Pertemuan Tak Direncanakan

Langit Banda Aceh sore itu mendung, seolah menyimpan rahasia yang akan segera terungkap. Angin laut berembus pelan, membawa aroma asin yang khas. Di sudut sebuah restoran sederhana tak jauh dari Masjid Raya Baiturrahman, duduklah seorang pemuda berperawakan tenang, mengenakan baju koko putih dan peci hitam. Namanya Rafi Maulana, 23 tahun, asli Yogyakarta. Ia sedang menjalani program belajar agama selama beberapa bulan di Aceh, mencoba mendalami makna keislaman lebih dalam—bukan sekadar lewat buku, tapi dari kehidupan sehari-hari yang kental dengan nilai-nilai itu.

Rafi bukan tipe orang yang suka keramaian. Ia lebih nyaman duduk diam, membaca atau sekadar merenung sambil mendengarkan adzan dari kejauhan. Namun hari itu berbeda. Hari itu, takdir mempertemukannya dengan seseorang yang tak pernah ia bayangkan akan hadir dalam hidupnya.

Seorang gadis bule masuk ke restoran. Rambut pirangnya terikat rapi, matanya biru cerah, dan kulitnya pucat khas Eropa Utara. Ia tampak canggung, menatap sekeliling mencari seseorang yang bisa ia ajak bicara. Lalu, matanya bertemu dengan Rafi—dan tanpa ragu, ia melangkah mendekat.

“Excuse me... can you help me?” katanya dengan suara pelan tapi jelas.

Rafi membeku. Otaknya berpacu cepat, mencoba menerjemahkan kata-kata itu. Tapi nihil. Ia tidak mengerti. Dengan gugup, ia tersenyum kecil dan mengeluarkan ponselnya, membuka aplikasi penerjemah. Ia mengetik cepat, lalu memutar layar ponselnya ke arah gadis itu.

“Apa kamu butuh bantuan?”

Gadis itu tertawa kecil, lalu menunjuk ke arah jalan sambil mengatakan sesuatu lagi. Lagi-lagi Rafi menerjemahkan. Dari potongan kata dan isyarat, ia akhirnya mengerti bahwa gadis itu sedang tersesat—mencari jalan menuju sebuah penginapan tak jauh dari sana.

“Hotel dekat sini,” kata Rafi dengan bahasa Inggris yang patah-patah. “I... take you?”

“You'll take me there? That would be amazing, thank you!” jawab sang gadis dengan senyum hangat.

Mereka berjalan bersama menyusuri jalan kecil di tengah kota. Dalam langkah yang kikuk dan percakapan yang dibantu Google Translate, dua dunia mulai bersentuhan. Gadis itu memperkenalkan dirinya sebagai Elisabeth Johanne Andersen, 22 tahun, dari Denmark. Ia sedang melakukan perjalanan solo ke beberapa negara Asia sebelum kembali menyelesaikan studi arsitekturnya di Copenhagen.

Perjalanan singkat dari restoran ke penginapan itu ternyata jadi awal dari kisah panjang yang tak pernah mereka sangka. Meski bahasa memisahkan, mereka tertawa karena salah paham, tersenyum karena penasaran, dan perlahan mulai menikmati kehadiran satu sama lain.

Apa yang dimulai sebagai bantuan sederhana hari itu, tumbuh menjadi pertemanan... lalu menjadi sesuatu yang lebih rumit dan lebih dalam. Tapi keduanya tahu, mereka berasal dari dua dunia yang berbeda. Rafi tumbuh dalam keluarga Muslim yang taat di Yogyakarta. Elisabeth adalah putri pendeta gereja kecil di Denmark.

Langkah mereka menyusuri trotoar yang sempit di antara ruko-ruko tua dan pohon kelapa yang tinggi menjulang. Rafi berjalan sedikit canggung di sebelah Elisabeth, matanya kadang melirik ke arah gadis bule itu yang tampak santai menikmati suasana Aceh sore itu.

Elisabeth menatap sekeliling penuh rasa ingin tahu. “So… Aceh is… peaceful,” katanya sambil tersenyum.

Rafi menoleh, mencoba merespons. “Peace… yes… very peaceful,” jawabnya pelan, dengan logat khas Indonesia yang kental.

Elisabeth mengangguk dan tertawa kecil. “Your English… is cute.”

Rafi tersipu malu. Ia menunduk, lalu mencoba membalas. “Sorry… my English… not good.”

“It’s okay. I understand. You're doing great!” Elisabeth menepuk dadanya pelan. “I’m trying to learn Bahasa too. It’s very… sulit?” katanya sambil terkekeh.

