Antara Hati dan Prinsip

Keesokan harinya, cahaya matahari menyelinap lewat celah jendela kamarnya. Rafi terbangun saat suara adzan Subuh berkumandang dari Masjid Raya Baiturrahman, menggema tenang menyapa kota yang baru saja bangun dari lelap.

Ia duduk di atas kasur, mengusap wajah, lalu tersenyum tipis. Ada semangat baru yang tumbuh dalam dirinya, meski bayangan wajah Elisabeth sempat terlintas lagi dalam pikiran. Tapi ia cepat menepisnya—karena Subuh bukan waktu untuk melamun, melainkan untuk bersyukur.

Setelah berwudhu, Rafi mengenakan baju koko putih dan sarung favoritnya. Ia berjalan pelan menuju masjid yang sudah mulai ramai oleh jamaah. Angin pagi mengusap pipinya, membawa aroma laut dan ketenangan yang khas dari Banda Aceh.

Sesampainya di masjid, ia salat Subuh berjamaah. Hatinya khusyuk, dan pikirannya jernih.

Usai salat, ia duduk sebentar di serambi masjid, memandangi langit yang perlahan berubah warna dari kelabu ke jingga keemasan. Dalam diam, ia berkata dalam hati: "Hari ini... aku akan jalani dengan tenang, dengan niat baik. Apa pun yang terjadi, aku serahkan pada Allah."

Hari itu baru dimulai, dan siapa sangka apa yang akan dibawa waktu. Tapi Rafi siap. Lebih siap dari hari sebelumnya.

Setelah duduk beberapa saat di serambi masjid, Rafi melihat Farhan melambaikan tangan dari arah pojok masjid. “Raf! Yuk, pengajian udah mau mulai!” bisiknya pelan.

Rafi segera berdiri dan bergabung. Bersama beberapa santri dan warga sekitar, mereka duduk melingkar di ruang belakang masjid. Seorang ustaz muda mulai mengisi kajian pagi itu—tema hari ini tentang keikhlasan dalam berbuat baik dan pentingnya menjaga waktu.

Rafi mendengarkan dengan saksama, sesekali mencatat di buku kecilnya. Setiap kalimat yang keluar dari ustaz itu seolah menyentil hatinya, terutama ketika dibahas soal menata niat dan jangan menyia-nyiakan usia muda.

“Waktu nggak bisa diulang. Apa yang kita tanam sekarang, itulah yang akan tumbuh dan kita tuai nanti,” kata sang ustaz. Kalimat itu mengingatkannya pada pesan orang tuanya semalam—tentang jangan buang-buang waktu untuk hal yang nggak penting.

Selesai pengajian, Rafi tak langsung pulang ke kos. Ia memilih duduk sebentar di pojokan masjid, membuka kitab kecil dan mulai belajar sendiri. Ia mengulang pelajaran bahasa Arab dasar, menulis beberapa kosakata di bukunya, mencoba memahami maknanya. Ia ingin lebih dalam memahami agama, bukan cuma sekadar ritual, tapi juga ruh dan nilainya.

Jam menunjukkan pukul 8 pagi. Matahari mulai menghangatkan kota. Rafi pun membereskan bukunya, bersiap kembali ke kos untuk sarapan dan memulai hari.

Rafi memutuskan untuk sarapan di restoran yang kemarin—tempat pertama kali ia bertemu Elisabeth. Ada rasa penasaran yang aneh, seolah ada sesuatu yang menariknya kembali ke sana. Mungkin sekadar kenyamanan suasana, atau mungkin karena kenangan singkat yang belum bisa hilang dari pikirannya.

Setibanya di restoran, ia duduk di tempat yang sama, dekat jendela, menghadap ke jalan. Pelayan yang kemarin menyapanya ramah, “Pagi, Bang Rafi. Seperti biasa?”

Rafi tersenyum. “Iya, nasi goreng sama teh tarik, ya.”

Sambil menunggu makanannya datang, Rafi membuka buku catatan kecilnya. Ia menuliskan beberapa target harian—belajar satu bab kitab fiqih, hafal lima kosa kata Arab, dan belajar sepuluh kalimat Bahasa Inggris. Ia juga membuka aplikasi penerjemah dan mulai mengetik kalimat-kalimat sederhana, berusaha menyusun ulang percakapan yang bisa ia pakai kalau nanti bertemu Elisabeth lagi.

