Pagi menyingsing dengan kabut tipis yang menggantung di atas perkampungan. Namun, di wajah Kai tidak ada lagi keraguan.
Semalam, tekadnya telah mengkristal. Ia harus bertindak, dan waktu terus berjalan.
Langkah pertama Kai adalah menemui ayahnya, seorang nelayan yang tubuhnya kekar diterpa angin laut. Ia menceritakan penglihatannya, suara gemuruh dari perut bumi, dan percakapannya dengan Nenek Ino dan para tetua.
Awalnya, sang ayah mengerutkan kening, mencoba mencerna kata-kata putranya yang seringkali terasa asing baginya. Namun, ia melihat kesungguhan di mata Kai dan merasakan kecemasan yang sama atas perubahan alam sekitar.
"Jika itu yang kau rasa benar, Nak," kata ayahnya dengan suara berat, "maka lakukanlah. Laut memang tidak bersahabat, tapi seorang pelaut sejati tidak akan gentar menghadapi badai demi menyelamatkan rumahnya. Aku akan membantumu menyiapkan perahu dan bekal."
Dengan bantuan ayahnya, Kai mulai mengumpulkan perbekalan sederhana: sagu kering dan ubi kering, ikan kering, air tawar dalam bambu, dan beberapa peralatan navigasi tradisional.
Perahu layar kecil milik ayahnya, sebuah perahu layar orembai yang kokoh dengan satu layar tanja yang besar, telah diperiksa dan diperbaiki.
Di buritan perahu terpasang dua dayung kemudi kayu yang besar, siap untuk dikendalikan Kai menembus ombak. Sementara itu, kabar tentang niat Kai untuk melakukan perjalanan menyebar dengan cepat di desa.
Reaksi masyarakat beragam. Beberapa orang, terutama mereka yang lebih muda dan memiliki pikiran terbuka, menaruh harapan pada Kai.
Mereka melihatnya sebagai satu-satunya yang berani bertindak di tengah ketakutan yang melumpuhkan. Mereka membantu mengumpulkan perbekalan dan memberikan semangat.
Namun, sebagian besar penduduk desa masih tidak percaya. Mereka menganggap cerita tentang naga purba hanyalah legenda kuno dan menyangsikan kemampuan Kai untuk "berbicara" dengan hutan.
Mereka melihatnya sebagai pemuda yang naif dan keras kepala, yang hanya membuang-buang waktu untuk sesuatu yang tidak masuk akal.
"Untuk apa kau pergi, Kai?" tanya seorang ibu tua dengan nada khawatir.
"Itu hanya cerita zaman dahulu. Lebih baik kita berdoa dan berharap para penebang kayu itu segera pergi."
"Tapi, Nek," jawab Kai dengan sabar, "saya merasakan sendiri kegelisahan hutan. Dan pertanda-pertanda itu... semuanya mengarah pada legenda itu. Kita tidak bisa hanya menunggu."
"Kau hanya anak muda yang terlalu banyak menghabiskan waktu di hutan," sahut seorang nelayan dengan nada meremehkan.
"Dunia ini nyata, Kai. Bukan hanya bisikan angin dan suara binatang."
Meskipun menghadapi keraguan dan cibiran, Kai tetap teguh pada pendiriannya. Dukungan dari ayahnya dan Nenek Ino memberinya kekuatan. Ia juga merasakan dorongan kuat dari para roh hutan yang seolah memintanya untuk bertindak.
Nenek Ino mengumpulkan beberapa tetua yang lebih terbuka dan menceritakan kembali legenda Naga Purba dengan penekanan pada pertanda-pertanda yang sedang terjadi.
Ia juga menyampaikan keyakinannya pada kemampuan Kai, meskipun ia sendiri tidak sepenuhnya memahaminya.
"Kita tidak punya pilihan lain," kata Nenek Ino kepada para tetua.
"Jika legenda itu benar, maka kita semua dalam bahaya. Biarkan Kai mencoba. Kita harus memberinya kesempatan."
Setelah perdebatan yang cukup panjang, para tetua sepakat untuk memberikan Kai kesempatan. Mereka memberikan beberapa petunjuk awal tentang pulau-pulau tetangga yang mungkin menyimpan potongan-potongan pengetahuan tentang cara menenangkan Sang Penjaga.
Dengan perahu layar kecil milik ayahnya yang telah diperbaiki, Kai bersiap untuk memulai perjalanannya.
Di benaknya terngiang pesan Nenek Ino, "Dengarkan dengan hatimu, Kai. Alam akan membimbingmu. Dan jangan pernah meremehkan kekuatan kepercayaan, meskipun terlihat kuno."
