Kami tidak akan pernah melupakannya…”
Malam itu mereka bertiga duduk bersama, dalam keheningan yang tak butuh banyak kata. Luka mereka masih terasa, tapi hati mereka mulai menemukan harapan. Dalam diam, ketiganya tahu—mereka kini terikat oleh sesuatu yang jauh lebih kuat dari sekadar persahabatan: kepercayaan dan rasa yang tumbuh perlahan.
---