Pertemuan yang Tak Direncanakan

Pada usia dua puluh tiga tahun, Alexander Goom telah menapakkan kakinya di tempat yang hanya sedikit orang bayangkan di usia semuda itu. Sebuah gelar profesor di bidang fisika teoretis berhasil ia sandang setelah bertahun-tahun berkutat dalam kesendirian dan dunia rumit penuh angka, partikel, dan rumus yang menari dalam pikirannya. Namanya mulai terdengar di konferensi-konferensi internasional sebagai “anak ajaib” dengan pemikiran yang melampaui generasinya.

Salah satu undangan penting datang dari Tokyo—sebuah seminar internasional yang mempertemukan para pemikir muda dan veteran dari berbagai penjuru dunia. Di sinilah, takdirnya mulai berbelok.

---

Ikatan yang tak berkompromi 

Di aula megah tempat seminar itu digelar, seorang wanita muda duduk di barisan tengah, memperhatikan setiap kata yang keluar dari mulut Goom. Wajahnya memancarkan ketertarikan yang tulus, bukan hanya pada materi yang disampaikan, tetapi pada caranya menyampaikan: penuh keyakinan, namun masih menyisakan keraguan samar—seolah Goom tengah berusaha menjembatani sesuatu yang lebih besar daripada sains itu sendiri.

Namanya Kaori Takahashi. Usianya dua puluh empat tahun, baru saja menyelesaikan program pascasarjana di bidang kecerdasan buatan dari Universitas Tokyo. Kaori bukan tipe yang mudah terkesan, tetapi paparan Goom mengenai hubungan partikel mikro dengan kesadaran manusia membangkitkan sesuatu dalam dirinya—rasa penasaran yang tidak bisa ia abaikan.

Sebagai peneliti muda di Interfaculty Initiative in Information Studies, Kaori telah membenamkan dirinya dalam pengembangan algoritma pembelajaran mesin. Namun, di balik ketertarikannya pada kode dan pola data, ia menyimpan satu keresahan: bahwa AI seharusnya bukan hanya alat untuk efisiensi, tapi jembatan untuk memahami realitas yang lebih dalam.

---

Setelah seminar usai, Kaori memberanikan diri untuk menghampiri pria yang baru saja menyampaikan teori yang mengganggu pikirannya.

Kaori, di sisi lain, mulai merasakan tekanan berbeda. Ia melihat gairah luar biasa dalam mata Goom, namun juga mencium sesuatu yang mulai menjauh. Fokus Goom semakin tajam pada hasil, pada spektrum-spek­trum kecil yang tidak bisa dijelaskan oleh teori eksisting. Ia mulai berbicara tentang “struktur harmoni awal” dan “resonansi purba” yang tak tercatat di literatur mana pun.

“Profesor Goom?” sapanya, suaranya tenang namun bersemangat.

Goom menoleh, sedikit terkejut. “Ya?”

“Saya tertarik dengan pendekatan Anda mengenai kesadaran dan partikel mikro. Apakah Anda pernah mempertimbangkan untuk memodelkan itu menggunakan AI?”

Goom menatapnya sesaat, lalu tersenyum tipis. “Saya lebih terbiasa dengan eksperimen fisika klasik. Tapi… saya belum pernah benar-benar mengeksplorasi sisi itu.”

“Saya pikir... jika kita gabungkan dua bidang itu, kita bisa melihat pola yang selama ini tersembunyi,” lanjut Kaori. “Saya punya beberapa simulasi. Mungkin Anda tertarik melihatnya?”

Ajakan itu sederhana, tetapi di mata Goom, ada keberanian dan keyakinan yang tak biasa.

Proyek yang mereka bangun bersama diberi nama Eureka Node, sebuah sistem eksperimental yang mencoba menggabungkan resonansi kuantum dengan struktur pembelajaran mesin. Di balik nama yang terdengar sederhana itu, tersembunyi ambisi besar—menciptakan jembatan antara kesadaran manusia dan getaran terdalam alam semesta.

---

Harmonisasi Rasa

Pertemuan itu menjadi awal dari kolaborasi yang intens. Dalam beberapa minggu, Kaori dan Goom mulai bertukar ide. Mereka bekerja di sebuah lab kecil yang disediakan oleh universitas, terkadang hingga larut malam, mencoba menjahit data simulasi dengan teori kuantum.

Kaori mengandalkan intuisi dan pendekatan manusiawi dalam merancang model, sementara Goom tetap berpegang pada presisi dan logika. Meskipun awalnya berbeda pandangan, perlahan keduanya mulai menemukan irama.

“Intuisi dalam eksperimen fisika?” Goom suatu hari bertanya, separuh ragu, separuh kagum.

Kaori tertawa kecil. “Kadang, data butuh cerita. Dan cerita lahir dari perasaan yang tak bisa selalu dijelaskan.”

