Alam yang Berubah dan Bisikan yang Menguat

Awalnya, gangguan itu terasa halus, seperti riak kecil yang mengusik permukaan air tenang. Kai, dengan kepekaannya yang mendalam, menjadi yang pertama kali menyadarinya.

Desiran angin di antara pepohonan tidak lagi membawa nyanyian riang, melainkan desahan gelisah. Gemericik air sungai yang biasanya menenangkan kini terdengar seperti bisikan-bisikan ketakutan yang samar.

Beberapa pohon tua di pinggiran hutan keramat, yang selama berabad-abad berdiri kokoh sebagai saksi bisu sejarah pulau, tiba-tiba tumbang tanpa alasan yang jelas. Masyarakat desa mengaitkannya dengan angin kencang atau usia pohon, namun Kai merasakan ada sesuatu yang lain.

Ia merasakan kesakitan dan kemarahan yang terpancar dari sisa-sisa batang pohon yang tumbang, seolah ada ikatan yang terputus secara paksa.

"Ada yang aneh dengan tumbangnya pohon-pohon itu,” gumam Kai seorang diri, meraba kulit kayu yang kasar. "Bukan hanya angin... ada rasa sakit di sini."

Hewan-hewan hutan pun mulai menunjukkan perilaku aneh. Burung-burung yang biasanya berkicau riang menjadi lebih pendiam dan gelisah. Beberapa rusa terlihat berlarian tanpa arah, mata mereka memancarkan ketakutan yang tidak wajar.

Bahkan hewan-hewan buas seperti babi hutan menjadi lebih berani mendekati perkampungan, mencari perlindungan dari sesuatu yang lebih menakutkan di dalam hutan.

"Mereka ketakutan... semua ketakutan,” bisik Kai, mengamati sekawanan rusa yang berlari panik melintasi padang rumput. "Ada apa di hutan sana?"

Bagi Kai, bisikan-bisikan dari roh-roh hutan semakin menguat dan jelas. Mereka menyampaikan rasa takut yang mendalam, gambaran tentang kegelapan yang merayap dari bawah bumi, dan tentang "ular tidur" yang mulai bergerak gelisah.

Kata-kata mereka tidak berbentuk bahasa manusia, melainkan berupa getaran emosi yang kuat, bayangan-bayangan mengerikan, dan insting bahaya yang tak terbantahkan.

"Kegelapan... dari bawah tanah? Ular tidur... bergerak?" bisik Kai, mencoba memahami pesan samar itu. "Apa artinya ini?"

Masyarakat desa mulai merasakan dampaknya secara langsung. Hasil panen berkurang tanpa alasan yang jelas. Beberapa nelayan melaut dan kembali dengan tangkapan yang sedikit, seolah laut pun ikut merasakan kegelisahan yang sama.

"Kenapa ikannya jadi sedikit sekali?" keluh seorang nelayan tua di dermaga. "Seperti ada yang mengusir mereka dari laut."

Malam-malam menjadi lebih sunyi dan mencekam, diisi oleh suara-suara aneh dari arah hutan yang sebelumnya tidak pernah terdengar.

"Suara apa itu? Seperti... raungan,” bisik seorang ibu sambil memeluk anaknya erat di dalam rumah. "Aku tidak suka suara itu."

Malam itu sunyi mencekam di tepi hutan keramat. Bulan sabit menggantung pucat di langit yang dipenuhi bintang-bintang yang tampak berkedip gelisah. Di batas antara perkampungan dan rimbunnya pepohonan, Kai duduk bersila di atas akar pohon beringin yang besar.

Matanya terpejam, dahinya berkerut dalam konsentrasi. Ia berusaha memfokuskan pendengarannya, melampaui suara jangkrik dan desau angin malam, untuk menangkap bisikan-bisikan yang lebih dalam dari hutan.

Malam ini, kegelisahan roh-roh terasa lebih kuat dari sebelumnya. Bukan lagi desahan samar, melainkan rintihan ketakutan yang berulang-ulang. Kai merasakan emosi mereka seperti gelombang yang menghantam batinnya.

Kepedihan atas pohon-pohon yang tumbang, kemarahan atas invasi para penebang kayu, dan ketakutan yang mendalam akan sesuatu yang bangkit dari bawah bumi.

Tiba-tiba, sebuah getaran halus terasa di bawah tanah tempat Kai duduk. Bukan gempa bumi yang kuat, hanya sentakan singkat namun terasa aneh, seolah ada makhluk besar yang bergerak di kedalaman.

Bersamaan dengan itu, suara gemuruh rendah yang selama beberapa malam terakhir hanya terdengar samar-samar, kini terdengar lebih jelas dan mengancam. Suara itu seperti raungan tertahan dari binatang purba yang sangat besar.

Kai membuka matanya dengan terkejut. Bulu kuduknya berdiri. Ia tahu, Sang Penjaga semakin terusik. Ramalan para tetua terngiang di benaknya.

Dari kegelapan hutan, muncul sesosok bayangan. Itu adalah tetua kepala suku, Nenek Ino. Keriput di wajahnya tampak semakin dalam diterpa cahaya bulan. Matanya yang biasanya tenang kini memancarkan kekhawatiran yang besar.

"Kai," sapa Nenek Ino dengan suara serak, "kau merasakan juga?"

