Simfoni yang Tertahan di Hadapan Amarah Purba

"Wahai Sang Penjaga," ucap Kai dengan suara sedikit gemetar, namun berusaha terdengar tegas di tengah raungan naga.

"Aku datang dengan hati yang tulus, bukan untuk menyakitimu."

Di hadapan Sang Penjaga yang membentang laksana gunung hitam yang bernapas api, Kai berdiri bagai setitik debu yang berani menantang badai.

"Kau... manusia kecil... berani sekali kau berdiri di hadapanku setelah apa yang kalian lakukan,” suara Sang Penjaga bergema dalam pikiran Kai.

Aroma belerang yang menyesakkan bercampur dengan bau hangus hutan yang merana, memenuhi udara yang bergetar oleh raungan rendah naga itu.

"Kami datang bukan untuk menantangmu Wahai Sang Penjaga,” balas Kai dengan suara yang meski kecil namun terdengar jelas. 

"Kau adalah penjaga tanah leluhur kami. Kami datang untuk memohon pengampunan darimu."

Cahaya merah keunguan yang membara dari mata Sang Penjaga menyinari wajah Kai, tatapan purba yang menyimpan kemarahan yang terpendam selama berabad-abad.

"Ampun katamu? Setelah kalian merusak kedamaian yang telah kujaga selama berabad-abad?" gema suara naga itu lagi, penuh amarah.

Dengan jantung berdebar kencang namun tekad yang membara dalam dirinya, Kai mengangkat seruling bambu purba. Sentuhan jemarinya pada bambu terasa seperti menyentuh urat nadi harapan terakhir pulau ini.

'Jangan gentar, Kai... lakukan apa yang harus kau lakukan,' batin Kai. Ia mengingat kata-kata Luka. Ia merasakan semangat Luka turut bersamanya.

Ia menarik napas dalam, mencoba menenangkan rasa takut yang bergejolak di dadanya, dan memainkan nada pertama "Nyanyian Harmoni".

Suara yang keluar dari seruling itu lirih dan bergetar, sebuah permohonan maaf yang tersendat, mewakili kesedihan yang mencengkeram pulau dan penyesalan atas luka yang disebabkan oleh tangan manusia.

"Suara lemah itu... apa maksudmu, manusia? Apakah itu yang kalian sebut permohonan?" tanya Sang Penjaga, raungannya sedikit mengendur namun tetap mengancam.

'Maafkan kami...', bisik Kai dalam hati, nada penyesalan itu terasa bagai embusan angin lemah di tengah badai.

Namun, nada itu langsung disambut oleh raungan Sang Penjaga yang menggema, gelombang suara dahsyat yang menghantam Kai bagai pukulan fisik, membuatnya terhuyung mundur beberapa langkah.

Gema amarah Sang Penjaga merobek udara.

Asap hitam pekat menyembur dari kedua lubang hidung naga itu, bagai luapan neraka membara. Matanya memancarkan amarah liar, merah menyala laksana lahar yang menggelegak.

'Ia tidak mendengarkan...', pikir Kai putus asa, keringat dingin membasahi pelipisnya. 

Raungan itu seolah berkata "Pergi! Kalian semua sama saja! Pembawa kehancuran!"

Kai tidak menyerah. Ia memfokuskan diri, memainkan melodi air yang ia pelajari di pulau bambu.

"Air yang menyegarkan... yang menyembuhkan... ia membasuh bumi yang terluka... menyuburkan kembali yang kering. Semoga kau merasakannya juga...semoga ia menyentuh lukamu..." gumam Kai lirih.

Ia berharap Sang Penjaga yang terluka bisa merasakan ketenangan yang ia coba sampaikan melalui nada-nada yang mengalir lembut, membayangkan sungai-sungai jernih yang dulu membelah pulau ini, sebuah harapan akan kesegaran dan pembersihan luka-luka alam.

Namun, Sang Penjaga hanya menggeram frustrasi, suara rendah di kerongkongannya yang besar bergetar menahan amarah. 

Salah satu cakarnya yang sebesar pohon menghantam tanah dengan kekuatan mengerikan. 

Menciptakan retakan yang semakin menganga di bumi yang terluka, bagai luka baru yang ditorehkan pada tubuh pulau.

Cahaya merah di matanya berkedip-kedip tak terkendali, mencerminkan amarah yang membara dan rasa sakit yang tak tertahankan.

"Dasar perusak! Kalian telah mengotori segalanya! Kalian telah meracuni tanah dan airku!" raung Sang Penjaga, meskipun tanpa kata-kata yang terucap, Kai bisa merasakan gelombang kemarahan dan tuduhan yang menghantam benaknya.