Rafi tersenyum. “Sulit… yes. But you… belajar bahasa Indonesia?”

“Yes! A little. I learn from app. Like you,” katanya sambil menunjukkan ponselnya yang juga terbuka di aplikasi penerjemah.

Rafi melihat nama aplikasi yang sama. Mereka tertawa bersama. Kejanggalan itu justru membuat obrolan terasa ringan. Di tengah perbedaan, mereka menemukan kesamaan—sama-sama asing, sama-sama belajar, dan sama-sama penasaran.

Setelah berjalan sekitar sepuluh menit, mereka tiba di depan sebuah bangunan berlantai dua dengan papan bertuliskan “Seroja Inn”.

“This… your hotel?” tanya Rafi.

“Yes! This is it. Thank you so much, Rafi.”

Rafi mengangguk. “You’re welcome, Elisabeth.”

Ia hendak berpamitan, tapi Elisabeth menggenggam ponselnya lalu bertanya dengan ragu, “Uh… can we… maybe, talk again? Like, tomorrow? I… I want to learn more Bahasa.”

Rafi terdiam. Ia menatap mata biru itu, lalu menjawab dengan senyum malu-malu. “Yes… maybe… I teach… you Bahasa… and you teach me English?”

Elisabeth tersenyum lebar. “Deal.”

Dan dengan itu, mereka pun berpisah di depan hotel. Tapi keduanya tahu, ini bukanlah pertemuan terakhir.

Ini baru langkah pertama dari perjalanan panjang dua hati yang berbeda dunia, namun dipertemukan oleh rasa yang mulai tumbuh diam-diam.

Rafi melangkah perlahan meninggalkan Seroja Inn, namun langkahnya terasa ringan, seperti ada sesuatu yang menggantung di udara—entah harapan, atau sekadar kebingungan yang manis. Angin sore Banda Aceh masih berembus lembut saat ia berbelok ke arah Masjid Raya Baiturrahman, berniat menunaikan salat Magrib yang sebentar lagi masuk waktu.

Namun belum sampai ke pelataran masjid, dari arah berlawanan muncul sosok yang familiar—berjalan cepat sambil membawa sajadah tergulung di tangan. Farhan, teman sekostnya, mengenakan sarung dan kaus lengan panjang, tampak kaget saat melihat Rafi.

“Eh, Raf! Barusan itu bule ya yang jalan bareng kamu?” tanya Farhan dengan alis terangkat tinggi, suaranya setengah berbisik, setengah penuh rasa penasaran.

Rafi sempat bingung, lalu tersenyum kaku. “Eh, iya… dia tersesat, nyari hotel. Kebetulan aku lagi di situ, ya aku bantuin aja.”

Farhan langsung nyengir. “Wih, jodoh internasional nih ceritanya?”

“Woy, nggak gitu juga. Cuma bantu, Han,” Rafi menjawab sambil menepuk pelan pundak temannya.

“Tapi kamu ngobrol, kan? Gila, sekarang bisa bahasa Inggris?”

“Ngaco. Bukan aku yang bisa, itu Google Translate yang jago,” jawab Rafi sambil terkekeh.

Mereka berdua tertawa kecil, lalu berjalan bersama menuju masjid. Namun di benak Rafi, tawa itu menyisakan sesuatu yang lebih dalam—rasa yang belum sempat ia kenali, tapi mulai tumbuh pelan-pelan. Farhan, yang biasanya suka bercanda, menatap sahabatnya itu sebentar lalu berkata pelan,

“Tapi serius, Raf… kalau kamu dekat sama bule, itu berat. Bukan cuma soal bahasa, tapi iman, keyakinan, jalan hidup…”

Rafi mengangguk pelan. “Aku tahu, Han. Justru itu yang bikin aku mikir. Tapi aku juga belum mikir sejauh itu. Dia cuma… orang asing yang butuh bantuan. Dan sekarang, teman belajar.”

Farhan menepuk punggung Rafi. “Ya udah. Yang penting jangan lepas pegangan. Kamu ke sini kan buat belajar iman. Jangan sampai malah goyah karena perasaan.”

Rafi menatap langit yang mulai gelap. Di balik awan kelabu itu, bintang-bintang mulai bermunculan—diam, tapi ada. Ia menarik napas panjang dan melangkah ke dalam masjid bersama Farhan.

Namun jauh di dalam hatinya, perasaan asing itu tetap ada. Sebuah rasa yang pelan-pelan tumbuh di antara kekakuan bahasa, perbedaan iman, dan batasan dunia yang begitu nyata.