Beberapa menit kemudian, makanannya datang. Ia menyantap nasi goreng hangat sambil memandangi jalanan kota Banda Aceh yang mulai ramai. Suara motor, langkah kaki, dan sesekali bunyi azan dari masjid kecil di seberang jalan, semua terasa damai.

Namun jauh di dalam hati, ada perasaan yang belum selesai. Sebuah rasa penasaran… apakah ia akan bertemu Elisabeth lagi hari ini?

Rafi melanjutkan sarapannya dengan tenang, tapi tiba-tiba pandangannya tertumbuk pada sosok yang tak asing. Dari kejauhan, Elisabeth terlihat sedang jogging di sisi jalan. Ia mengenakan tank top dan celana pendek olahraga—pakaian yang biasa saja di negaranya, tapi jelas mencolok di Banda Aceh yang ketat dalam aturan berpakaian.

Rafi langsung tersedak kecil. Ia buru-buru menaruh sendok, berdiri, dan berjalan keluar restoran. Ia menyeberang jalan cepat, menghampiri Elisabeth yang baru menyadari keberadaannya.

“Elisa!” panggilnya.

Elisabeth menghentikan langkah. “Rafi! Good morning!”

Rafi tersenyum canggung, lalu buru-buru mengeluarkan ponsel dan membuka aplikasi penerjemah. Ia mengetik cepat sambil mencoba menyusun kalimat yang tidak menyinggung, tapi tetap jujur.

Layar ponsel berbalik, menampilkan terjemahan:

"Sorry, in Aceh, it's not allowed to wear clothes that are too open. It's better to wear long sleeves and pants. Just to keep you safe and respect the local culture."

Elisabeth membaca pesan itu, lalu menatap Rafi dengan mata yang membulat, agak terkejut tapi tidak tersinggung. Ia mengangguk pelan.

“Oh… I didn’t know. I’m sorry,” katanya lirih. “I’ll go change.”

Rafi mengangguk dengan senyum ramah. Ia mengetik lagi:

"No problem. I just want to help. You're my friend."

Elisabeth membalas dengan senyum hangat. “Thank you, Rafi. You’re a good friend.”

Setelah itu, Elisabeth segera kembali ke hotel untuk berganti pakaian. Sementara Rafi kembali ke meja restorannya, hatinya sedikit tenang. Ia tahu, kejujuran kadang tidak mudah, tapi kadang itu bentuk kepedulian paling tulus.

Enam menit kemudian, Elisabeth keluar dari hotel mengenakan pakaian yang lebih tertutup—kaos lengan panjang berwarna abu-abu dan celana panjang hitam. Meski sederhana, ia tetap terlihat anggun. Rambut pirangnya kini diikat lebih rapi, dan ia melangkah pelan ke arah restoran dengan senyum malu-malu.

Rafi yang masih duduk di mejanya melihatnya dari kejauhan. Seketika, senyum tipis muncul di wajahnya. Ia berdiri perlahan, lalu saat Elisabeth mendekat, ia menatap dengan kagum dan tanpa sadar mengucap, pelan namun jelas,

“Masyaallah…”

Elisabeth berhenti di hadapannya, tersenyum bingung. “What does that mean?” tanyanya sambil menunjuk dadanya sendiri, seolah bertanya apakah penampilannya sudah lebih baik.

Rafi kembali meraih ponsel dan mengetik:

"It means... something beautiful. You look... respectful and beautiful."

Elisabeth membaca, lalu tersenyum lebar. Pipi pucatnya bersemu merah. “Thank you, Rafi. I try… to respect.”

Rafi mengangguk, lalu mempersilakannya duduk. Obrolan mereka kembali mengalir, masih dibantu ponsel, tapi kini dengan kehangatan yang lebih nyata—karena mereka sama-sama berusaha memahami satu sama lain.

Mereka duduk berhadapan di meja kecil dekat jendela. Sarapan sederhana sudah tersaji—nasi goreng untuk Rafi, roti panggang dan teh hangat untuk Elisabeth. Suasana restoran masih sepi, hanya ada suara sendok beradu pelan dan angin yang sesekali masuk dari jendela terbuka.

Sambil menyuap nasi, Rafi sesekali menatap Elisabeth, lalu kembali menunduk, mengetik sesuatu di ponselnya untuk menjawab pertanyaannya tadi tentang budaya berpakaian di Aceh. Setelah membaca, Elisabeth mengangguk pelan, tampak benar-benar menghargai penjelasannya.

Beberapa menit berlalu dalam suasana nyaman, hingga tiba-tiba Elisabeth menatap Rafi sambil tersenyum nakal dan bertanya,

“When did you teach me Bahasa?”

