Bab 18 - Antar Jemput

Di sebuah ruangan mewah dalam villa tersembunyi di kawasan perbukitan, terdengar dentingan kaca pecah. Malin Saputra membanting gelas wine yang ia pegang ke dinding dengan wajah penuh amarah.

"APA KAU BILANG?! BORA KALAH?!" suaranya menggema, membuat seluruh penghuni ruangan bergidik.

Seorang pria berpakaian hitam, salah satu bawahannya, berdiri gemetar di depan meja marmer besar.

"Maaf, Tuan Malin... Kami tidak menyangka bocah itu—Anggi—memiliki kekuatan seperti itu. Bahkan… Bora dan lima orang pilihan kita tak berkutik..."

Malin mencengkeram sisi kursinya dengan kuat, matanya menyala seperti bara api. “Itu… tidak mungkin! Anak itu cuma sampah dari panti asuhan! Tidak mungkin dia bisa mengalahkan Bora! Orang itu kubentuk selama bertahun-tahun!”

Dia bangkit, berjalan bolak-balik di ruangan, lalu berhenti di depan jendela besar yang menghadap ke lembah.

“Anggi… kau ternyata tidak seperti yang kuduga.”

Untuk pertama kalinya, Malin merasa kegelisahan menyusup ke dalam hatinya. Ia tahu, jika kekuatan dan tekad bocah itu tumbuh lebih besar, maka warisan Saputra Group yang selama ini coba ia rebut bisa jatuh ke tangan yang sah—tangan cucu asli dari kakaknya yang dulu ia buang diam-diam.

"Awan pasti sudah tahu juga..." gumamnya. "Dan kalau Awan lebih dulu menemukan Anggi, semuanya bisa berakhir."

Dia menoleh ke anak buahnya. “Cari tahu di mana dia tinggal. Sekarang juga. Aku tidak peduli kalian harus menyuap, menyamar, atau menculik informan. Aku ingin tahu segalanya. Kalau perlu, kita habisi dia sebelum semuanya terlambat.”

“Tapi, Tuan Malin, jika kita bergerak terlalu terang-terangan…”

“Diam!” potong Malin. “Jangan ajari aku tentang strategi!”

Malin lalu duduk, menenangkan diri sejenak. Ia sadar, permainan ini sudah berubah. Ini bukan lagi tentang sekadar menghilangkan seorang anak kecil miskin. Ini adalah duel antara pewaris sejati dan perebut warisan.

Dan Malin tahu—untuk menang, ia harus lebih kejam… lebih cepat… dan lebih licik.

Disisi lain.

Langkah kaki Awan bergema lembut di lorong marmer gedung pusat Saputra Group. Meski berusia lebih dari lima puluh tahun, tubuhnya tegap dan matanya tajam menelisik. Ia baru saja menyelesaikan komunikasi dengan seseorang dari kota Panda. Senyum tipis menghiasi bibirnya.

"Aku tahu itu kamu, Anggi kecil," gumamnya pelan.

Selama bertahun-tahun Awan ditugasi secara diam-diam oleh Datuk Saputra untuk mencari sang cucu kandung yang hilang. Meskipun tak ada petunjuk pasti, Awan tak pernah menyerah. Dan kini, setelah satu laporan singkat dari mata-matanya di kota Panda, dia yakin: cucu Datuk telah ditemukan.

Ia melangkah ke ruang kerja pribadi Datuk Saputra, lalu mengetuk pintu dua kali.

“Masuk,” suara tua namun berwibawa menyambutnya.

Datuk Saputra duduk dengan tenang, menatap lukisan keluarga besar di dinding. Rambutnya sudah memutih, namun sorot matanya tetap tajam seperti elang.

“Datuk,” ujar Awan sambil menunduk. “Saya yakin telah menemukan Tuan Muda Anggi.”

Wajah Datuk tak berubah. Tapi bola matanya melebar sedikit.

“Di mana dia?”

“Di kota Panda. Dia hidup sederhana, sangat sederhana, seperti rakyat biasa. Tapi dia tumbuh menjadi pemuda yang berani, cerdas… dan baru-baru ini dia menghajar salah satu preman bayaran Malin.”

“Malin…” bisik Datuk. “Anak durhaka itu pasti panik sekarang.”

Datuk berdiri. Tangannya sedikit bergetar, tapi ada semangat yang bangkit dari dalam tubuh tuanya.

“Awan… kau tahu apa yang harus kau lakukan.”

Awan mengangguk. “Saya akan mengamankan Tuan Muda. Diam-diam. Tanpa membuatnya takut. Dan tanpa membocorkan identitas saya.”

Datuk Saputra menatap langit-langit dengan mata berkaca. “Tuhan masih beri aku kesempatan… Aku ingin bertemu cucuku… sebelum waktuku habis…”

Awan menunduk dalam-dalam. “Saya pastikan, Datuk. Anda akan bangga pada keturunan sejati Anda.”