Setelah menunaikan salat Magrib, Rafi keluar dari masjid dengan langkah santai. Suasana Banda Aceh mulai gelap, tapi lampu-lampu jalan dan warung makan perlahan menyala, menciptakan pemandangan kota yang hangat dan tenang.

Ia berjalan kembali ke restoran tempat ia bertemu Elisabeth tadi. Bukan karena ingin bertemu lagi, tapi karena ia baru ingat—buku catatan kecilnya tertinggal di sana. Buku itu penting, berisi catatan refleksi harian dan kutipan-kutipan dari pelajaran agama yang ia ikuti selama program di Aceh.

Begitu sampai di depan restoran, Rafi langsung mengenali meja tempat ia duduk tadi. Ia masuk, menyapa pelayan yang berjaga.

“Permisi, Kak. Tadi saya duduk di sana sore-sore. Saya mungkin ketinggalan buku kecil warna cokelat. Ada lihat, nggak?”

Pelayan itu mengangguk. “Oh, iya. Ada yang nemu, kita taruh di kasir. Tunggu sebentar ya.”

Tak lama, pelayan itu kembali membawa buku kecil Rafi. Rafi menerimanya dengan senyum lega.

“Wah, makasih banyak, Kak. Ini penting banget buat aku.”

Sebelum Rafi sempat berbalik, dari arah pintu masuk terdengar suara yang sangat familiar.

“Oh! Rafi?”

Rafi membeku sejenak, lalu menoleh.

Elisabeth berdiri di ambang pintu, masih mengenakan pakaian yang sama seperti tadi. Rambut pirangnya sedikit berantakan karena angin malam. Ia tampak kaget sekaligus senang melihat Rafi.

“You… here again?”

Rafi tersenyum kikuk. “Yes… I forgot… my book. So, I come back.”

Elisabeth mengangguk pelan. “Me too… I forgot my charger.”

Keduanya tertawa kecil karena kebetulan itu.

“Aku pikir kamu sudah istirahat,” kata Rafi, mencoba bicara pelan sambil tetap terbata-bata dalam bahasa Inggris.

“I was… but I remember I need my charger. And now… we meet again,” jawab Elisabeth sambil tersenyum.

Rafi merasa canggung, tapi senyuman gadis itu entah kenapa membuat suasana jadi tidak terlalu kaku.

“Maybe… destiny?” Elisabeth menambahkan, matanya berkilat penuh canda.

Rafi menunduk, tersipu. “Maybe…”

Mereka berdiri di depan restoran yang mulai sepi. Kota Banda Aceh menyisakan suara sepeda motor lewat dan angin laut yang makin dingin. Di antara dua orang asing yang tak sengaja bertemu dua kali dalam satu hari, diam mulai berubah jadi nyaman.

Rafi menggeser tubuhnya sedikit, berdiri di samping pintu restoran yang sudah hampir tutup. Elisabeth masih berdiri di hadapannya, memeluk charger yang baru saja ia ambil dari meja kasir. Angin malam Banda Aceh berembus pelan, membawa aroma laut dan hujan yang mungkin turun sebentar lagi.

Rafi membuka aplikasi penerjemah di ponselnya dan mulai mengetik.

"Aku... senang bisa ketemu kamu lagi," lalu ia menunjukkan layar itu ke Elisabeth.

Elisabeth membaca lalu tersenyum hangat. “Me too,” katanya pelan. “It’s… funny. Feels like movie.”

Rafi tertawa kecil. Lalu dengan ragu, ia berusaha bicara langsung, meskipun patah-patah. “You… not... scared? Night… go out?”

Elisabeth menggeleng. “No. I’m okay. Banda Aceh is safe… I think.”

Rafi mengangguk. Lalu ia menunjuk ke langit, lalu mengetik lagi di ponselnya:

"Langit malam ini indah, tapi mungkin sebentar lagi hujan."

Elisabeth membaca dan mengangguk sambil menatap langit. “Yes… grey clouds. Looks like rain.”

Hening beberapa detik.

Elisabeth melipat tangannya di dada, lalu dengan ragu bertanya, “Can I… ask something?”

Rafi mengangguk cepat.

“You... always dress like that?” Ia menunjuk ke baju koko dan peci Rafi.

Rafi mengangguk lagi. Ia buru-buru mengetik:

"Saya sedang belajar agama di sini. Jadi saya berpakaian seperti ini setiap hari."

Ia menunjukkan layarnya.

Elisabeth membaca, lalu tersenyum kagum. “Oh! You’re… religious?”

Rafi mengangguk. Lalu mengetik satu kalimat lagi, lebih pelan:

"Saya masih belajar. Masih banyak yang saya tidak tahu."