Rafi sedikit tersedak karena tidak menyangka pertanyaan itu, lalu buru-buru minum air putih. Dengan malu-malu, ia mengetik di ponsel:

"Maybe… today? If you want…"

Lalu menunjukkan layar ke Elisabeth.

Elisabeth tertawa pelan, lalu mengangguk cepat. “Yes, today. You teach me. And I teach you… English?”

Rafi tersenyum makin lebar. “Deal,” katanya pelan.

Elisabeth lalu menunjuk ke sendok dan berkata, “Sendok?”

Rafi mengangguk. “Yes, sendok.”

Lalu dia menunjuk ke gelas. “Glass?”

Rafi menggeleng. “Gelas.”

Elisabeth mencoba mengucapkan, “Geh…las?”

“Bagus,” kata Rafi sambil tersenyum bangga.

Tiba-tiba Elisabeth menunjuk dirinya sendiri. “Saya?”

Rafi tertawa. “Yes. Saya Elisabeth.”

Elisabeth tertawa juga. “Saya Elisabeth. Kamu Rafi.”

Dan begitu, obrolan mereka bergulir jadi pelajaran bahasa kecil yang hangat dan penuh tawa.

Setelah beberapa menit tertawa dan bertukar kata, suasana makin cair. Rafi duduk bersandar santai, sementara Elisabeth mencondongkan tubuh sedikit ke depan, penuh antusias.

Rafi menunjuk pisang di meja.

“Kamu tahu ini apa?”

Elisabeth tersenyum, “Banana?”

Rafi mengangguk, “Iya, tapi dalam bahasa Indonesia...?”

“Pisang?”

“Bagus!” Rafi memberi jempol.

Lalu menunjuk teh hangatnya.

“Ini...?”

Elisabeth berpikir sejenak, “Teh?”

“Pinter,” kata Rafi sambil tersenyum lebar. “Sekarang kamu coba kalimat.”

Ia mengetik di HP-nya, lalu menunjukkan ke Elisabeth:

“Saya minum teh.”

Elisabeth mengikutinya, agak kaku, “Saya... mi-num teh.”

Rafi bertepuk tangan kecil. “Perfect!”

Giliran Elisabeth yang ambil alih. Dia menatap Rafi serius.

“Now... my turn.”

Rafi mengangguk siap.

Elisabeth menunjuk gelas. “This is a glass. Not just 'gelas'. You must say: This is a glass.”

Rafi mencoba menirukan. “Dis is... e gelas?”

Elisabeth menahan tawa. “Glass. Not 'gelas'. Guh...lass.”

“Glass,” kata Rafi, agak lebih jelas.

“Good! Now say: I drink tea.”

Rafi berpikir. “I drink teh?”

Elisabeth ketawa pelan. “Yes, but not 'teh'. 'Tea'... tiii.”

Rafi ikut tertawa. “Okay, okay... I drink... tiii.”

Keduanya tertawa bersama. Restoran yang tadinya terasa sunyi, sekarang dipenuhi suara canda ringan mereka. Meski beda bahasa, pelan-pelan mereka saling memahami.

Elisabeth tersenyum lebar, senang melihat Rafi yang semangat belajar. “Okay, Rafi. Now I teach you more English,” katanya sambil menatap Rafi dengan penuh perhatian.

Rafi mengangguk, matanya berbinar, siap menerima pelajaran baru.

Elisabeth mengambil napas, lalu mulai dengan kata yang lebih kompleks. “First, let’s try something simple. I am hungry.”

Rafi menirukan pelan, “I am hungry…”

“Good!” Elisabeth berkata. “Now you try: I am happy.”

Rafi mengerutkan kening sebentar, mencoba mengingat. “I am happy,” katanya, kali ini lebih percaya diri.

“Great!” Elisabeth memberi jempol. “Now, let’s make it more fun. I like coffee. Can you say that?”

Rafi tersenyum. “I like coffee?”

“Yes, exactly! Now, I like bananas. Can you say that?”

Rafi tertawa pelan. “I like bananas... huh... bananas?”

Elisabeth tertawa bersama, “Yes! You got it right!”

Setelah beberapa kalimat, Elisabeth mengajarkan Rafi kalimat-kalimat dasar yang lebih panjang. “Okay, next one. Where are you from?”

Rafi mengangguk, berpikir keras. “Where... are you... from?”

“Yes!” Elisabeth mengangguk penuh semangat. “And now, you answer: I am from Yogyakarta. Can you say that?”

