Bab 20 - Langkah Baru

Sore mulai bergeser ke senja. Cahaya jingga keemasan memantul di daun-daun pohon, menyelimuti pertemuan Anggi dan Awan dalam suasana magis. Anggi masih memeluk map itu, berdiri tegak di antara keheningan. Namun pikirannya bergolak seperti ombak yang baru saja diberi izin untuk mengamuk.

Awan bangkit perlahan dari posisi berlututnya, lalu memandang Anggi dengan mata penuh hormat dan harap.

“Maafkan kami, Tuan Muda, karena baru sekarang kami muncul di hadapan Anda,” ujar Awan pelan. “Kami menunggu isyarat dari Datuk. Dan sekarang… isyarat itu telah datang.”

Anggi menoleh, menatap mata Awan tajam-tajam. “Kalian tahu aku hidup susah di panti. Kalian tahu aku dibuang. Tapi kalian tetap diam?”

Awan menundukkan kepala, suaranya lirih. “Itu bukan kehendak kami, Tuan. Datuk sedang diawasi. Seluruh gerak-geriknya dibatasi oleh orang-orang Malin Saputra. Kami tak bisa bergerak sembarangan tanpa membahayakan nyawa Anda.”

Anggi menghela napas panjang. Wajahnya menunjukkan kemarahan yang tertahan—bukan kepada Awan, tapi kepada sistem kejam yang telah menelantarkannya.

“Jadi selama ini, aku cuma… dijauhkan? Disembunyikan?” suaranya tercekat.

Awan mengangguk pelan. “Benar, Tuan. Tapi itu adalah satu-satunya cara untuk menyelamatkan Anda dari incaran Malin. Karena Anda—”

“—adalah satu-satunya pewaris sah.” Anggi menyelesaikan kalimat itu sendiri. Ia mulai memahami, mulai menyusun potongan-potongan masa lalu yang selama ini berserakan.

Awan melangkah sedikit mendekat. “Tuan, kami telah bersiap. Kalau Anda mengizinkan, kami bisa segera mengantar Anda menemui Datuk. Dia sangat merindukan Anda.”

Anggi menatap map itu lagi. Ada kerinduan di sana. Tapi ada juga amarah, luka, dan tanggung jawab yang berat.

“Belum sekarang, Awan. Aku belum bisa pergi,” jawab Anggi mantap. “Masih ada orang-orang yang harus kulindungi di sini. Rani, Vina, adik-adik panti… mereka keluargaku juga.”

Awan mengangguk, matanya memerah oleh rasa hormat. “Datuk tahu Anda akan berkata seperti itu, Tuan Muda. Karena Anda… cucu dari Sutan Saputra yang berhati emas.”

Anggi menatap langit yang mulai gelap. “Tolong, Awan… jangan panggil aku ‘Tuan Muda’ di depan umum. Aku masih Anggi. Biarkan semua berjalan seperti biasa… sampai waktunya tiba.”

“Baik, Anggi,” kata Awan lembut. “Kami akan tetap mengawasi Anda dari jauh. Kami tidak akan biarkan satu jari pun menyentuh Anda tanpa seizin kami.”

Anggi mengangguk. “Terima kasih, Awan. Sampaikan salamku untuk Datuk. Katakan padanya… cucunya masih hidup. Dan sedang bersiap.”

Awan tersenyum tipis. “Datuk akan bangga mendengarnya.”

Lalu Awan dan ketiga pengawal itu menghilang ke dalam bayang-bayang taman, meninggalkan Anggi yang berdiri sendiri… namun tidak lagi sendirian.

Karena kini, ia tahu siapa dirinya.

Dan dunia… akan segera tahu juga.

Langit malam semakin gelap, hanya diterangi oleh cahaya lampu jalan yang redup. Anggi berdiri di pinggir jalan, memandang ke arah panti asuhan yang beberapa kali ia sebut sebagai rumahnya. Sebuah perasaan berat menggelayuti hatinya—bukan karena dirinya yang kini mulai menyadari warisan yang harus dipikul, tetapi karena kebohongan dan rahasia yang tersembunyi di balik itu semua.

Dia memejamkan mata sejenak, mencoba menenangkan diri. Keringat dingin masih merayap di kulitnya. Namun saat itu, sebuah suara yang familiar memecah keheningan malam.

“Anggi.”

Dia menoleh dan melihat Rani berdiri di ujung jalan, mata penuh kecemasan, seperti sedang mencari-cari seseorang. Perasaan bersalah melanda diri Anggi, karena ia tidak memberitahukan apapun pada Rani.

“Rani…” Anggi menyapa pelan. “Ada apa?”

Rani mendekat dengan langkah cepat, matanya menyiratkan kegelisahan. “Kamu kenapa? Sejak pagi nggak masuk kerja, nggak kuliah… kami semua khawatir. Aku bahkan sampai nungguin kamu di depan rumah. Tapi kamu nggak pernah pulang.” Suaranya bergetar, menahan kekhawatiran yang mendalam.

Anggi melihatnya, merasa tidak tega. Rani yang selama ini selalu ada untuknya, bahkan ketika tidak tahu apa-apa tentang dirinya yang sebenarnya. Ia memutuskan untuk tidak bisa lagi berbohong. Tapi, ada hal yang harus dijaga.