Elisabeth tampak terkesan. Ia menjawab, “But you’re trying. That’s… beautiful.”

Rafi tak tahu harus menjawab apa. Ia hanya tersenyum dan menunduk, malu. Di tangannya, aplikasi penerjemah masih terbuka. Ia menulis lagi:

"Kamu ingin aku ajarkan Bahasa Indonesia mulai besok?"

Elisabeth membaca, lalu tersenyum cerah. “Yes! And I teach you English too.”

Mereka tertawa bersama.

“Apa kamu lapar?” tulis Rafi di aplikasinya.

Elisabeth membaca lalu menjawab, “A little.”

Rafi menunjuk ke bangku luar restoran yang masih kosong. “Sit?”

“Sure.”

Mereka pun duduk di bangku kayu yang menghadap ke jalan. Tak banyak orang lewat malam itu. Obrolan mereka penuh jeda, penuh tawa karena salah terjemah, tapi hangat. Elisabeth mengeluarkan buku kecil dari tasnya, Rafi juga.

Dua dunia berbeda, dua bahasa asing, tapi malam itu—mereka mulai belajar memahami... satu sama lain.

Pelayan restoran datang menghampiri mereka dengan senyum ramah. Lelaki paruh baya berseragam itu membawa buku menu lusuh dan meletakkannya di atas meja.

Rafi langsung mengambil ponselnya, lalu mengetik:

"Kamu mau makan apa? Makanan di sini enak-enak."

Layar ponsel itu ditunjukkannya ke Elisabeth.

Elisabeth membaca sambil tersenyum. “Hmm… I don’t know. What do you recommend?”

Rafi bingung, lalu melirik ke menu. Ia menunjuk ke salah satu foto. “Ini… nasi goreng. Rice. With egg and chicken. Enak,” katanya pelan sambil tersenyum malu-malu.

Elisabeth tertawa kecil. “Okay, nasi goreng… I’ll try.”

Pelayan menunggu. Rafi pun bicara ke pelayan dengan percaya diri, “Satu nasi goreng, Bang. Pedasnya sedang aja. Air putih satu.”

Lalu ia menoleh ke Elisabeth dan kembali ke ponselnya.

"Minum apa?"

Elisabeth menatap menu sejenak, lalu berkata, “Uh… teh manis?”

Rafi melirik pelayan dan berkata, “Satu teh manis, dingin ya, Bang.”

Pelayan mengangguk dan berlalu pergi.

Rafi dan Elisabeth kembali saling menatap, lalu tertawa pelan.

“You… speak fast. I don’t understand, but sounds cool,” ujar Elisabeth.

Rafi tertawa gugup. “Bahasa… cepat, ya. Tapi… nanti kamu bisa.”

Elisabeth mengangguk. “We learn. Slowly. Together.”

Rafi mengetik lagi:

"Senang bisa ngobrol kayak gini. Walaupun masih pakai bantuan aplikasi."

Ia tunjukkan layarnya.

Elisabeth menatap ponselnya, lalu menatap Rafi. “Me too, Rafi. This… is nice.”

Hening sebentar, tapi hening yang nyaman. Lampu-lampu jalan mulai menyala, dan dari kejauhan, suara adzan Isya terdengar samar. Rafi menunduk sebentar, lalu menatap Elisabeth dan mengetik:

"Nanti aku harus ke masjid sebentar. Tapi setelah itu... boleh kita ngobrol lagi sebentar?"

Elisabeth mengangguk, tanpa ragu. “Yes. I’ll wait.”

Malam Banda Aceh semakin tenang, dan di antara nasi goreng serta teh manis, benih-benih rasa yang belum bernama mulai tumbuh perlahan.

Setelah pesanan mereka sampai dan Elisabeth mulai menyantap makanannya, Rafi meminta izin sebentar.

Ia mengetik di ponsel:

"Aku ke masjid dulu ya, sholat Isya. Gak lama kok."

Lalu ia tunjukkan ke Elisabeth.

Elisabeth membaca dan tersenyum, mengangguk pelan. “Okay. I’ll wait here.”

Rafi berdiri, mengenakan kembali peci hitamnya, dan melangkah keluar dari restoran. Udara malam Banda Aceh terasa lebih sejuk, dengan langit yang mulai dipenuhi bintang-bintang kecil. Lampu jalan menyala lembut, menerangi trotoar yang membawanya ke arah Masjid Raya Baiturrahman yang megah dan anggun.

