Saat perahu Kai dan Luka mendekati Pulau Rempah, pemandangan yang menyambut mereka jauh dari kata damai. Hutan di sepanjang pantai tampak layu dan meranggas, pohon-pohon yang dulu hijau kini berdiri dengan cabang-cabang kering tampak seperti tulang belulang.
Aroma tanah yang biasanya subur tergantikan oleh bau anyir yang samar dan bau belerang yang menusuk hidung.
"Ya ampun, Kai..." bisik Luka tercekat, matanya memindai pantai yang menghitam.
"Apa yang terjadi di sini?"
Langit di atas pulau itu berwarna kelabu suram, tanpa ada celah cahaya matahari. Suara kicauan burung yang dulu riuh rendah kini hanya berupa pekikan-pekikan cemas yang sesekali terdengar.
Keheningan yang mencekam menyelimuti pulau, hanya dipecah oleh suara gemuruh rendah yang semakin keras dan terasa dekat.
"Ini... ini sudah parah sekali," bisik Luka dengan wajah pucat, menatap pemandangan yang memilukan itu.
Kai merasakan hatinya mencelos melihat kondisi rumahnya. Kegelisahan roh-roh hutan yang dulu ia rasakan kini menjelma menjadi teriakan kesakitan yang memekakkan batinnya. Ia bisa merasakan kemarahan dan kesedihan alam yang merata di seluruh pulau.
"Ibu... Ayah... Nenek Ino..." gumam Kai lirih, napasnya tercekat.
"Aku harus mencari mereka..."
Saat mereka mendaratkan perahu di pantai yang dulunya berpasir putih bersih yang kini tertutup lapisan abu halus berwarna keabu-abuan, mereka disambut oleh pemandangan desa yang sunyi dan ditinggalkan.
Rumah-rumah tampak kosong, pintu dan jendela tertutup rapat. Tidak ada tanda-tanda kehidupan, seolah seluruh penduduk telah menghilang.
"Ibu... Ayah... Nenek Ino..." gumam Kai cemas, berlari menuju desanya. Air mata mulai menggenangi pelupuk matanya. Luka mengikutinya dengan langkah hati-hati, merasakan firasat buruk yang sama.
Saat mereka mencapai balai desa, pintu terbuka dengan engsel berderit nyaring karena angin yang tiba-tiba bertiup kencang.
Awalnya, tujuan Kai adalah kuil Desa Rempah, tempat para tetua sering berkumpul dan menyimpan pengetahuan kuno.
Namun, saat melewati balai desa, mereka melihat samar-samar adanya kehidupan di dalamnya—siluet tubuh yang bergerak lemah di balik jendela yang tertutup.
Di dalamnya, mereka menemukan beberapa penduduk desa yang terkulai lemas di lantai, wajah mereka pucat dan ketakutan.
"Kai, lihat! Di sana... seperti ada orang di dalam,” bisik Luka, menunjuk jendela yang remang-remang.
"Kau benar, Luka. Itu bukan kuil... tapi mungkin ada yang selamat di sana,” jawab Kai dengan nada penuh harap.
Dengan hati-hati mereka mendekati pintu yang terbuka. Di dalamnya, mereka menemukan beberapa penduduk desa yang terkulai lemas di lantai, wajah mereka pucat dan ketakutan.
"Ya ampun... lihatlah mereka,” bisik Luka prihatin.
"Apa yang terjadi? Kenapa mereka seperti ini?" tanya Kai cemas, melangkah masuk dengan hati-hati.
Nenek Ino yang terbaring lemah di sudut ruangan membuka matanya perlahan.
"Siapa... siapa kalian?" suaranya hampir tak terdengar.
"Ini aku, Kai, Nenek Ino... apakah kau mengingatku?" jawab Kai lembut, melangkah masuk dengan hati-hati.
Nenek Ino mengerutkan kening, mencoba memfokuskan pandangannya yang kabur.
"Kai...? Anak hutan...? Kau kembali...?" suaranya serak dan lemah.
"Ya, Nek. Aku kembali. Apa yang terjadi di sini? Di mana yang lain?" tanya Kai cemas, berlutut di sampingnya.
Nenek Ino terbaring di sudut ruangan, napasnya lemah dan terputus-putus.
"Kai... kau kembali..." bisik Nenek Ino dengan suara hampir tak terdengar, matanya terbuka sedikit dan memandang Kai dengan lega.
"Syukurlah... kau selamat."
"Nenek! Apa yang terjadi? Di mana Ibu? Di mana Ayah?" tanya Kai panik, berlutut di sampingnya, menggenggam erat tangan keriput nenek Ino yang terasa dingin.
Nenek Ino menggelengkan kepalanya lemah, air mata mengalir dari sudut matanya.
"Ayahmu... ibumu... mereka sangat berani, Kai. Ketika Sang Penjaga pertama kali menunjukkan kemarahannya, mereka berdiri di garis depan, mencoba melindungi kita semua. Mereka memohon, mencoba mengingatkannya akan kedamaian yang pernah ada di pulau ini. Mereka menghadapi amukannya agar yang lain bisa melarikan diri... Aku tidak melihat mereka kembali. Aku tidak tau bagaimana keadaan mereka sekarang.." Suara Nenek Ino semakin melemah, ia terbatuk pelan.
"Aku... aku adalah salah satu penduduk desa yang masih bisa bertahan di sini..."
"Entah bagaimana dengan yang lainnya, aku tidak tau." Sambungnya lagi, nada suara terdengar lemah.
Tiba-tiba, tanah bergetar lebih kuat dari sebelumnya. Suara gemuruh rendah berubah menjadi raungan yang memekakkan telinga, membuat bangunan-bangunan bergetar.
