"Ini bukan hanya sinyal biasa," kata Prof. Goom dengan suara tenang namun penuh ketegasan. "Ini adalah resonansi, gelombang yang dipancarkan dari sumber yang sangat terstruktur. Dan sumbernya, berada di kedalaman yang lebih dalam dari apa yang kita pikirkan."
Kepala-kepala yang hadir di ruang rapat saling berpandangan, sebagian terkejut, sebagian lagi tampak ragu.
"Apakah Anda yakin tentang itu?" seorang petinggi bertanya, tidak bisa menahan rasa curiga di matanya. "Sinyal ini bisa berasal dari banyak kemungkinan. Tidak ada yang pasti."
Prof. Goom tidak terburu-buru. Dia mengarahkan jari telunjuknya ke layar yang menampilkan pola gelombang sinyal. "Tidak ada yang pasti, memang. Tapi saya dapat merasakannya. Ini adalah resonansi dari lapisan terdalam es Siberia, dan ini bukan kebetulan. Ini adalah komunikasi, mungkin lebih tepatnya, sebuah pesan."
Seorang petinggi yang tampaknya tidak mengenal Prof. Goom, menatapnya dengan nada sarkastis. "Siapa Anda? Apakah Anda sedang mendongeng atau memberi kuliah filsafat di sini?"
Kelahiran sang jenius
Jerman 27 Tahun yang lalu
Ruangan itu terasa semakin sempit seiring dengan semakin beratnya napas Elise. Hanya ada suara detak jantung Hans yang cepat, berpadu dengan napas Elise yang terengah-engah. Di bawah cahaya temaram lampu minyak, dinding kamar seakan memantulkan kecemasan mereka yang menebal. Saat itu, setiap detik terasa seperti seratus tahun.
Elise menggigit bibir bawahnya, menahan rasa sakit yang mengalir tak tertahankan melalui tubuhnya. Di setiap kontraksi, wajahnya meringis, tangan yang memegang erat lengan Hans bergetar. Keringat menetes di pelipisnya, tetapi dia tidak mengeluh. Keheningan yang berat hanya dipatahkan oleh suara napas mereka yang semakin cepat, sesekali terdengar erangan rendah dari Elise. Hans menggenggam tangannya dengan lembut, meski jari-jarinya terasa kaku, berusaha memberikan kenyamanan yang tak bisa ia ungkapkan.
“Kita hampir sampai, Elise... bertahanlah,” Hans berbisik, meski suaranya lebih terdengar seperti doa daripada sebuah janji.
Di samping mereka, kain bersih dan perlengkapan kelahiran terlipat rapi, seakan menunggu saat-saat yang penuh harapan. Namun, ketegangan di udara lebih jelas daripada segala hal yang tampak teratur di dalam kamar itu. Hans menatap Elise, tidak dapat menutupi kegelisahannya. Bagaimana rasanya, menjadi begitu tak berdaya di hadapan seorang wanita yang berjuang untuk kehidupan baru?
Tiba-tiba, Elise menggenggam tangan Hans lebih kuat. “Hans...!” suaranya terputus oleh rasa sakit yang datang begitu mendalam. Wajahnya memucat, dan keringat membasahi lehernya. Hans hampir panik, tapi ia berusaha tetap tenang.
“Coba tarik napas dalam-dalam,” Hans berkata, namun ia tahu kata-kata itu terasa hampa. Tidak ada yang bisa meredakan rasa sakit yang dirasakannya. Ia hanya bisa melihat, tak berdaya.
“Ini... hampir selesai...” kata Elise dengan suara pelan, penuh kelelahan. Namun di balik kata-kata itu, ada rasa semangat yang tak ingin padam. Dia berusaha fokus, berusaha menenangkan dirinya sendiri, meski tubuhnya terus bergetar.
Keheningan seakan menekan mereka, hanya diselingi oleh suara napas berat dan detak jantung yang semakin kencang. Waktu terasa berhenti, namun tak ada yang bisa menghentikan apa yang sedang terjadi.
Dan kemudian, dengan suara perih yang luar biasa, bayi itu akhirnya menangis. Lembut pertama kali, namun semakin keras, merobek keheningan ruangan. Hans menatap Elise, matanya terbuka lebar, tak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. Bayi mereka, yang dengan susah payah telah datang ke dunia ini, kini menangis keras. Tangisan pertama itu membawa rasa lega yang luar biasa bagi Hans, meskipun perasaan campur aduk masih menguasainya.
Bayi itu terbungkus dengan kain bersih, tangan Hans menggenggamnya dengan hati-hati, takut bahwa sentuhan apa pun bisa menghancurkan keajaiban yang baru saja mereka alami. Ketegangan yang membungkusnya pelan-pelan mengendur saat ia merasakan berat kecil tubuh bayi di pelukannya.
“Dia... dia lahir...” kata Elise, suara yang sangat lemah, namun penuh harapan. Ada kebahagiaan yang tertahan dalam kata-katanya, seperti beban yang akhirnya terlepas.
Hans menunduk, dan matanya bertemu dengan bayi mereka yang menangis itu. Perlahan ia mengangkat bayi kecil itu, mengamati wajah mungil yang mulai mereda. Ada kehangatan dalam pelukannya, namun itu bukan hanya karena kehadiran sang bayi. Itu adalah harapan yang terlahir bersama dengan suara tangisan itu.
“Selamat datang di dunia ini, anakku,” bisik Hans, suaranya bergetar.
Elise menatap bayi itu, matanya berkaca-kaca, mulutnya terkatup rapat untuk menahan tangis. Di dalam hatinya, ada perasaan yang sangat sulit diungkapkan. Sakit dan kebahagiaan bercampur menjadi satu. Kini, segala rasa lelah dan takut itu terasa seolah tak berarti.
Bayangan masa depan tak terucapkan mengambang di udara. Di tengah keheningan malam yang semakin mendalam, dalam ruang kecil ini, kelahiran seorang anak membawa janji tentang masa depan—masa depan yang tak terduga, dan penuh harapan.
Namanya Alexander Goom seorang Dari keluarga sederhana yg hidup dalam keterbatasan secara financial tetapi memiki potensi yang diluar pemahaman manusia normal.
> “Bayi ini lahir bukan hanya sebagai seorang anak, tetapi sebagai bagian dari keluarga yang terus berjuang, dengan harapan bahwa meskipun hidup penuh keterbatasan, ada sesuatu yang lebih besar yang akan datang dari dirinya. Sebuah harapan kecil yang tidak tampak, namun ada di setiap helaan napas yang dia ambil.”