Langkahnya mantap, tapi pikirannya melayang. Tadi siang, ia hanya berniat makan, lalu pulang. Tapi sekarang... ia merasa seperti ada sesuatu yang berubah. Entah apa. Mungkin karena senyum canggung Elisabeth. Atau mungkin karena percakapan sederhana yang terasa lebih dalam dari sekadar kata-kata.

Begitu tiba di masjid, ia mengambil wudu, lalu masuk ke dalam dan ikut barisan jamaah. Suasana masjid tenang, cahaya lampu memantul di marmer putih yang bersih. Di tengah lantunan doa dan sujud yang khusyuk, Rafi diam-diam memanjatkan doa agar hatinya tetap tenang dan niatnya tetap lurus.

Selesai sholat, ia duduk sebentar di dalam masjid. Tangannya meraih ponsel, melihat pesan terakhir dari Elisabeth yang hanya emoji senyum dan tulisan:

"Still here, still hungry, haha."

Rafi tersenyum sendiri, lalu bangkit dan berjalan kembali ke restoran.

Malam itu, langkahnya lebih ringan. Bukan hanya karena ia baru selesai menunaikan kewajiban, tapi karena di sana—di meja pojok restoran sederhana—ada seseorang yang menunggunya, meski baru saja dikenalnya.

Sebelum keluar dari masjid, Rafi mendengar seseorang memanggil namanya. Ia menoleh, dan melihat Farhan, teman sekostnya di Aceh, sedang berjalan ke arahnya. Farhan mengenakan kaos putih sederhana dengan celana panjang hitam, tampak bersahaja seperti biasanya.

"Rafi!" teriak Farhan dengan suara ceria.

Rafi tersenyum dan melambaikan tangan. "Farhan! Ada apa?"

Farhan mendekat dan menepuk bahu Rafi. "Aku baru selesai pengajian. Kamu nggak ikut? Ada ustaz yang keren, bahas tentang ketenangan hati."

Rafi mengangguk pelan. "Makasih, Farhan. Tapi, aku lagi... ada urusan." Ia menatap jam tangannya, lalu menambahkan, "Mau ke restoran sebentar. Teman aku nunggu."

Farhan mengangkat alis dan tersenyum lebar. "Teman? Maksudnya cewek? Haha."

Rafi tersipu, merasa canggung. "Bukan... Bukan gitu, Farhan. Cuma... ngobrol sama teman baru. Dia dari Denmark."

Farhan tertawa kecil. "Ah, aku ngerti. Tapi serius, ikut aja pengajian dulu. Kan bisa ngobrol nanti. Dapet banyak ilmu, aku jamin."

Rafi berpikir sejenak. Memang, pengajian itu selalu memberi ketenangan, tapi ia juga merasa ada yang berbeda dengan pertemuannya dengan Elisabeth. Ia ingin kembali cepat.

"Aku... nanti deh ikut, Farhan. Besok aja. Kalau sekarang, aku janji balik sebentar," jawab Rafi dengan sedikit ragu.

Farhan menyeringai. "Oke deh, janji ya. Pengajian itu bagus buat hati. Aku tungguin di sini aja. Semoga jadi pertemuan yang baik."

Rafi mengangguk. "Iya, insya Allah. Makasih, Farhan."

Farhan memberi Rafi satu tepukan ringan di punggung, lalu melangkah kembali menuju masjid. Sementara Rafi berjalan keluar, masih sedikit bimbang. Meski ia ingin kembali segera ke Elisabeth, ia merasa berat meninggalkan kesempatan untuk mendalami lebih banyak ilmu agama.

Namun, malam itu, pikirannya terus terarah pada pertemuan yang baru saja terjadi, dan pada seseorang yang kini tengah menunggunya di restoran. Sesuatu tentang pertemuan itu membuat hatinya sedikit berdebar.

Rafi melangkah cepat menuju restoran, langkahnya ringan meskipun pikirannya sedikit kalut. Langit malam yang cerah memberi sedikit ketenangan di tengah pikiran yang berlarian. Ia sempat teringat ucapan Farhan, yang mengingatkannya untuk mengikuti pengajian. Namun, hati Rafi lebih tertarik untuk kembali ke restoran, bertemu Elisabeth, dan melanjutkan percakapan yang baru dimulai.

Setiba di depan restoran, Rafi menghela napas sejenak, mengatur detak jantungnya yang terasa sedikit lebih cepat dari biasanya. Ia menarik napas dalam-dalam sebelum mendorong pintu restoran dan melangkah masuk. Begitu ia masuk, ia melihat Elisabeth sedang duduk di meja mereka, dengan wajah yang tampak lebih rileks, meskipun ia sesekali melihat ponselnya.

