Bab 19 - Tamu Tak Di Undang

Sementara ketenangan semu menyelimuti hari-hari Anggi bersama Rani dan Vina, di sudut kota Panda yang tersembunyi dari gemerlap kampus, seseorang sedang duduk dalam ruang gelap dengan sorot layar menampilkan foto-foto Anggi.

Pria itu adalah Awan, orang kepercayaan setia dari Datuk Saputra. Wajahnya tenang namun tegas. Ia menatap lama pada wajah cucu yang telah lama hilang. Di tangannya tergenggam sebuah foto tua keluarga besar Saputra, yang di bagian sudutnya ada potret kecil Anggi waktu bayi—bersama kedua orang tuanya yang kini menghilang entah ke mana.

"Jadi ini dia... cucu Datuk yang dibuang itu," gumam Awan pelan. “Sudah waktunya aku mendekat.”

Sementara itu, Malin Saputra—paman Anggi yang ambisius dan penuh dendam—sedang duduk di ruang bawah tanah rumah megahnya, dikelilingi oleh berkas-berkas rahasia Saputra Group. Kekalahan pengawal andalannya, Bora, membuatnya murka. Tapi kini dia punya rencana baru.

"Kalau kekuatan gagal menyingkirkan bocah itu... maka kehancuran reputasinya akan membuatnya jatuh lebih dulu," ucap Malin sambil menghela napas tajam.

Dia menghubungi seseorang melalui telepon satelit.

“Sebarkan video duel anak itu dengan preman ke media sosial... biar semua orang tahu siapa dia sebenarnya. Biar dia kelihatan seperti penjahat.”

Sementara itu, di kampus, Anggi mulai merasakan hawa tak enak. Beberapa mahasiswa mulai melihatnya aneh. Bisikan-bisikan kecil terdengar di lorong. Video pertarungan brutalnya malam itu mulai viral secara perlahan.

“Eh, itu bukan Anggi yang mukulin orang di taman?”

“Iya! Gila, serem banget ternyata dia…”

“Katanya dia miskin... tapi kenapa bisa segitu kuat?”

Ucapan-ucapan itu terdengar ke telinga Rani dan Vina yang juga mulai gelisah. Mereka tahu siapa Anggi sebenarnya. Tapi bagaimana mereka harus menjelaskan semua ini?

Rani mencoba mendekati Anggi sore itu, di taman kampus.

"Anggi, kamu lihat video itu?" tanyanya pelan.

Anggi hanya mengangguk. Tatapannya tajam namun tenang.

“Aku nggak pernah takut sama kebenaran, Rani. Tapi sekarang... aku harus bergerak lebih cepat.”

"Bergerak... ke mana?" tanya Rani.

Anggi menatap langit sore, dan hanya menjawab singkat:

“Menuju takdirku.”

Malam itu hujan turun gerimis. Anggi duduk sendirian di teras panti, memandangi langit gelap dengan secangkir teh hangat di tangannya. Udara dingin menusuk, tapi pikirannya jauh lebih dingin dan berat. Video pertarungan itu kini tersebar luas. Nama baiknya di kampus mulai dipertanyakan. Tapi semua itu tidak lagi penting. Dia tahu, ini baru permulaan.

Tiba-tiba dari kejauhan, terlihat bayangan pria dewasa berjas gelap berjalan perlahan mendekati gerbang panti. Langkahnya tenang, wajahnya teduh, namun sorot matanya tajam. Seorang anak panti kecil membuka pintu gerbang sambil berseru,

“Kak Anggi! Ada orang nyariin!”

Anggi menoleh cepat, waspada. Namun, yang datang adalah seorang pria tua berjas panjang hitam, dengan rambut perak yang disisir rapi dan sorot mata tajam. Di belakangnya, lima pria berbadan kekar ikut melangkah. Mereka tak bersuara, tapi auranya menekan.

Pria tua itu berhenti di hadapan Anggi, lalu menundukkan kepala dengan dalam.

“Salam hormat dari Datuk Saputra,” ucapnya. “Saya Awan, orang kepercayaannya. Sudah lama kami mencarimu, Tuan Muda.”

Anggi terdiam.

“Tuan Muda?” Ia mengernyit. “Saya rasa Anda salah orang.”

Awan tersenyum samar. Ia merogoh sakunya dan mengeluarkan sesuatu—sebuah kalung emas dengan lambang burung garuda kecil bermahkota. Kalung yang sama seperti milik Anggi, satu-satunya peninggalan yang ia simpan sejak kecil.

“Milik ayahmu, Sutan Sutan Saputra,” kata Awan pelan. “Dan kamu adalah putra tunggalnya. Pewaris sah keluarga Saputra.”

Anggi berdiri perlahan. Kakinya terasa berat. Pandangannya bergeser pada lima pria di belakang Awan—mereka semua langsung berlutut serempak.

“Salam hormat, Tuan Muda Anggi.”