Kembali ke Lap...toooop!

Sejak malam mengerikan itu, Anggi tak lagi bisa tidur dengan tenang. Bayangan wajah ketakutan Vina dan Rani saat mereka ditemukan dalam keadaan terikat dan lemah, terus menghantui pikirannya. Hatinya penuh dengan rasa bersalah, meski bukan dia pelakunya.

Hari-hari berikutnya, Anggi mulai mengatur jadwalnya dengan berbeda. Ia tak hanya kuliah dan bekerja seperti biasa, tapi juga memastikan Rani dan Vina selalu berada dalam jangkauannya. Setiap pagi, dia menunggu tak jauh dari gang tempat Vina biasa keluar untuk pergi ke minimarket. Meski gadis itu tak menyadari, Anggi selalu mengawasinya dari kejauhan.

Rani pun demikian. Ia yang semula sering pulang sendiri, kini mulai ditemani Anggi—tanpa banyak kata. Ia hanya bilang, “Aku lewat sini juga,” dengan ekspresi kalemnya yang khas.

Namun bagi Rani, perhatian diam-diam itu justru terasa hangat.

“Kenapa kamu tiba-tiba sering muncul di jalan yang sama denganku, Gi?” tanya Rani suatu sore saat mereka berjalan beriringan di trotoar kampus.

Anggi menoleh sekilas, lalu menjawab singkat, “Nggak sengaja.”

Rani tersenyum kecil. Ia tahu Anggi bohong, tapi tak ingin memaksanya bicara lebih. Kehadiran Anggi saja sudah cukup.

Sementara Vina, yang lebih tertutup, justru lebih sering memerhatikan Anggi diam-diam. Ia mulai menyadari bahwa pria itu tidak seperti kebanyakan laki-laki lain. Ada ketulusan yang terpancar dari sorot matanya. Ada rasa peduli yang tak diucapkan, tapi terasa.

Suatu malam, saat hujan turun deras dan Vina nyaris tak bisa pulang dari minimarket karena tak membawa payung, Anggi muncul begitu saja.

“Yuk, aku antar,” katanya tanpa banyak basa-basi, sambil membuka payung hitam besarnya.

Vina sempat terpaku. Lalu dengan pelan mengangguk. Di bawah payung itu, mereka berjalan berdampingan, hanya ditemani suara rintik hujan dan denyut jantung yang berdebar.

Dan sejak saat itu, Rani dan Vina sadar: mereka punya pelindung, seorang sahabat, seseorang yang tak akan membiarkan mereka terluka lagi.

Malam itu, setelah mengantar Vina sampai ke rumahnya dengan selamat, Anggi kembali berjalan sendirian di bawah hujan. Kepalanya tertunduk, tubuhnya lelah, namun pikirannya lebih lelah lagi. Ia sadar, dunia yang ia hindari perlahan mulai menyeretnya kembali—dunia warisan, kekuasaan, dan bahaya.

Namun ada satu hal yang membuatnya tetap bertahan: Rani dan Vina.

Keesokan harinya, saat jam istirahat kuliah, Rani mendatangi Anggi di taman kampus. Tatapan matanya penuh keraguan, tapi juga rasa syukur yang tak terbendung.

“Anggi...” panggilnya lirih.

Anggi menoleh, tenang seperti biasa.

“Terima kasih... kalau bukan karena kamu, aku dan Vina mungkin...”

Belum selesai Rani bicara, matanya sudah basah. Ia menunduk, tak mampu melanjutkan.

Anggi hanya tersenyum samar, lalu berkata pelan, “Aku nggak bisa diam waktu tahu kalian dalam bahaya. Kalian temanku.”

Rani menggigit bibirnya. Kata “teman” itu terasa manis sekaligus menyakitkan. Karena dalam diam, rasa yang tumbuh sudah lebih dari sekadar teman.

Di tempat berbeda, Vina duduk menyendiri di belakang minimarket setelah selesai bekerja. Ia memandangi langit senja, menggenggam sebuah gantungan kecil pemberian Anggi beberapa waktu lalu. Hatinya resah.

Ia tahu, ia tak bisa mengungkapkan perasaannya semudah itu. Tapi hatinya sudah terlalu dalam memikirkan lelaki itu.

“Anggi... kamu bukan cuma baik... kamu pahlawan yang diam,” bisiknya pelan.

Sore itu, Anggi menyempatkan diri menjemput Rani dan Vina bersamaan. Ketiganya berjalan pulang bersama—senyap, tapi penuh rasa.

Dalam langkah-langkah sunyi mereka, ada luka yang mulai sembuh. Ada perlindungan yang lahir dari ketulusan. Dan ada cinta... yang mulai tumbuh dalam diam.

---