Saat Rafi mendekat, Elisabeth mengangkat kepala dan tersenyum. "You're back," katanya, suaranya penuh kehangatan. "How was your prayer?"

Rafi tersenyum kecil, meskipun ia merasa sedikit canggung karena bahasa yang masih terbatas. Ia mengetik di ponselnya dan memperlihatkan kepada Elisabeth:

"It was good. Felt peaceful."

Elisabeth membaca pesan itu, lalu mengangguk. "That's nice. I like the peacefulness here. Everything feels calm."

Rafi duduk kembali di kursinya dan tersenyum, merasa sedikit lebih lega. "You like Aceh?" tanyanya lewat ponsel, berusaha berbicara lebih banyak.

"Yes, very much," Elisabeth menjawab dengan antusias. "The people, the food, the culture... everything's so different, but so beautiful."

Rafi mengangguk, senang mendengar Elisabeth menikmati pengalamannya di Aceh. "I’m glad. Aceh is special. Not just the place, but the people too."

Elisabeth tersenyum. "I can see that."

Saat itu, pelayan datang membawa minuman yang telah dipesan sebelumnya. Rafi tersenyum kepada pelayan dan mengangguk, kemudian ia kembali berbicara kepada Elisabeth dengan bantuan ponselnya:

"What do you want to eat?"

Elisabeth memandang menu yang ada di meja, lalu menjawab sambil tersenyum. "I want to try the Nasi Goreng Aceh. I heard it's really good here."

Rafi mengetik kembali:

"Nasi Goreng Aceh is very delicious."

Elisabeth tertawa kecil. "Sounds perfect then. I’ll try it."

Setelah memesan makanan, keduanya kembali menikmati keheningan yang nyaman. Rafi merasa sedikit lebih terbuka, meskipun masih canggung dengan keterbatasan bahasa. Namun, ada perasaan hangat yang mulai tumbuh di dalam dirinya, sebuah perasaan yang tak bisa ia jelaskan. Sesekali, mereka saling tersenyum, berbicara sedikit lewat ponsel, dan menikmati kebersamaan yang semakin terasa ringan.

Rafi tahu, malam itu akan menjadi awal dari sebuah perjalanan yang panjang, penuh ketidakpastian dan perbedaan, namun juga penuh dengan kemungkinan yang menarik.

Setelah beberapa lama berbicara, suasana semakin santai di antara mereka. Elisabeth tertawa ringan mendengar cerita-cerita lucu yang diceritakan Rafi lewat aplikasi penerjemah, sementara Rafi merasa semakin nyaman berada di dekat gadis bule itu. Mereka sudah berbicara banyak tentang budaya, kebiasaan, bahkan impian masing-masing. Namun, malam semakin larut, dan Elisabeth mulai melihat jam di pergelangan tangannya.

“I think I should go back to the hotel now,” kata Elisabeth sambil tersenyum dan mengangguk, sedikit ragu.

Rafi melihat jam tangannya juga, menyadari bahwa sudah cukup lama mereka duduk bersama. Meskipun ada rasa ingin terus ngobrol, ia tahu bahwa Elisabeth perlu istirahat. Rafi pun mengetik di ponselnya:

"Remember the road or not?"

Elisabeth membaca pesan itu, lalu tertawa kecil. "Hmm, I remember the road, but I’m not so sure if I can find my way back alone."

Rafi tersenyum, merasa sedikit lega bahwa Elisabeth masih mengingat jalan. “I can walk you back,” jawabnya, mengetik dengan cepat. "It's no trouble."

Elisabeth menatapnya dengan senyum hangat. "Are you sure? I don’t want to bother you."

Rafi mengangguk sambil menunjukkan senyum. "It’s not a bother, I’ll be happy to walk you back."

Setelah memanggil pelayan untuk membayar tagihan, mereka berdua berdiri dan berjalan keluar restoran. Rafi dan Elisabeth melangkah beriringan, meskipun langkah mereka sedikit canggung, ada ketenangan di antara mereka. Mereka tak perlu banyak bicara lagi, cukup dengan kehadiran masing-masing yang saling melengkapi.

Sambil berjalan, Elisabeth bertanya lagi dengan nada penasaran, "So, Rafi... do you miss home? Your family?"

Rafi melirik Elisabeth, berpikir sejenak. Ia mengetik di ponselnya, "I miss my family. But I want to learn more here, learn about other cultures too."

Elisabeth mengangguk mengerti. "I understand. I feel the same when I travel. It’s hard sometimes, but also so rewarding."