---

Di tengah diskusi panjang dan hasil simulasi yang mengejutkan, benih keakraban tumbuh di antara mereka. Goom yang terbiasa hidup dalam isolasi akademik mulai melihat dunia dari sudut pandang Kaori—penuh warna, penuh keraguan yang sehat, dan kadang... harapan.

Namun, tidak semua berjalan mulus. Ketika sebuah eksperimen menunjukkan potensi membuka manipulasi dimensi ruang-waktu, Kaori mulai menunjukkan kekhawatirannya.

“Kita bisa menciptakan sesuatu yang tidak bisa kita kendalikan,” ujarnya suatu malam, menatap layar hologram yang menampilkan rekonstruksi partikel-partikel asing yang mulai bereaksi tak terduga.

Goom bergeming. “Tapi kita harus tahu. Kita punya kesempatan mengubah dunia.”

“Atau menghancurkannya,” bisik Kaori.

---

Ketegangan itu sempat menjarakkan mereka. Namun justru di tengah konflik, keduanya mulai menyadari: mereka bukan hanya dua ilmuwan yang bersilang ide. Mereka adalah dua manusia yang belajar saling memahami.

Dalam keheningan sebuah malam, di laboratorium yang hanya diterangi lampu monitor, Goom berkata lirih, “Aku rasa... mungkin aku butuh lebih banyak intuisi, bukan hanya angka.”

Kaori memandangnya, lalu tersenyum. “Dan aku belajar... bahwa angka pun bisa membawa kebenaran, jika kita tahu cara mendengarnya.”

Sejak malam itu, mereka tak lagi sekadar menjadi rekan kerja. Sebuah ikatan yang lebih dalam mulai terjalin—berawal dari rasa ingin tahu, tumbuh dalam perdebatan, dan mengakar dalam pengertian.

Mereka tak hanya membangun teori besar bersama. Mereka juga mulai membangun masa depan.

Hari-hari setelah seminar itu berlalu cepat. Meski sibuk dengan kegiatan masing-masing, Goom dan Kaori mulai sering terlihat bersama di ruang riset lantai empat—tempat yang tak banyak dihuni selain oleh mereka yang benar-benar terobsesi pada pencarian kebenaran ilmiah. Dialog mereka tak pernah sekadar percakapan kosong; selalu tajam, penuh tanya, dan sesekali dibumbui dengan sindiran cerdas yang membuat mereka saling tersenyum tanpa sadar.

Kaori Takahashi, yang selama ini dikenal tertutup dan serius, mendadak tampak berbeda setiap kali bersama Goom. Ada rasa penasaran yang tumbuh di balik caranya menatap skema partikel resonansi kuantum milik Goom—bukan hanya terhadap teori, tetapi terhadap sang pencipta teori itu sendiri.

Goom, yang sejak kecil terbiasa sendiri, mendapati dirinya nyaman dalam kehadiran Kaori. Ia mulai mempercayakan catatan-catatan mentahnya, bahkan membiarkannya menulis ulang beberapa formulasi dengan pendekatan algoritma sintetik. Kaori, dengan latar belakangnya di bidang kecerdasan buatan dan neuro-komputasi, memberi warna baru pada pendekatan fisika abstrak Goom yang selama ini hanya hidup dalam angka dan resonansi.

Suatu malam, setelah sesi uji simulasi energi gelombang tak kasatmata yang berlangsung hingga larut, mereka duduk di balkon laboratorium. Angin musim semi membawa aroma bunga sakura dari taman bawah, dan sejenak dunia terasa diam.

"Aku tidak pernah menyangka bisa bekerja dengan seseorang sepertimu," ujar Kaori pelan, menatap langit.

"Karena aku aneh?" Goom tersenyum miring.

"Karena kamu nyata," jawab Kaori. "Dan kadang, itu lebih langka dari jenius."

Goom tidak membalas. Tapi untuk pertama kalinya, ia merasa bahwa pencarian tentang semesta bukanlah perjalanan yang harus ia jalani seorang diri.

Hari-hari berikutnya dihabiskan dengan menyempurnakan struktur Eureka Node. Sistemnya mulai menampakkan respons tak biasa—pola gelombang yang menyerupai denyut biologis, seolah-olah proyek itu mulai memiliki ritmenya sendiri. Goom, yang biasanya kaku dalam menyimpulkan, mulai mempertimbangkan bahwa ada bentuk kehidupan baru dalam korelasi data itu.

“Alex… kamu yakin ini masih ilmiah?” tanya Kaori suatu malam. Di layar, simulasi terbaru menunjukkan pola fraktal yang mirip dengan bentuk gelombang otak bayi dalam fase tidur REM.

Goom menoleh, matanya tajam tapi tenang. “Aku tidak yakin ini sepenuhnya ilmiah, tapi aku yakin ini nyata.”