“Aku baik-baik saja, Rani,” jawab Anggi dengan suara tenang, meskipun dalam hatinya ada badai yang tak terbendung. “Ada hal-hal yang harus aku pikirkan. Tentang keluargaku… tentang masa depanku.”

Rani tidak bisa menyembunyikan rasa bingungnya. “Keluargamu? Anggi, kamu nggak perlu lagi menyembunyikan sesuatu dariku. Kalau kamu merasa kesulitan, aku bisa bantu. Aku selalu ada.”

Anggi menatapnya dalam-dalam, mencoba menilai apakah saat ini adalah waktu yang tepat untuk mengungkapkan segalanya. Namun, sesuatu yang tak terduga terjadi. Sebuah mobil hitam meluncur pelan ke arah mereka, dan dari dalam mobil itu, seseorang yang tak asing keluar.

Riko.

Matanya berbinar, penuh kebencian dan kesombongan. Di belakangnya, beberapa anak buahnya terlihat ikut keluar, semua dengan tatapan penuh permusuhan.

“Anggi…” suara Riko menggeram, “Tunggu apa lagi? Kamu pikir bisa lolos begitu saja? Kamu yang sok-sokan jadi orang paling baik di kampus, di panti, tapi nyatanya, kamu cuma… sampah!”

Rani yang terkejut langsung berdiri di depan Anggi. “Riko, berhenti! Kamu nggak punya hak bicara seperti itu!”

Anggi mengangkat tangannya dengan tenang, mencegah Rani untuk bergerak lebih jauh. Ia menatap Riko, matanya tajam dan tegas.

“Jangan mencoba mengganggu orang yang sudah lebih baik darimu, Riko. Kamu nggak tahu apa-apa tentang aku,” ujar Anggi, suaranya tenang tapi tegas.

Riko tertawa terkekeh, seperti tidak terpengaruh. “Kamu kira bisa lari dari masa lalu? Aku dan gengku tahu segalanya tentang kamu, Anggi. Dan aku akan membuat hidupmu sengsara. Tak ada yang bisa melindungimu dari kami, bukan orang seperti kamu.”

Anggi menghela napas dalam-dalam. Semua yang dia hindari kini datang menghampiri, semakin dekat. Meskipun begitu, ia sudah tidak merasa takut lagi. Kini, dia bukan hanya Anggi, pemuda miskin yang dibuang, dia adalah cucu dari Sutan Saputra. Dan nama itu akan membuat semua orang berpikir dua kali sebelum menantangnya.

Anggi memandang Riko dan anak buahnya dengan penuh perhitungan. “Kalian bisa coba sebanyak yang kalian mau, Riko. Tapi jangan salah… siapa yang sebenarnya berkuasa.”

Riko mendengus, menunjuk ke arah Anggi dengan penuh kemarahan. “Kamu pikir, karena kamu punya kekayaan, semuanya bisa selesai begitu saja? Jangan sombong, Anggi! Kami punya kekuatan yang nggak bisa dibeli dengan uang!”

Di saat itulah, Awan tiba-tiba muncul dari kegelapan. Tanpa suara, ia mengamati situasi tersebut, siap jika sesuatu yang buruk terjadi. Ia tahu Anggi sudah bisa menghadapinya, tetapi tidak ada salahnya untuk memberikan sedikit dukungan jika dibutuhkan.

Riko yang melihat kedatangan Awan dan pengawal-pengawalnya mulai ragu, namun tetap mencoba mengancam. “Kalian pikir ini sudah selesai? Aku akan balik. Kali ini, kalian nggak akan bisa lari.”

Awan melangkah maju, suara tegasnya menggetarkan. “Cobalah. Tapi ingat, ini bukan tempatmu untuk berbicara lebih banyak. Jangan ganggu Tuan Muda kami, atau kamu akan menyesal.”

Riko terdiam sejenak, namun tak lama, ia berbalik dan pergi dengan langkah berat, bersama anak buahnya yang mulai merasakan ketegangan yang semakin meningkat.

Begitu mereka pergi, suasana kembali menjadi sunyi. Rani yang tampaknya masih terkejut menatap Anggi, mata yang penuh tanya.

“Kamu benar, kan? Tentang semua itu, Anggi. Ada yang kamu sembunyikan. Tapi kamu tahu, aku nggak akan pergi. Apa pun yang terjadi, aku akan ada untuk kamu.”

Anggi menatap Rani, sebuah senyum yang lembut mewarnai wajahnya. “Terima kasih, Rani. Kamu adalah keluarga yang tidak aku miliki sebelumnya.”

Anggi dan Rani berdiri bersebelahan, keduanya tahu bahwa meskipun banyak yang harus dihadapi, mereka tidak akan pernah sendirian. Dunia luar mungkin keras, penuh intrik dan bahaya, tetapi selama mereka bersama, mereka akan berjuang.

Dan, seperti yang dijanjikan oleh Awan, waktu untuk Anggi menunjukkan siapa dirinya yang sebenarnya akan segera tiba. Tidak hanya sebagai pemuda miskin yang dilupakan, tetapi sebagai pewaris sah dari keluarga Saputra.

Namun satu hal yang pasti: rintangan baru sudah menunggu di depan.

---