“I am from... Yogyakarta,” jawab Rafi dengan pelan, mencoba menuturkan kata-kata itu dengan lebih jelas.

“Good job, Rafi!” Elisabeth tersenyum lebar, bangga. “You’re learning fast.”

Rafi merasa senang dengan kemajuannya, meskipun belum sempurna. Ia tersenyum malu-malu dan bertanya, “How... do you say... ‘terima kasih’ in English?”

Elisabeth tersenyum, “Thank you.”

Rafi mengangguk. “Thank you, Elisabeth.”

Sambil tertawa, Elisabeth kembali memulai sesi baru, mengajarkan lebih banyak kosakata dan kalimat sederhana. “Okay, now we try: I love learning languages.”

“I love... learning... languages,” kata Rafi, berusaha melafalkan setiap kata dengan benar.

Elisabeth sangat senang melihatnya berusaha. “You’re doing amazing, Rafi!”

Mereka tertawa bersama, suasana menjadi semakin nyaman. Pelajaran bahasa pun berubah menjadi lebih menyenangkan.

Setelah beberapa lama, Elisabeth berhenti sejenak, lalu bertanya, “Do you like learning English, Rafi?”

Rafi tersenyum malu, “Yes, I like... it’s... fun.”

Elisabeth tertawa, puas melihat semangat Rafi. “Great! We should do this more often.”

Mereka pun melanjutkan obrolan ringan mereka, yang semakin lancar seiring dengan bertambahnya waktu.

Elisabeth tersenyum, senang melihat kemajuan Rafi. “Okay, let’s try a little challenge,” katanya sambil menaikkan alis. “Can you say, What is your favorite food?”

Rafi berpikir sejenak, menatap Elisabeth yang sedang menunggu. “What... is your... fa-vor-ite... food?”

Elisabeth tertawa ringan. “Not bad! Now, the answer: My favorite food is nasi goreng. Can you say that?”

Rafi mencoba, “My favorite food is... nasi goreng?”

Elisabeth mengangguk dengan senyum puas. “Perfect! Now we’re getting somewhere.”

Rafi tersenyum bangga, meskipun ada sedikit rasa malu. “Thanks to you.”

Elisabeth mengangkat bahu. “It’s nothing! You’re a great student, Rafi.”

Setelah beberapa saat belajar, Elisabeth tiba-tiba bertanya dengan penasaran, “So... what do you do when you’re not learning English?”

Rafi berhenti sejenak, berpikir. “I... belajar agama... sholat... kerja juga kadang... saya... punya restoran kecil.”

Elisabeth tersenyum. “That’s amazing. You’re very dedicated.”

Rafi mengangguk. “It’s important... to use time well. My parents always say, Don’t waste time.”

Elisabeth terdiam, mendengarkan kata-kata Rafi. “I like that. I think it’s important, too,” katanya pelan, lalu tersenyum. “You’re very disciplined, Rafi.”

Rafi hanya tersenyum malu, tidak tahu bagaimana harus menjelaskan lebih banyak lagi. “I... try.”

Lalu, Elisabeth dengan ringan melanjutkan, “I think it’s so interesting, you know? The way you balance everything—your faith, your studies, your work.”

Rafi sedikit terkejut mendengar pujian itu. “I try to... keep everything balanced,” jawabnya, agak ragu. “But... not always easy.”

Elisabeth tertawa. “I can imagine. It must be hard sometimes.”

Rafi hanya mengangguk, merenung sejenak. “It’s... hard sometimes, but it makes me... stronger.”

Elisabeth tersenyum lembut, lalu mengubah topik percakapan. “By the way, I’m curious. What is your favorite thing about Aceh?”

Rafi berpikir sejenak. “I think... the people,” jawabnya pelan. “They’re so... kind and welcoming.”

Elisabeth mengangguk, seolah menyetujui. “I’ve noticed that too. Everyone here is so nice.”

Rafi tersenyum. “I’m glad you feel that way. I hope you enjoy your time here.”

Elisabeth tersenyum kembali. “I’m sure I will, thanks to you.”

Percakapan mereka semakin santai, dan keduanya merasa semakin nyaman satu sama lain. Rafi merasa senang bisa berbicara lebih banyak dengan Elisabeth, meskipun terkadang ada kekakuan karena bahasa. Tapi mereka mulai saling memahami, tertawa bersama, dan berbagi banyak hal, menjadikan waktu bersama mereka semakin berharga.