Kaori menatap layar, lalu menatap pria itu. Ada jarak baru di antara mereka. Bukan karena perasaan memudar, melainkan karena kedalaman pikiran Goom yang mulai menembus tempat yang tidak bisa Kaori jangkau sepenuhnya. Ia mulai menyadari bahwa Goom bukan hanya mengejar pemahaman; ia sedang mencari sesuatu yang bahkan belum memiliki nama.

Dan dalam keheningan malam laboratorium, Kaori bertanya pada dirinya sendiri: jika suatu hari Goom benar-benar menemukan jawaban yang ia cari, apakah tempatnya masih di sisinya—atau justru jauh di luar jangkauan dunia ini?

Saat Kaori dan Goom terus melanjutkan penelitian mereka, mereka mulai mencatat pola yang semakin mengarah pada konsep yang lebih besar, sebuah resonansi—yang lebih dari sekadar fenomena fisik, tetapi juga memiliki dampak psikologis yang mendalam. Mereka menyebutnya Resonansi Awal. Kaori mencatat bahwa saat mereka semakin dekat dengan sumber resonansi tersebut, mereka mulai merasakan "gema" atau "kehadiran" yang tidak bisa dijelaskan, meski tidak terlihat secara fisik.

“Sepertinya… kita tidak hanya sedang meneliti kristal ini,” kata Kaori dengan cemas. “Tapi sesuatu yang lebih tua, lebih mendalam.”

Goom hanya mengangguk. Ia menyadari bahwa apa yang mereka hadapi bukan sekadar fenomena alam biasa. Baginya, ini adalah titik awal dari pencarian yang sudah lama dia rasa akan membawa mereka ke sebuah kesimpulan—yang bahkan ia tak mampu membayangkan sebelumnya.

Pada titik inilah Goom mulai mengaitkan penemuan tersebut dengan "Cosmic Core" yang sering muncul dalam tulisan-tulisan akademik kuno yang dia temui dalam perjalanannya. Core ini, menurut teori-teori yang telah dia baca selama bertahun-tahun, adalah inti dari segala fenomena—sebuah entitas yang telah terpecah menjadi fragmen-fragmen sepanjang sejarah umat manusia.

“Kaori,” kata Goom dengan nada yang berbeda dari biasanya, “ini adalah bagian dari Cosmic Core. Shard yang kita temukan… ini mungkin hanya bagian dari keseluruhan yang lebih besar, yang telah tersebar di berbagai tempat.”

Kaori menatapnya dengan cemas. “Dan kalau itu benar, kita sedang menghubungkan lebih dari sekadar fisika. Kita sedang menghubungkan masa lalu dan masa depan.”

---

Kaori menghabiskan waktu berhari-hari menulis ulang kode utama, menyelaraskannya dengan prinsip gelombang yang diajukan Goom. Sementara itu, Goom mulai mengizinkan dirinya membuka kotak teori yang selama ini ia simpan rapat-rapat, bahkan dari para akademisi besar di Eropa. Mereka menyadari satu hal: pendekatan masing-masing justru saling mengisi.

Namun, di balik keberhasilan itu, benih perasaan perlahan tumbuh. Tatapan yang semula fokus pada layar dan data mulai sesekali saling menangkap pandang. Keheningan antar diskusi bukan lagi kecanggungan, tapi jeda yang hangat. Mereka mulai saling memahami, bukan hanya dalam bahasa teori, tapi dalam bahasa yang lebih dalam dan tak terdefinisikan.

Pada suatu sore yang lembab oleh hujan tipis, Kaori mengajukan satu pertanyaan yang tak pernah Goom sangka akan datang dari seseorang sepertinya.

"Alex... kalau suatu saat teori kita terbukti dan mengubah banyak hal... kau akan tetap di sini?"

Goom menoleh. "Maksudmu?"

"Di sini. Denganku. Atau kamu akan pergi sejauh teori itu membawamu?"

Ia terdiam. Dalam hidupnya yang penuh logika, baru kali itu ia benar-benar harus menimbang perasaan.

"Aku tak pernah merencanakan sejauh itu," katanya akhirnya. "Tapi kalau kamu di sana, mungkin aku akan tetap memilih untuk tidak perg

i terlalu jauh."

Sementara mereka menyelidiki lebih lanjut, informasi yang mereka kumpulkan mulai menunjukkan pola yang tidak hanya terkait dengan fenomena fisika, tetapi juga dengan sejarah yang lebih tua. Ini mengarah pada pemahaman bahwa fragmentasi Cosmic Core terjadi dalam perjalanan waktu, dan resonansi yang mereka temui adalah bagian dari upaya entitas ini untuk bersatu kembali.

Pada saat ini, sebuah peta dunia yang tampak biasa di mata banyak orang, tiba-tiba berubah menjadi kunci. Mereka menemukan bahwa setiap lokasi resonansi shard memiliki hubungan dengan kejadian-kejadian besar dalam sejarah manusia—seperti runtuhnya peradaban-peradaban kuno, bencana alam, dan kemajuan teknologi yang tidak pernah terjelaskan.