Di usia tiga tahun, Alexander Goom bukanlah anak yang suka berlari-lari di halaman. Ia tidak tertarik pada mobil-mobilan, tidak peduli pada teriakan keceriaan anak-anak tetangga. Ia lebih senang duduk diam di dekat jendela, memandangi pergeseran cahaya matahari, atau gerakan dedaunan yang terayun pelan oleh angin.
Ibunya, Elise, sempat khawatir. “Alex terlalu sunyi,” gumamnya pada suaminya suatu malam. “Anak seusianya harusnya lebih ramai.”
Tapi bukan berarti Alex tak bicara. Ia bisa. Dan saat ia memilih bicara, kalimatnya sering membuat orang dewasa terdiam.
“Ibu, kenapa bayangan selalu lebih panjang saat sore? Apa lampunya dunia ada di pinggir?”
Itu ia ucapkan saat usia empat tahun. Tak disertai senyum, tak pula berharap jawaban. Seolah ia hanya sedang menaruh pertanyaan itu di udara.
Di rumah, mainan favoritnya adalah puzzle dan balok kayu. Ia menyusunnya berulang-ulang dalam bentuk simetris. Ia mencatat pola. Kadang ia membuat coretan bentuk aneh di dinding, lalu menatapnya lama seperti sedang membaca buku rahasia.
---