Kai mengangguk tanpa berkata-kata. Ia tidak perlu menjelaskan apa yang ia rasakan. Nenek Ino, sebagai salah satu penjaga tradisi tertua, memiliki kepekaan yang lebih tinggi dari penduduk desa lainnya, meskipun tidak sedalam Kai.

"Pertanda itu semakin jelas," lanjut Nenek Ino, mendekat dan duduk di samping Kai.

"Kabut kelabu semakin pekat di pagi hari. Suara gemuruh itu semakin sering terdengar. Beberapa pemburu melihat burung-burung malam berkumpul dalam jumlah yang tidak wajar di atas hutan keramat."

Nenek Ino menghela napas panjang. "Legenda itu... aku takut itu benar-benar terjadi. Sang Penjaga marah. Dan kemarahannya bisa menghancurkan kita semua."

Kai menatap hutan yang gelap gulita. Ia merasakan ketakutan para roh, dan untuk pertama kalinya, ia juga merasakan sedikit ketakutan dalam dirinya sendiri. Kekuatan naga purba itu pasti sangat dahsyat.

"Nenek," kata Kai akhirnya, suaranya pelan namun penuh tekad, "pasti ada cara untuk menghentikannya. Legenda itu pasti juga menyimpan cara untuk menenangkan Sang Penjaga."

Nenek Ino menatap Kai dengan harapan yang bercampur keraguan. "Mungkin, cucuku. Tapi pengetahuan itu hilang ditelan waktu. Hanya fragmen-fragmen yang tersisa dalam ingatan para tetua."

"Kita harus mencari fragmen-fragmen itu, Nenek," kata Kai dengan keyakinan. "Kita harus berbicara dengan para tetua di pulau-pulau lain. Mungkin mereka menyimpan bagian dari cerita yang hilang."

Nenek Ino terdiam sejenak, menatap wajah Kai yang tampak begitu muda namun penuh tanggung jawab.

"Perjalanan akan berbahaya, Kai. Lautan tidak bersahabat, dan tidak semua orang akan percaya pada 'bahasamu' dengan hutan."

"Aku tahu, Nenek," jawab Kai. "Tapi aku tidak bisa hanya diam dan menunggu malapetaka datang. Hutan adalah rumahku, dan roh-roh itu adalah teman-temanku. Aku harus mencoba."

Nenek Ino mengulurkan tangannya yang keriput dan menggenggam tangan Kai dengan erat.

"Aku akan berbicara dengan para tetua di desa. Kita akan mengumpulkan semua pengetahuan yang kita miliki. Mungkin ada petunjuk awal yang bisa membantumu."

***

Para tetua adat mulai berkumpul, mencoba mencari penjelasan dalam pengetahuan dan cerita-cerita kuno. "Ini pertanda buruk,” kata Tetua Nenek Ino dengan suara khawatir.

"Alam sedang tidak seimbang."

Salah satu legenda yang sering mereka sebutkan adalah tentang Naga Purba Pulau Seram. "Ingatlah legenda tentang Sang Penjaga di bawah sana,” ujar Tetua Baras dengan nada serius.

Konon, di kedalaman bumi pulau ini tertidur seekor naga raksasa yang menjadi penjaga keseimbangan alam.

"Ia bukan makhluk jahat,” timpal Nenek Ino, "melainkan entitas kuno yang kekuatannya terhubung langsung dengan kehidupan pulau."

Legenda mengatakan bahwa naga ini tertidur lelap selama berabad-abad, menjaga harmoni antara darat, laut, dan langit.

Namun, jika tidurnya terusik oleh keserakahan manusia atau ketidakseimbangan alam yang parah, ia akan terbangun dalam kemarahannya dan kekuatannya yang dahsyat bisa menghancurkan seluruh kepulauan.

"Gempa kecil... perubahan hewan... energi gelap... semua pertanda itu ada,” kata Tetua Baras dengan cemas.

Pertanda-pertanda kebangkitannya meliputi gempa bumi kecil, perubahan aneh pada flora dan fauna, dan munculnya energi gelap yang mengganggu keseimbangan spiritual.

Beberapa tetua percaya bahwa kedatangan perusahaan penebangan kayu dan kerusakan hutan yang mereka timbulkan telah mengusik tidur sang naga.

"Mereka merobek jantung pulau,” geram Tetua Baras.

Pohon-pohon tua yang tumbang dianggap sebagai "urat nadi" pulau yang terputus, membangunkan kemarahan makhluk purba di bawahnya.

"Kita harus menghentikan mereka sebelum terlambat!" seru Nenek Ino dengan nada mendesak.

Kai mendengarkan cerita-cerita ini dengan hati yang berdebar. Penglihatannya tentang siluet mengerikan di bawah pulau terasa sangat sesuai dengan legenda tentang Naga Purba.

"Jadi... semua yang aku rasakan... itu benar,” bisik Kai.

Ia tahu bahwa ini bukan hanya sekadar gangguan alam biasa. Pulau dan seluruh isinya berada dalam bahaya, dan ia, dengan kemampuannya yang dianggap aneh, mungkin menjadi satu-satunya harapan untuk menenangkan "ular tidur" itu sebelum amarahnya menghancurkan segalanya.

"Aku harus melakukan sesuatu,” tekad Kai dalam hati.