Mereka melanjutkan perjalanan, tanpa terburu-buru. Rafi merasa nyaman dengan percakapan yang ringan ini. Meski tidak banyak kata yang diucapkan, tapi ada rasa kedekatan yang tumbuh seiring waktu. Sesampainya di depan hotel, Rafi mengangguk pelan.

"Here we are," ucap Rafi dengan senyum lembut.

Elisabeth tersenyum kembali. "Thank you, Rafi. I had a really nice time tonight."

Rafi mengetik di ponselnya, "Me too. I’m glad we met."

"Good night, Rafi," Elisabeth berkata sambil melambaikan tangan. "See you soon?"

Rafi tersenyum, mengetik dengan cepat, "See you soon."

Dengan itu, Elisabeth melangkah masuk ke hotel, sementara Rafi berdiri beberapa detik, menatap pintu yang tertutup. Hatinya merasa ringan, namun juga penuh dengan rasa ingin tahu tentang apa yang akan terjadi selanjutnya. Langkah pertama telah diambil, dan kini ia tahu, pertemuan ini bukanlah yang terakhir.

Setelah Elisabeth masuk ke hotel dan pintu tertutup, Rafi menarik napas pelan. Senyum tipis masih tersisa di wajahnya. Ia menunduk, membuka aplikasi ojek online di ponselnya, lalu mulai memesan perjalanan pulang menuju kost-nya.

Sambil menunggu driver datang, ia berdiri di tepi trotoar, memandangi jalanan Banda Aceh yang mulai sepi. Lampu-lampu jalan menyala redup, dan suara motor yang melintas sesekali terdengar memecah keheningan malam. Rafi membuka galeri ponselnya, melihat foto Masjid Raya Baiturrahman yang ia ambil tadi sore, lalu tanpa sadar tersenyum sendiri.

Beberapa menit kemudian, sebuah motor berhenti di dekatnya.

“Rafi?” tanya sang driver sambil membuka helm.

Rafi mengangguk. “Iya, Bang.”

“Langsung ke kost ya?”

“Iya, Bang.”

Ia mengenakan helm dan naik ke motor. Selama perjalanan, pikirannya tak berhenti memutar ulang percakapan dengan Elisabeth. Meskipun terbata-bata dan canggung, tapi malam itu terasa berbeda. Ada sesuatu yang tumbuh perlahan, di luar rencana dan dugaan.

Angin malam menyapa wajahnya saat motor melaju. Dalam hati, Rafi tersenyum. Ia tak tahu ke mana arah semua ini akan bermuara, tapi satu hal pasti—ia siap menjalaninya, langkah demi langkah.

Begitu sampai di depan kost, Rafi segera turun dari motor dan mengucapkan terima kasih kepada driver ojol.

“Terima kasih, Bang,” katanya sambil menyerahkan uang dan sedikit senyum.

“Sama-sama, dek. Hati-hati ya,” jawab driver itu sebelum melaju pergi.

Rafi menarik napas, lalu berjalan masuk ke dalam bangunan kost yang sederhana tapi nyaman itu. Lampu-lampu lorong menyala temaram, dan suasana sudah cukup sepi karena sebagian penghuni mungkin sudah tidur atau sibuk di kamar masing-masing.

Begitu membuka pintu kamarnya, ia melihat Farhan sedang duduk di atas kasur sambil nyemil kacang dan memainkan ponselnya.

“Lama banget, Fi,” kata Farhan sambil melirik ke arah pintu. “Tadi sempet liat kamu ngobrol lagi sama si bule itu ya?”

Rafi hanya nyengir sambil melepas peci dan menggantungkan baju koko-nya.

“Iya… dia pengen belajar Bahasa Indonesia, jadi ngajak ketemu lagi.”

Farhan menaikkan alis. “Wih, mantap. Udah mulai deket, nih?”

Rafi duduk di kasur sambil menghela napas. “Belum, Han. Aku aja masih pake aplikasi buat ngobrol. Setiap ngobrol rasanya kayak... mikir dua kali lipat.”

Farhan tertawa kecil. “Tapi seru kan? Siapa tahu ini jadi jalan Allah ngenalin kamu sama dunia baru.”

Rafi hanya tersenyum tipis, menatap langit-langit kamar. “Iya... dunia baru yang nggak pernah aku bayangin sebelumnya.”

Farhan menepuk pundaknya pelan. “Istirahat, Fi. Siapa tahu besok makin banyak kejutan.”

Rafi mengangguk, lalu rebahan di kasurnya. Dalam hening malam itu, ia merasa ada sesuatu yang sedang berubah dalam hidupnya—sesuatu yang belum sepenuhnya bisa ia mengerti... tapi terasa hangat di dalam dada.