Setelah selesai sarapan, Rafi dan Elisabeth beranjak dari meja. Mereka berjalan beriringan menuju hotel Elisabeth, menyusuri jalan yang mulai ramai dengan aktivitas warga. Matahari sudah semakin tinggi, menandakan bahwa hari sudah memasuki tengah pagi. Suasana di sekitar mereka semakin hidup, dengan pedagang kaki lima yang mulai membuka dagangan, serta orang-orang yang berangkat menuju tempat kerja atau sekolah.

Namun, langkah mereka yang berjalan berdampingan tidak luput dari perhatian banyak orang. Rafi yang biasa dengan pandangan orang-orang di sekitar Aceh, merasa agak canggung. Elisabeth, yang belum terbiasa dengan keramaian seperti itu, tampak sedikit kebingungan, namun ia terus melangkah dengan percaya diri. Beberapa pasang mata menatap mereka, ada yang penasaran, ada yang diam-diam tersenyum.

Rafi menyadari itu dan merasa sedikit risih, terlebih dengan Elisabeth yang masih memakai pakaian yang agak mencolok menurut standar Aceh. Ia merasa harus menjelaskan situasi ini.

"Elisabeth," katanya pelan, "mungkin kita bisa berjalan sedikit lebih cepat, karena banyak yang melihat kita."

Elisabeth yang mendengar kata-kata Rafi, mengangguk, meskipun sedikit bingung. "Oh, I didn’t think about that," ujarnya, dan segera mempercepat langkahnya. “Sorry, I guess I don’t realize it.”

Rafi tersenyum, mengerti. "It’s okay, don’t worry. Just... people here are a little more sensitive about... clothing, especially in public."

Elisabeth mengangguk, mencoba memahami. "I see. I’ll be more careful next time," katanya dengan suara pelan.

Mereka berdua akhirnya tiba di depan hotel, dengan langkah yang lebih cepat dari sebelumnya. Meskipun ada rasa canggung karena perhatian yang mereka terima, keduanya tetap nyaman satu sama lain, bahkan dengan perbedaan yang ada.

Ketika mereka tiba di depan pintu hotel, Elisabeth menoleh pada Rafi. "Thanks for walking me back," katanya tulus. "I appreciate it."

Rafi mengangguk, merasa sedikit lega karena perjalanan mereka akhirnya selesai tanpa ada masalah besar. "No problem, Elisabeth. It’s... no trouble at all," jawabnya dengan senyum tipis.

Elisabeth tersenyum balik. "I’ll see you later, Rafi."

"See you," balas Rafi, sebelum melangkah pergi dengan hati yang terasa sedikit lebih ringan.

Di belakangnya, Elisabeth menatap punggung Rafi sejenak, merasa ada sesuatu yang berbeda dalam hubungan mereka. Seiring langkah kaki Rafi yang semakin menjauh, Elisabeth merasakan bahwa pertemuan mereka ini mungkin hanya awal dari sebuah perjalanan yang lebih panjang.

Rafi berdiri di depan hotel, menunggu ojek online yang sudah dipesannya. Ia memperhatikan sekitar, matanya melirik ke arah jalan yang semakin ramai dengan aktivitas warga Aceh. Angin pagi yang segar berhembus pelan, membuat suasana sedikit lebih nyaman meskipun hiruk pikuk kota mulai terasa.

Tiba-tiba, tanpa sengaja, Rafi menoleh ke belakang. Matanya bertemu dengan mata Elisabeth yang masih berdiri di depan pintu hotel, menatapnya dengan tatapan yang sulit untuk diartikan. Wajah Elisabeth tampak sedikit ragu, seolah ingin mengatakan sesuatu, namun enggan mengucapkannya.

Rafi merasa agak canggung, namun tetap tersenyum dan melambaikan tangan kecil. "Sampai jumpa lagi, Elisabeth," katanya, suaranya terdengar ramah.

Elisabeth mengangguk perlahan, senyum kecil muncul di wajahnya. "See you, Rafi," jawabnya, meskipun ada sedikit keraguan di matanya. Ia tetap menatap punggung Rafi yang mulai beranjak pergi, seolah ada sesuatu yang mengganjal di pikirannya.

Setelah itu, Elisabeth melangkah mundur, masuk ke dalam hotel. Rafi melihat itu sekilas, lalu menunduk ketika ojek online yang dipesannya akhirnya tiba.

Rafi merasa sedikit bingung dengan perasaan yang muncul saat itu. Kenapa ia merasa seperti ada sesuatu yang belum terselesaikan? Sesuatu yang tak terucapkan. Namun, ia tidak terlalu memikirkannya lama-lama. Ia melangkah ke arah ojol yang sudah menunggu, mencoba untuk fokus pada hari yang akan dijalaninya.

