Resonansi yang Terlupakan

Gema yang Tak Terlihat

Dunia diselimuti keheningan, sebuah ketenangan yang seolah sedang menahan napasnya. Hanya desiran halus yang terdengar, seperti gema dari masa lampau. Batu-batu kuno yang tertutup simbol-simbol terlupakan berdiri diam di bawah cahaya bulan. Itu adalah bahasa tanpa suara—bahasa yang tak berbicara kepada siapa pun selama berabad-abad, namun kini bergema, seakan menunggu untuk didengar.

Suara seorang anak memecah keheningan—lembut, penuh rasa ingin tahu.

“Kenapa batu ini bersuara, Ayah? Tak ada siapa pun yang berbicara...”

Suara itu menggema ke dalam malam, tapi tak ada jawaban. Tiba-tiba, cahaya menyilaukan menyembur ke depan, menyapu dunia dalam sekejap. Udara mengental, dan tanah bergetar di bawah kaki mereka, resonansi dalam yang hampir terasa hidup mengisi ruang. Cahaya itu memudar, menyisakan kilau samar dari kristal yang kini tampak di tempatnya. Keheningan kembali hadir, namun resonansi itu tetap tinggal, seperti bayangan dari melodi kuno.

---

Jalur yang Bergeser

Institut Geosains Tokyo dipenuhi hiruk-pikuk seperti hari biasa, namun di dalam ruang kuliah Goom, suasananya terasa berat oleh bobot penemuannya. Suaranya memecah gumam para mahasiswa saat ia menunjuk ke diagram rumit di layar. Pola energi—serangkaian lonjakan dan lekukan tajam—menari di layar, masing-masing lebih membingungkan dari yang terakhir.

“Ini bukan acak,”

jelas Goom, nadanya tegas, meski matanya menyala dengan semangat yang hanya dimiliki mereka yang benar-benar terobsesi.

“Ini bukan sekadar getaran. Ini adalah pesan. Dan mereka datang dari sumber yang belum bisa kita jelaskan.”

Para mahasiswa terdiam, terpaku oleh kata-katanya. Namun sebuah suara skeptis memecah ketegangan. Seorang dosen senior, dengan senyum mengejek, menyandarkan tubuh ke kursinya.

Profesor, jika Anda pikir getaran dari bumi itu sinyal alien, mungkin Anda sebaiknya mempertimbangkan ulang karier Anda,” sindirnya, sarat dengan nada sarkastik.

Kaori, duduk di barisan depan, menatap Goom, ekspresinya campuran antara kekhawatiran dan tekad. Ia mendekat, berbisik cukup keras agar hanya Goom yang mendengar.

“Mereka tidak akan percaya... belum,” ucapnya. “Mereka akan menganggapnya lelucon. Ini belum waktunya.”

Mata Goom tetap tertuju ke layar, namun bibirnya bergerak pelan, nadanya mengandung sesuatu yang jauh lebih besar dari momen itu sendiri.

“Aku tidak butuh mereka percaya,”

katanya lirih.

Aku hanya butuh kebenaran itu bertahan.”

---

Malam Penentuan

Sendirian di kantor remang-remang malam itu, Goom membungkuk di atas meja, memeriksa data. Pola-pola itu terasa makin aneh saat dilihat dalam kesunyian lab-nya. Ada sesuatu di dalamnya—sesuatu yang terasa seperti suara yang menjangkau melintasi kehampaan. Ia mendekat, jarinya menyentuh layar, memperbesar salah satu urutan data.

“Ini bukan sekadar fluktuasi energi acak,” gumamnya pada diri sendiri. “Ini... ini sesuatu yang lain.”

Matanya tertuju pada rak di seberang ruangan, tempat sebuah manuskrip kuno tergeletak, pinggirannya menguning oleh waktu. Itu adalah teks yang ia pelajari selama di institut—teks yang membahas simbol-simbol, bahasa yang telah menghilang jauh sebelum peradaban modern lahir. Dan kini, saat ia melacak pola energi di layar, Goom merasakan kegelisahan yang kian dalam—simbol-simbol itu cocok dengan yang ada dalam manuskrip. Kesadaran itu menghantamnya seperti petir—bagaimana jika getaran ini bukan fenomena alam? Bagaimana jika ini adalah sinyal? Dan jika ya... siapa yang mencoba berkomunikasi?