Dengan putus asa namun dengan sisa keyakinan, Kai memainkan resonansi bebatuan kristal. 

"Aku merasakan... rasa sakitmu... rasa kehilanganmu... seperti bumi yang kehilangan hijaunya..." bisik Kai, mencoba menjangkau inti penderitaan Sang Penjaga."

"Kau telah menanggung ini sendirian... terlalu lama... seperti aku... kehilangan mereka..." 

Nada-nada yang keluar kali ini lebih bergetar dan dalam, mencoba membangkitkan kembali kekuatan dan keseimbangan inti bumi yang terganggu. Tanah di sekitar mereka bergetar lebih kuat.

Namun Sang Penjaga justru mengangkat kepalanya yang besar tinggi-tinggi, meraungkan kemarahan dan kesedihan yang menusuk kalbu, suara purba yang bergema melintasi hutan yang hancur, seolah meratapi hilangnya harmoni yang abadi. 

'Ini... bukan hanya amarah yang membara... tapi juga luka yang mendalam', batin Kai bergumam, sebuah pemahaman perlahan merayap di benaknya.

Cairan hitam pekat, menyerupai air mata lava, tampak mengalir dari sudut matanya yang menyala, bukti bahwa amarahnya berakar pada penderitaan yang mendalam.

Aroma bunga bambu yang ia bawa, simbol harapan dan pemulihan, terasa sia-sia, tertelan oleh bau belerang yang menyesakkan. 

Kai memainkan melodi keindahan alam, membayangkan hijaunya hutan yang dulu menjulang, kicauan burung-burung yang riang bersahutan. 

"Wahai Sang Penjaga, ingatlah keindahan yang pernah ada..." lirih Kai. 

Namun, Sang Penjaga menggeram lagi, kali ini lebih keras dan penuh penolakan.

Ia mengibaskan ekornya yang besar dengan kekuatan yang merobohkan pohon-pohon yang tersisa bagai batang korek api, seolah menolak ilusi kebahagiaan masa lalu yang telah direnggut.

"Keindahan yang kalian sebut itu telah kalian kotori! Jangan pernah sebutkan lagi di hadapanku!" raungnya, dan Kai merasakan keputusasaan hampir merenggut harapannya.

Dalam momen yang menegangkan itu, Kai menyadari bahwa "Nyanyian Harmoni" tidak bisa sekadar menjadi permohonan maaf yang dangkal atau gambaran keindahan yang telah hilang.

'Ini bukan tentang kata-kata... ini tentang hati ke hati,' pikir Kai, matanya terpaku pada naga yang murka.

"Aku mengerti sekarang,” bisik Kai di antara nada-nada lirih serulingnya. 

"Ini bukan hanya tentang memohon maaf atas nama orang lain. Ini tentang merasakan apa yang ia rasakan."

Menyadari bahwa melodi permohonan dan gambaran keindahan yang hilang gagal menjangkau inti amarah Sang Penjaga, Kai mengubah arah "Nyanyian Harmoni". 

Ia memejamkan mata, mencoba menyelami kedalaman emosi naga purba itu. 

'Rasa sakit yang begitu dalam... pasti ada luka yang tak tersembuhkan di hatinya,' pikir Kai, merasakan beban kesedihan yang tiba-tiba menghimpit dadanya.

"Apa yang telah mereka lakukan padamu?" bisik Kai lirih, seolah bertanya langsung pada naga itu. 

Ia membayangkan dirinya sebagai bagian dari pulau yang terluka, merasakan setiap retakan di tanah, setiap pohon yang tumbang sebagai sayatan di tubuhnya sendiri.

'Aku merasakan kehancuran ini juga...'

Ia mencoba memahami rasa kehilangan yang mungkin dirasakan makhluk agung itu atas pengkhianatan harmoni yang telah berlangsung lama. 

'Kau pasti merasakan kehampaan yang sama,' batin Kai, membayangkan kesepian Sang Penjaga. 

Nada-nada yang keluar dari seruling bambu purba kini berubah menjadi lebih dalam dan melankolis. Bukan lagi permohonan maaf yang dangkal, melainkan ratapan yang tulus atas kehancuran yang terjadi.

"Kami tahu... kami tahu kami salah,” bisik Kai lirih, berharap suaranya bisa mencapai telinga batin naga itu.

'Kami telah gagal menjagamu... menjaga rumah kita,' batin Kai, nadanya bergetar penuh dengan penyesalan. 

'Maafkan kami... Wahai Sang Penjaga yang Agung.'