Namun, satu hal yang jelas, hubungan mereka semakin terasa berbeda dari sebelumnya. Sesuatu yang lebih dari sekadar pertemuan biasa. Rafi pun tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, tetapi ia merasa bahwa hari-hari berikutnya akan membawa perubahan besar.

Setelah beberapa menit menunggu, ojek online yang dipesan akhirnya tiba. Rafi mengucapkan terima kasih pada pengemudi ojol tersebut, kemudian masuk ke dalam kendaraan dan duduk dengan tenang. Sepanjang perjalanan kembali ke kost, pikirannya berkelana, mengingat percakapan yang baru saja terjadi dengan Elisabeth. Ia merasa ada sesuatu yang berbeda, meskipun hanya sedikit. Ada perasaan yang sulit dijelaskan, semacam kerinduan yang belum terbentuk, namun hadir begitu saja.

Sesampainya di kost, Rafi segera turun dari ojol dan mengucapkan terima kasih lagi. Ia memasuki pintu kost dengan langkah tenang, menyalakan lampu dan melepas sepatu di depan pintu. Ruang kost yang sederhana itu terasa lebih sunyi dari biasanya. Farhan, sahabat sekostnya, sedang duduk di meja sambil membaca buku.

Rafi menyapa dengan singkat, "Farhan, aku mau sholat dulu."

Farhan hanya mengangguk, tak banyak bertanya, karena sudah terbiasa dengan rutinitas Rafi yang selalu mengutamakan ibadah. Rafi pun segera menuju ke kamar mandi untuk berwudhu, menenangkan diri sebelum melaksanakan sholat. Hatinya terasa agak gelisah, namun ia berusaha untuk fokus pada tujuannya, beribadah dengan khusyuk.

Setelah wudhu, Rafi kembali ke ruangannya, mengambil sajadah dan berdoa sejenak sebelum memulai sholat. Ia menghadap ke arah kiblat, meluruskan niat dalam hatinya. Sholat tahajud yang ia lakukan malam sebelumnya masih terngiang di pikirannya, dan kali ini ia memohon agar diberi petunjuk dalam segala hal, terutama mengenai perasaan yang mulai muncul terhadap Elisabeth.

"Ya Allah, tuntunlah aku," doanya dalam hati, berharap mendapatkan jalan yang terbaik. "Berikanlah aku kekuatan untuk menjalani segala hal dengan sabar dan ikhlas."

Setelah menyelesaikan sholat, Rafi duduk sejenak, menenangkan pikirannya. Ia merasa lebih tenang, meski perasaan itu masih ada—perasaan yang muncul setelah pertemuan dengan Elisabeth. Ia tahu hidupnya tak akan pernah sama setelah ini, tetapi untuk saat ini, ia hanya ingin mengikuti alur takdir dan terus berusaha menjadi pribadi yang lebih baik.

Akhirnya, setelah beberapa saat, Rafi berdiri dan keluar dari kamar untuk bersiap menjalani hari yang baru.

Setelah selesai dengan sholat dan sedikit menenangkan pikirannya, Rafi keluar dari kamarnya. Farhan masih duduk di meja yang sama, tetapi kali ini terlihat lebih santai, seolah sudah menunggu percakapan. Rafi mendekat, lalu duduk di kursi samping Farhan.

"Farhan," ucap Rafi, memecah keheningan, "aku mau ajak kamu keluar sebentar. Ada yang perlu aku ceritakan."

Farhan mengangkat alis, lalu meletakkan bukunya dan menatap Rafi dengan serius. "Kamu kelihatan agak gelisah. Ada apa, Raf?"

Rafi menarik napas panjang, mencoba mencari kata-kata yang tepat. "Aku baru ketemu seseorang kemarin... Seorang turis dari Denmark."

Farhan mengangguk, masih terlihat penasaran. "Oke, terus? Ada apa dengan dia?"

Rafi ragu sejenak, lalu melanjutkan, "Namanya Elisabeth. Dia... berbeda, Farhan. Kami cuma ngobrol biasa, tapi aku merasa ada sesuatu yang... nggak bisa aku jelasin. Aku sempat ngajarin dia bahasa Indonesia, dan dia ngajarin aku bahasa Inggris. Kami jalan bareng tadi pagi, dan... aku merasa ada hubungan yang mulai terjalin."