Dari arah hutan keramat, cahaya merah keunguan yang mengerikan memancar ke langit.
"Dia kembali mengamuk..." kata seorang penduduk desa dengan nada putus asa, suaranya bergetar ketakutan.
"Kita semua akan binasa. Tidak ada harapan lagi."
Kai berdiri dengan tekad yang membara di matanya, meskipun hatinya hancur mendengar kabar tentang orang tuanya. Ia menggenggam erat seruling bambu purba, satu-satunya harapan mereka yang tersisa.
"Tidak. Aku tidak akan membiarkan itu terjadi. Aku harus menemuinya. Aku harus melakukan ini untuk mereka... untuk kita semua."
Ia menoleh ke arah Luka, matanya penuh harapan namun juga kesedihan yang mendalam.
"Jaga mereka, Luka. Lindungi mereka sebisa mungkin. Aku harus pergi."
Luka menatap cahaya merah keunguan di kejauhan, lalu kembali menatap Kai, merasakan kesedihan yang sama atas kehilangan Kai.
"Hati-hati, sahabatku," ucapnya cemas, namun di matanya juga terpancar keyakinan pada Kai.
"Semoga 'Nyanyian Harmoni'mu bisa menenangkannya."
Tanpa menunggu jawaban, Kai berlari menuju hutan keramat, mengikuti arah cahaya merah keunguan dan raungan yang seolah memanggilnya.
Luka hanya bisa menatap kepergian Kai dengan cemas dan harapan yang tipis, berdoa dalam hati agar sahabatnya berhasil menyelamatkan kampung halamannya.
Saat Kai memasuki hutan keramat, pemandangan yang lebih mengerikan menyambutnya. Pohon-pohon raksasa tumbang dan terbakar, tanah retak dan menganga, dan udara dipenuhi bau belerang yang menyengat, membuat matanya pedih.
'Bagaimana mungkin... bagaimana bisa ini terjadi pada rumahku?' pikir Kai dengan hati hancur, menyaksikan kehancuran di sekelilingnya.
Di tengah kehancuran itu, di sebuah area terbuka yang luas, Kai melihatnya.
Sang Penjaga.
Wujudnya jauh lebih dahsyat dari yang ia bayangkan. Naga raksasa dengan sisik hitam legam berkilauan, mata merah menyala yang memancarkan kemarahan purba, dan asap hitam mengepul dari hidungnya bagaikan embusan neraka.
Ukurannya sangat besar, tubuhnya melilit pepohonan yang tumbang seperti lilitan ular pada ranting. Raungannya mengguncang bumi dan membuat jantung Kai berdebar kencang hingga terasa sakit.
'Ya ampun, dia ternyata lebih mengerikan dari legenda yang pernah kudengar. Kekuatannya tak terbayangkan, bisakah... aku menghadapinya?,' benak Kai berbisik ketakutan.
Namun, saat ia menatap lebih dalam ke mata merah menyala itu, ia melihat sesuatu selain amarah—ada kesedihan yang mendalam, rasa sakit yang dalam terpancar dari sana.
Sang Penjaga menatap Kai dengan tatapan penuh amarah dan kesedihan yang mendalam.
Raungan yang keluar dari mulutnya bukan hanya suara, tetapi juga luapan rasa sakit atas luka yang diderita pulau ini, sebuah ratapan dari alam yang terluka dan mungkin juga kemarahan atas kehilangan yang sama.
'Aku mengerti... kau juga terluka,' batin Kai, merasakan getaran emosi yang kuat dari makhluk itu.
Ia bisa melihat bagaimana sisik hitam legam naga itu tampak retak di beberapa bagian, memancarkan cahaya merah keunguan yang sama seperti yang terlihat di langit—seperti luka yang belum sembuh.
Asap hitam yang keluar dari hidungnya tidak hanya bau belerang, tetapi juga terasa seperti keputusasaan yang membakar.
'Pulau ini... rumah kita... lihatlah betapa menderitanya ia karena amarahmu,' ucap Kai dengan suara yang meski pelan namun penuh keberanian, menatap langsung mata merah menyala Sang Penjaga.
Raungan naga itu terhenti sejenak, kepalanya sedikit miring, seolah mendengarkan.
'Mungkin... mungkinkah ia mengerti?' harapan kecil tumbuh di hati Kai.
Kai berdiri tegak di hadapan makhluk dahsyat itu, meskipun rasa takut serasa melumpuhkan setiap otot di tubuhnya.
Keringat dingin membasahi telapak tangannya. Ia menarik napas dalam-dalam, memantapkan hatinya yang kini dipenuhi dengan tekad dan juga kesedihan.
'Ini untuk Ayah... untuk Ibu... untuk Nenek... untuk semua yang masih bertahan.' Dengan mantap, ia mengangkat seruling bambu purba ke bibirnya.
"Aku di sini,” ucap Kai dengan suara yang meski pelan namun penuh keberanian, menatap langsung mata merah menyala Sang Penjaga.
"Sang Maha Penjaga, luka apa yang Kau rasakan hingga amarah ini mengguncang bumi? Aku datang dengan hormat dan niat baik, berharap dapat meringankan beban-Mu."
Inilah saatnya.
Ia harus memainkan "Nyanyian Harmoni" dengan seluruh jiwa dan raganya, berharap melodi itu bisa menjangkau hati Sang Penjaga yang terluka dan mengembalikan keseimbangan yang hilang, serta menghormati pengorbanan kedua orang tuanya.
'Semoga melodi ini cukup kuat...', doa Kai dalam hati, dan ia pun mulai meniupkan nada pertama.