Jam dinding menunjukkan pukul 00.47 saat Rafi membuka matanya. Ia sudah berusaha memejamkan mata sejak sejam lalu, tapi pikirannya justru makin riuh. Ia bangkit perlahan dari kasur, berusaha tak membangunkan Farhan yang sudah terlelap.

Langkah pelan membawanya ke dapur kecil di ujung lorong kost. Lampu remang menyinari rak piring dan termos air panas yang masih hangat. Rafi membuka tutupnya, mengambil satu sachet kopi hitam dari laci, dan menyeduhnya dalam gelas bening favoritnya.

Aroma kopi hitam segera memenuhi ruangan, kuat dan sedikit pahit—persis seperti pikirannya malam itu.

Ia duduk di kursi plastik, menatap gelas kopi yang mengepul. Sesekali ia mengaduk perlahan, lalu menyeruputnya dalam diam.

Pikirannya melayang.

Tentang Elisabeth.

Tentang bagaimana semua ini bisa saja jadi rumit. Ia ingat tatapan mata biru itu, suara tawanya yang ringan, dan cara dia mengucapkan “sulit” dengan logat lucu. Tapi di balik itu semua, Rafi tahu betul: mereka dari dua dunia yang sangat berbeda.

Lalu suara hati ibunya tiba-tiba terngiang…

"Rafi, hidup ini pendek. Waktu itu nggak bisa diulang. Jangan buang waktu buat hal-hal yang nggak bawa kamu ke arah kebaikan."

Rafi menunduk. Hatinya berdebat sendiri. Apa ini ‘nggak penting’? Atau justru ini bagian dari rencana yang lebih besar?

Ia menghela napas panjang, menatap sisa kopi di gelasnya. Masih ada yang hangat... seperti harapannya yang belum padam sepenuhnya. Tapi ia tahu, ia harus berpikir jernih. Perasaan bisa tumbuh kapan saja, tapi arah hidup harus tetap jelas.

“Ya Allah... tuntun aku,” bisiknya lirih, hampir tak terdengar.

Malam makin sunyi, tapi di dalam dada Rafi, riuh tak kunjung reda.

Setelah menuntaskan gelas kopinya, Rafi kembali ke kamar. Ia rebahkan tubuhnya, mencoba mengistirahatkan pikiran walau hanya sebentar. Dan entah kenapa, meski gelisah, matanya terpejam juga—hanya sekitar tiga menit, cukup untuk mengumpulkan sedikit tenaga.

Begitu membuka mata, ia merasa ada dorongan kuat dari dalam dadanya. Tanpa ragu, Rafi bangkit. Ia mengambil air wudhu, lalu menggelar sajadah di pojok kamar, tempat biasanya ia menunaikan salat malam.

Langkahnya pelan namun mantap.

Dalam sunyi yang sakral, Rafi berdiri. Ia mulai salat tahajud dengan suara lirih, menyebut nama Allah dengan penuh khusyuk. Hatinya terenyuh, karena ini bukan cuma soal perasaan yang tumbuh, tapi juga soal tujuan, keyakinan, dan arah hidup.

Saat sujud terakhir, Rafi berdoa lebih lama dari biasanya. Suaranya bergetar.

"Ya Allah, Engkau tahu isi hatiku... Jika ini baik untukku, dekatkanlah. Tapi jika ini bisa menjauhkan aku dari-Mu, maka kuatkan hatiku untuk melepaskannya. Tuntun aku di jalan yang benar, jangan biarkan aku salah langkah... Jangan biarkan aku buang-buang waktu untuk sesuatu yang hanya sesaat."

Air matanya jatuh, membasahi sajadah.

Malam itu, Rafi tak hanya bicara pada Tuhannya, tapi juga pada dirinya sendiri. Ia tahu, ada perjalanan panjang di depan, dan ia tak ingin melangkah tanpa arah.

Setelah menuntaskan doa panjangnya, Rafi mengusap wajahnya dengan tangan gemetar. Ada rasa lega, seolah beban di dadanya sedikit terangkat. Ia melipat sajadah dengan hati-hati, lalu kembali ke kamarnya.

Udara malam masih sejuk, lampu temaram menyorot lembut sudut-sudut kamar kos yang sederhana itu. Rafi menarik selimut, merebahkan tubuhnya perlahan. Kali ini, pikirannya lebih tenang, hatinya lebih damai.

Dengan bisikan istighfar yang lirih, matanya mulai terpejam. Ia tahu, hari esok akan penuh kemungkinan. Tapi malam itu, ia serahkan semua pada Allah—dan tidur dengan hati yang pasrah serta penuh harap.