Pola Yang Tak Terlihat

Malam semakin larut, dan angin dingin berhembus melalui celah kecil di jendela yang tak bisa tertutup rapat. Di dalam kamar sempit yang hanya diterangi oleh cahaya redup dari lampu meja yang bergetar pelan, Alex duduk bersila di lantai, dikelilingi oleh tumpukan buku-buku tebal dan kertas-kertas penuh coretan.

Di meja kayu kecil di pojok kamar, buku-buku fisika dan kosmologi yang sebagian besar ia pinjam dari perpustakaan desa berserakan. Lampu meja, yang hampir redup, menerangi wajah Alex yang tampak serius, seakan setiap kata dalam buku-buku itu adalah petunjuk menuju jawaban yang ia cari.

Tangannya bergerak cepat, menggambar gelombang-gelombang, menulis rumus-rumus yang tak dimengerti orang lain. Setiap halaman penuh dengan sketsa dan coretan yang menghubungkan teori-teori besar, yang Alex rasakan lebih dari sekadar sekumpulan kata-kata rumit.

Alex (pelan, berbicara pada dirinya sendiri):

“Kalau semua ini bergerak dengan pola, maka ada irama yang lebih dalam. Irama yang tak terlihat, tapi bisa dihitung.”

Ia menatap coretan di halaman terakhir—persamaan yang masih belum lengkap. Namun, meski ada kekosongan, Alex tahu bahwa ada sesuatu yang lebih besar, sesuatu yang harus diungkap, meski tak ada yang mengerti. Dunia ini, menurutnya, bergerak dengan pola, dan ia harus menemukan pola itu.

Di luar, suara alam semakin jauh terdengar—gemerisik dedaunan, hembusan angin, kadang ada gonggongan anjing. Alex mendengarnya dengan cara yang berbeda. Baginya, semua itu adalah bagian dari simfoni alam yang hanya bisa dipahami oleh mereka yang cukup tenang untuk mendengarnya.

Tiba-tiba, ada ketukan pelan dari pintu.

Ibu (dari luar):

“Lex, kamu belum tidur? Besok pagi kita masih harus bangun lebih awal. Kamu ingat kan?”

Alex buru-buru menutupi kertas-kertasnya dengan buku, bukan karena ada yang harus disembunyikan, tetapi lebih pada refleks. Tak jarang ia merasa bahwa semua itu—semua teori yang ia tulis—masih terlalu jauh dari pemahaman orang lain.

Alex:

“Iya, Ma... bentar lagi.”

Ibunya masuk, menaruh segelas air putih yang agak keruh di samping tumpukan buku. Dengan tatapan yang campur aduk—khawatir tapi juga bangga—ia memandang anaknya yang masih terfokus pada buku dan kertasnya.

Ibu:

“Mama nggak ngerti kenapa kamu suka banget baca buku-buku susah begini. Tapi jangan lupa tidur, ya. Besok pagi kita mesti bangun lebih awal.”

Alex (tersenyum lelah, tetap fokus pada kertasnya):

“Aku juga nggak ngerti, Ma. Tapi rasanya ada yang belum selesai di sini.”

Ibunya terdiam sejenak. Ia tak mengerti maksud semua teori itu, tetapi ia tahu satu hal—anaknya ini berbeda. Lebih dari sekadar suka membaca, lebih dari sekadar keinginan untuk belajar.

Ibu (dengan suara lembut, namun penuh perhatian):

“Kalau kamu merasa itu penting, teruskan saja, Lex. Tapi jangan lupakan dunia nyata juga. Nasi harus tetap dimasak.”

Alex mengangguk pelan, menyadari bahwa kata-kata ibunya benar. Dunia nyata memang penting, namun ada sesuatu dalam dirinya yang merasa dunia ini lebih dari sekadar apa yang tampak.

Alex (menulis perlahan, hampir tanpa suara):

“Iya, Ma... kadang dunia nyata juga butuh dijelasin. Biar nggak terasa asing.”

Ibunya tersenyum tipis, mematikan lampu ruangan utama, lalu menutup pintu dengan pelan.

Kembali sendirian, Alex duduk diam, merenung sejenak. Di hadapannya ada halaman kosong, yang tampaknya menunggu untuk diisi dengan lebih banyak pengetahuan. Ia menarik napas panjang, lalu kembali menulis.

Alex (dalam hati, menulis perlahan):

“Mungkin suara itu bukan berasal dari luar. Tapi dari sesuatu yang lebih dalam... dari dunia itu sendiri.”

Dengan kalimat itu, Alex merasa ada sedikit penemuan baru, meski itu hanyalah sebuah pertanyaan. Tanpa alat canggih, tanpa komputer, hanya buku-buku pinjaman dan kertas bekas, ia merasa seolah-olah ada pola yang lebih besar, yang hanya bisa ditemukan oleh mereka yang cukup sabar dan tekun untuk mencarinya.

Dan malam itu, Alex tahu bahwa meskipun dunia sekitarnya tampak sederhana, pikirannya telah jauh melampaui itu, menjelajah ke arah yang bahkan tak terbayangkan oleh orang-orang di sekitarnya.