Farhan tersenyum sedikit. "Jadi, kamu suka sama dia?"

Rafi terdiam sejenak. "Mungkin. Tapi aku nggak tahu pasti, Farhan. Dia... bule, dari luar, jauh banget dari kehidupan yang aku jalani. Aku masih bingung, banyak hal yang nggak bisa aku jelasin."

Farhan meletakkan tangan di bahu Rafi, mencoba memberi dukungan. "Raf, kita gak bisa menahan perasaan. Kalau kamu merasa ada sesuatu, ya sudah jalani aja. Yang penting jangan lupa dengan prinsip kamu. Aku tahu kamu punya banyak nilai yang harus dijaga, tapi itu nggak berarti kamu nggak bisa berhubungan dengan seseorang dari latar belakang yang berbeda."

Rafi menunduk, merenung sejenak. "Aku ngerti, Farhan. Tapi aku juga nggak mau terjebak dalam sesuatu yang bisa bikin aku jauh dari apa yang aku percayai."

Farhan mengangguk. "Kamu yang terbaik buat diri kamu, Raf. Jangan sampai kamu kehilangan dirimu sendiri hanya karena seseorang. Tapi kalau kamu merasa ini jalan yang harus ditempuh, aku akan selalu ada untuk mendukung."

Rafi mengangguk, merasa sedikit lebih lega setelah percakapan itu. "Thanks, Farhan. Aku cuma butuh waktu buat berpikir lebih jelas."

Farhan tersenyum. "Kalau kamu butuh waktu, ambil aja. Kita semua punya jalan masing-masing. Tapi jangan lupa untuk jadi dirimu sendiri."

"Ya," jawab Rafi dengan sedikit senyum, merasa lebih tenang. "Yuk, kita keluar aja. Aku pengen cari udara segar."

Farhan bangkit dari tempat duduknya, mempersiapkan diri. "Ayo, kita jalan. Dunia ini terlalu besar buat dipikirin sendirian."

Mereka pun berdua keluar dari kost, berjalan menuju jalanan yang masih sepi. Rafi merasa sedikit lebih ringan, meskipun hatinya masih dipenuhi pertanyaan tentang Elisabeth dan perasaan yang sulit dijelaskan. Namun, satu hal yang pasti, ia tahu dirinya harus tetap menjaga prinsip hidupnya, apapun yang terjadi.

Mereka berjalan menyusuri trotoar yang tenang, melewati beberapa rumah dan warung kecil yang masih tutup. Angin sore yang sejuk memberi sedikit kenyamanan, mengusir ketegangan yang masih ada di pikiran Rafi.

Farhan mulai membuka percakapan, mencoba mengalihkan perhatian Rafi. "Raf, kalau kamu nggak keberatan, aku mau tanya... tentang pengajian kemarin."

Rafi menoleh ke Farhan. "Pengajian kemarin? Kenapa, Farhan?"

Farhan menatap Rafi dengan serius. "Aku lihat kamu agak serius di sana. Seperti ada yang mengganggu pikiranmu. Apa itu soal Elisabeth?"

Rafi terdiam. Tidak mudah bagi Rafi untuk berbicara tentang perasaannya, apalagi soal hubungan yang masih sangat baru dan penuh ketidakpastian. Namun, melihat Farhan yang seperti sudah tahu, Rafi memutuskan untuk jujur.

"Aku cuma merasa bingung, Farhan. Elisabeth itu... dia datang dari dunia yang berbeda. Aku nggak pernah membayangkan bisa punya hubungan dengan seseorang yang punya latar belakang beda jauh sama aku," kata Rafi, sedikit terbata-bata.

Farhan mengangguk, menunjukkan bahwa ia mengerti. "Aku paham. Tapi Rafi, perbedaan itu nggak selamanya harus jadi penghalang. Yang lebih penting itu bagaimana kita menjalani hubungan, bukan dari mana kita berasal atau apa latar belakang kita."

Rafi menunduk, mencoba mencerna kata-kata Farhan. "Aku nggak tahu, Farhan. Aku cuma takut kalau ini mengganggu prinsip hidup aku. Aku nggak mau kehilangan arah karena sesuatu yang nggak pasti."

Farhan menepuk bahu Rafi. "Kamu nggak akan kehilangan arah, Raf. Justru dengan mengenal orang yang berbeda, kamu bisa lebih mengenal dirimu sendiri. Tapi jangan sampai prinsip kamu hilang karena perasaan. Kamu harus tetap setia pada diri sendiri."