Suasana hening sejenak. Hanya suara angin dan detak jantung Anggi yang terdengar di telinganya. Dunia seperti berguncang.

“Kenapa sekarang? Kenapa bukan dari dulu?” tanyanya, suara rendah dan berat.

Awan mengangkat kepala sedikit. “Karena perintah baru saja turun dari Datuk Saputra. Dulu, untuk melindungi Tuan Muda, Ayahmu menyembunyikanmu dari dunia. Tapi sekarang... waktunya hampir tiba. Pewaris harus kembali.”

“Dan jika aku menolak?” tanya Anggi.

“Kami tetap akan melindungimu, meski nyawa kami jadi taruhannya.”

Awan melangkah maju dan berlutut. Diikuti semua pengawal. Hujan mulai turun rintik-rintik, seolah langit ikut menyaksikan kembalinya seorang pewaris yang terlupakan.

“Tidak hanya kami,” lanjut Awan. “Seluruh struktur keluarga Saputra, dari pebisnis, tentara bayaran, kepala kampus, hingga petinggi kota—semua tahu siapa Anda. Kami telah menanti.”

Anggi menggenggam kalung di tangannya dengan erat. Pandangannya penuh tanya dan beban.

“Aku cuma anak panti,” katanya pelan.

“Tidak, Tuan Muda,” sahut Awan. “Anda adalah pewaris tunggal. Anak dari raja bisnis terbesar di Asia Tenggara. Semua keluarga tahu... dan mereka akan segera tunduk di bawah kaki Anda.”

Lelaki muda itu terdiam, menatap langit yang kelabu. Satu hal pasti—hidupnya tidak akan pernah sama lagi.

Sore itu langit tampak kelabu, seakan merestui pertemuan besar yang akan mengubah arah hidup seorang pemuda. Di bawah pohon mahoni besar di pinggir taman tua dekat panti, Anggi berdiri tegap meski hatinya dilanda kebingungan. Di hadapannya, seorang pria tua berwibawa menundukkan tubuh penuh hormat.

Pria itu adalah Awan, lelaki setia yang telah puluhan tahun menjadi tangan kanan keluarga Saputra, kini hadir mengemban misi teramat penting: menyerahkan sesuatu yang telah lama dinanti—map dari Datuk Sutan Saputra.

“Tuan Muda Anggi Saputra,” ucap Awan dengan suara dalam, berat oleh makna.

Anggi menoleh, napasnya menahan.

Awan membuka jas hitam panjangnya, lalu menarik keluar sebuah map kulit berwarna marun tua, dihiasi lambang keluarga Saputra berwarna emas. Ia menunduk dalam, lalu menyodorkan map itu dengan kedua tangan.

“Ini… langsung dari Datuk Besar. Beliau menitipkannya kepada saya dengan satu pesan: ‘Serahkan hanya saat waktunya tiba. Saat cucuku siap mengetahui kebenaran.’”

Anggi memandangi map itu lama. Tangannya perlahan terulur, ragu namun dituntun oleh rasa haus akan kebenaran. Saat jari-jarinya menyentuh permukaan map, seketika ia merasakan getaran aneh—seolah masa lalu keluarganya berdesakan ingin keluar.

“Isinya… apa?” tanya Anggi pelan.

Awan menunduk lebih dalam.

“Pernyataan resmi bahwa Anda adalah pewaris tunggal keluarga Saputra. Surat dari Datuk. Data silsilah. Dokumen internal grup. Dan sepucuk surat pribadi… dari beliau untuk Anda.”

Anggi membuka map itu dengan hati-hati. Di dalamnya ada lembaran-lembaran tebal bersampul cap merah. Namun perhatian Anggi tertumbuk pada satu lembar kecil bersampul cokelat muda, bertuliskan tangan tua dan bergetar:

> Untuk cucuku tercinta, Anggi Saputra.

Maafkan kami yang membiarkanmu tumbuh dalam gelap,

tapi ketahuilah, engkau cahaya yang kami jaga dalam diam.

Saat kamu membaca surat ini, waktunya telah tiba.

Waktunya kamu kembali, membawa nama Saputra dengan cara yang benar.

Dunia menantimu.

— Datuk

Anggi menggigit bibirnya. Matanya basah. Tubuhnya kaku seperti patung.

Awan, yang melihat perubahan di wajah Anggi, berlutut perlahan bersama tiga pengawal yang mengikutinya sejak awal.

“Mulai hari ini, hidup kami adalah milik Tuan Muda. Apa pun yang Tuan perintahkan… kami siap.”

Anggi menatap mereka. Tak ada rasa sombong, hanya luka dan kekuatan baru yang mulai menyatu dalam diamnya. Map itu ia peluk erat ke dada. Bukan karena harta. Tapi karena akhirnya, ia tahu siapa dirinya… dan apa takdir yang harus ia jalani.

---