Saat perahu Kai mulai menjauhi pantai, sebagian penduduk desa hanya melihat kepergian seorang pemuda aneh. Namun, beberapa orang, terutama anak-anak dan para tetua, melihat secercah harapan di tengah ketidakpastian yang melanda pulau mereka.
Perahu layar kecil Kai membelah ombak yang mulai meninggi di perairan sekitar pulau. Angin bertiup kencang, menarik layar dengan kasar dan membuat perahu oleng ke kiri dan ke kanan.
Langit yang semula cerah mulai tertutup awan kelabu yang bergerak cepat, pertanda cuaca buruk yang datang tiba-tiba, tipikal laut di wilayah itu.
Kai, meskipun tumbuh di tepi laut, bukanlah seorang pelaut berpengalaman seperti ayahnya. Ia lebih akrab dengan hutan daripada dengan keganasan ombak.
Namun, tekad untuk menyelamatkan pulau dan roh-roh hutan memberinya keberanian untuk menghadapi tantangan laut yang menghadang.
Setiap kali ombak besar menghantam lambung perahu, Kai mencengkeram erat kemudi kayu, berusaha menjaga keseimbangan.
Air laut menyiram wajahnya, asin dan dingin, membuatnya harus menyipitkan mata untuk melihat arah.
Angin menderu di telinganya, menenggelamkan suara deburan ombak yang menghantam perahu tanpa ampun.
Di tengah keganasan cuaca, Kai merasakan ada yang lebih dari sekadar amukan alam. Ada kegelisahan yang aneh di dalam laut itu sendiri.
Biasanya, meskipun ombak tinggi, ada ritme dan pola yang bisa diprediksi. Namun kali ini, ombak datang secara tiba-tiba dari berbagai arah, liar dan tidak beraturan, seolah laut itu sendiri sedang memberontak.
Sesekali, Kai melihat bayangan gelap bergerak di bawah permukaan air. Terlalu besar untuk sekadar kawanan ikan atau lumba-lumba.
Bayangan-bayangan itu bergerak cepat dan misterius, menimbulkan perasaan tidak nyaman dan firasat buruk dalam dirinya.
Apakah ini juga merupakan pertanda dari Sang Penjaga yang terusik, kekuatannya kini mulai mempengaruhi lautan?
Malam tiba dengan kegelapan yang pekat. Tanpa bintang sebagai penunjuk arah, Kai harus mengandalkan insting dan pengetahuannya yang terbatas tentang navigasi tradisional. Suara ombak yang menghantam perahu terdengar semakin menakutkan di tengah kegelapan.
Rasa lelah mulai menyerang tubuhnya, namun ia tahu ia tidak bisa menyerah. Setiap mil yang ia tempuh membawanya lebih dekat pada jawaban dan harapan untuk menyelamatkan rumahnya.
Tiba-tiba, kilatan petir menyambar langit, menerangi laut yang bergolak sesaat. Dalam cahaya singkat itu, Kai melihat ombak yang sangat besar mengarah ke perahunya, tingginya beberapa kali lipat dari ombak biasa.
Raungan angin bercampur dengan suara gemuruh air yang mendekat, menciptakan atmosfer yang mencekam.
Dengan refleks cepat, Kai mengayunkan dayung kemudi sekuat tenaga, mencoba menghindari hantaman langsung. Perahunya terangkat tinggi di atas puncak ombak, kemudian terhempas turun dengan keras ke lembah gelombang berikutnya. Kayu perahu berderit menahan tekanan yang luar biasa.
Untuk beberapa saat yang menegangkan, Kai merasa perahunya akan hancur berkeping-keping atau terbalik. Ia berpegangan erat pada dayung kemudi, memejamkan mata dan berdoa kepada roh-roh laut yang mungkin berbelas kasihan.
Perlahan, badai mulai mereda, seolah amarah laut telah mencapai puncaknya. Ombak masih tinggi, namun mulai memiliki ritme yang lebih teratur. Langit mulai menunjukkan sedikit celah cahaya di ufuk timur.
Kai membuka matanya, merasakan tubuhnya remuk redam namun perahunya masih utuh. Ia selamat dari amukan laut, namun perjalanan yang sulit ini telah menguras tenaga dan mentalnya.
Ia tahu, perjalanan menuju pulau tetangga tidak akan mudah, dan bahaya tidak hanya datang dari alam, tetapi mungkin juga dari kekuatan purba yang sedang bangkit.
Dengan sisa tenaga, Kai kembali mengarahkan perahunya, memandang ke arah samar-samar daratan yang mulai terlihat di kejauhan.
Harapan tipis masih menyala di dadanya, mendorongnya untuk terus maju meskipun lautan dan kegelisahan alam seolah ingin menelannya.