Rafi merenung, merasa sedikit lebih tenang. Farhan memang selalu bisa membuatnya melihat segala sesuatu dengan perspektif yang berbeda. "Aku harus hati-hati. Tapi kadang aku merasa, entah kenapa, Elisabeth itu... beda dari yang lain."

Farhan tersenyum tipis. "Cinta itu memang kadang sulit dimengerti. Tapi selama kamu tetap bisa menjaga diri, aku yakin kamu bisa mengambil keputusan yang tepat."

Mereka berhenti di sebuah taman kecil, duduk di bangku yang terletak di bawah pohon rindang. Udara semakin sejuk, dan langit mulai menggelap, menandakan malam yang akan segera tiba.

"Terima kasih, Farhan," kata Rafi pelan. "Kamu benar-benar sahabat yang baik."

Farhan tersenyum. "Sama-sama, Raf. Aku akan selalu ada buat kamu. Cinta itu bukan hanya soal hati, tapi juga soal keputusan yang kita buat. Jadi, kamu harus yakin dengan keputusanmu."

Mereka terdiam sejenak, menikmati kedamaian sore itu. Rafi merasa sedikit lebih ringan setelah berbicara dengan Farhan. Terkadang, seseorang yang memahami kita dengan baik bisa membantu menenangkan hati yang sedang dilanda kebingungan.

Rafi tahu, meskipun perjalanan ini penuh ketidakpastian, ia harus tetap berjalan dengan hati yang terbuka, sambil menjaga prinsip hidup yang selalu diajarkan oleh orang tuanya. Dalam hatinya, ia yakin bahwa setiap langkah yang diambil akan membawa ke arah yang lebih jelas, meskipun kadang itu berarti harus melalui jalan yang penuh dengan pertanyaan.

"Yuk, Raf. Kita balik ke kost. Besok kan pengajian lagi," ajak Farhan, menggulirkan obrolan mereka ke topik lain.

Rafi mengangguk, dan mereka pun mulai berjalan kembali ke kost, namun kali ini dengan hati yang sedikit lebih tenang.

Sesampainya di kost, suasana masih sepi. Beberapa anak kost lain tampak sedang di kamar masing-masing, sebagian sedang bersantai di ruang tengah sambil nonton TV. Rafi dan Farhan langsung masuk ke kamar mereka.

Rafi meletakkan tas kecilnya di sudut kamar, lalu duduk di lantai sambil menyandarkan punggung ke dinding. Farhan ikut duduk di seberangnya sambil memainkan HP-nya sebentar.

"Kamu kelihatan capek banget, Raf," kata Farhan, sambil tersenyum santai.

Rafi mengangguk pelan. "Iya, capek pikiran sih lebih tepatnya."

Farhan tertawa kecil. "Pikiran kamu tuh kayaknya udah penuh banget sama Elisabeth."

Rafi ikut tertawa kecil, meski wajahnya tetap serius. "Mungkin. Tapi ya itu... aku takut kalau perasaanku ini malah bikin aku jadi jauh dari tujuan hidupku. Aku ke sini kan bukan buat itu, Farhan."

Farhan mengangguk, lalu menatap Rafi dengan penuh keyakinan. "Justru karena kamu tahu tujuanmu, kamu bisa nentuin batasnya. Kamu cuma perlu lebih percaya sama dirimu sendiri."

Rafi menarik napas panjang. "Iya ya... aku cuma harus pastiin semuanya nggak keluar jalur."

Setelah percakapan singkat itu, Rafi memutuskan untuk mandi dan bersih-bersih. Usai mandi, ia duduk lagi di kamarnya, membuka Al-Qur'an kecil yang selalu ia bawa, lalu membaca beberapa ayat. Hatinya terasa lebih damai.

Sore itu, mereka berdua memutuskan untuk tidak ke mana-mana. Rafi hanya menulis beberapa catatan kecil di buku hariannya, sambil sesekali melihat-lihat kamus bahasa Inggris kecil yang dipinjam dari Farhan.

Malam pun datang, dan suara azan Isya berkumandang dari masjid sekitar. Rafi bersiap lagi, kali ini dengan niat untuk lebih fokus. Ia tahu, hidup ini bukan cuma soal perasaan, tapi juga soal prinsip dan perjuangan.

Dan entah kenapa... di hatinya mulai tumbuh tekad baru—jika memang Elisabeth datang sebagai bagian dari takdir, maka ia akan menjalaninya dengan cara yang baik dan benar.

Besok adalah hari baru, dan ia siap menyambutnya.