---

Jalur Terlarang

Pagi berikutnya, Kaori berdiri di sisi Goom di kaki Gunung Hakone. Udara pagi yang menggigit diselimuti kabut tipis. Gunung itu menjulang kelam dan mengancam, menyembunyikan rahasia di dalamnya. Goom menatap lereng terjal dengan intensitas yang dalam.

“Goom, kita tak bisa melakukan ini,”

Kaori memperingatkan, suaranya gemetar namun mendesak.

“Ini zona terlarang. Orang-orang hilang di sana. Tak ada yang kembali.”

Tatapan Goom tetap tak bergeming. Wajahnya teguh, keputusannya telah bulat.

“Mereka menyebutnya zona terlarang karena mereka tak memahaminya. Dan justru karena itu kita harus ke sana,” jawabnya dengan tegas.

“Apa pun yang tersembunyi di sana... itu kunci segalanya.”

Dengan itu, mereka mulai mendaki. Keheningan di antara mereka makin berat seiring mereka masuk lebih dalam ke wilayah yang tak dikenal. Gunung itu terasa berdenyut, energinya seakan nyata. Goom berlutut di depan formasi batu, jarinya menyentuh tanah.

Denting lembut mengisi udara—suara yang nyaris tak terdengar, namun tak luput darinya. Suara itu berasal dari dalam bumi, seakan gunung itu bernapas selaras dengan setiap geraknya. Kaori mundur, matanya melebar dengan rasa tak nyaman.

“Apa itu?”

tanyanya pelan, hampir berbisik.

“Apakah... gema,?”

Goom perlahan berdiri, matanya kosong, seakan sedang mendengarkan sesuatu yang jauh lebih dalam dari bumi itu sendiri.

“Bukan,”

gumamnya.

“Itu bukan gema... itu resonansi. Dan itu bukan dari kita.”

---

Penemuan

Semakin jauh mereka masuk ke jantung gunung, semakin kuat resonansi itu terasa. Tanah seolah berbicara kepada mereka, mendorong mereka maju. Dan akhirnya, di dalam gua tersembunyi, itu terjadi. Kilatan cahaya menarik perhatian mereka—sesuatu terkubur dalam batu, bersinar samar di antara cahaya redup. Goom mendekat dengan hati-hati, mengulurkan tangan untuk menyentuh kristal yang setengah terbuka itu.

Begitu jarinya menyentuh permukaan kristal, udara di sekeliling bergeser. Kaori terhuyung, tubuhnya diguncang oleh gelombang energi yang luar biasa. Tubuhnya gemetar, dan sesaat, matanya kosong seolah sedang melihat sesuatu yang tak bisa ia kendalikan.

Aku... aku melihat sesuatu,” bisiknya, suaranya gemetar.

Sebuah kota... atau semacamnya. Langitnya terbakar, tapi... tenang, seperti kenangan yang seharusnya bukan milikku.”

Detak jantung Goom berdegup cepat mendengar ucapannya. Simbol dari manuskrip, pola energi aneh—semuanya mulai tersambung. Ini bukan penemuan biasa. Shard itu bukan sekadar artefak; ini adalah kunci.

Itu bukan kenanganmu,”

ucap Goom perlahan, penuh kekaguman. “Bahkan bukan dari Bumi. Itu adalah pesan... dan kita yang ditakdirkan untuk mendengarnya.”

---

Pecahnya Misteri

Kembali di laboratorium, implikasi dari penemuan mereka mulai terungkap. Goom dengan hati-hati menempatkan shard ke dalam unit penyimpanan, pikirannya berpacu. Data dari gunung, ditambah dengan visi Kaori, menunjuk pada sesuatu yang jauh lebih besar dari yang ia bayangkan.

Potongan-potongan mulai menyatu—tapi ke mana arahnya? Shard itu hanyalah yang pertama. Masih ada lagi di luar sana—tersembunyi, menunggu ditemukan. Penemuan satu shard hanyalah permulaan, dan Goom tahu jika mereka berhasil menemukan semuanya, mereka bisa mengubah arah sejarah.

“Jika satu shard bisa mengubah persepsi...” gumam Goom sambil menatap peta yang dipenuhi garis merah.

“...lalu apa yang bisa dilakukan sembilan?”

Dan di balik bayang-bayang, tanpa sepengetahuannya, seseorang mengamati—wajahnya tersembunyi dari pandangan. Ia tahu penemuan ini bukan kebetulan. Ia telah menunggu momen ini. Dan kini, tinggal menunggu waktu saja.