Alex duduk di lantai, dikelilingi oleh potongan-potongan puzzle yang tersebar di sekelilingnya. Tangannya yang kecil dengan lincah memutar potongan-potongan puzzle, mencoba mencari tempat yang tepat untuk setiap bagian. Suara riang dari ibu dan ayahnya yang berbincang di latar belakang tak mengganggu konsentrasinya. Sesekali, ia menoleh ke arah mereka, tersenyum, lalu kembali dengan serius ke puzzle di depannya.
Elisabeth, ibu Alex, duduk di dekatnya, memandangi putranya dengan penuh perhatian. "Alex, kamu hampir selesai, ya?" tanyanya sambil tersenyum lembut.
Alex hanya mengangguk dengan ekspresi serius, matanya fokus pada potongan puzzle yang ada di tangannya. Ia mengatur potongan puzzle terakhir dengan hati-hati, lalu menaruhnya di tempat yang tepat. Dalam sekejap, gambar di hadapannya terbentuk sempurna.
"Wow! Luar biasa, Alex!" kata Elisabeth dengan kagum. Ia membelai rambut Alex yang acak-acakan. "Kamu bisa melakukannya dengan cepat sekali!"
Alex menoleh sebentar, matanya yang besar menatap ibunya. Wajahnya tenang, meskipun tetap terfokus pada puzzle yang baru saja diselesaikannya. "Pusing...," ujarnya dengan suara pelan, namun penuh keyakinan, "Mau coba yang lebih susah."
Elisabeth tertawa kecil, meski hatinya sedikit cemas. Ia tahu anaknya berbeda dari anak-anak lain. Alex selalu memiliki cara melihat dunia yang tenang dan penuh perhatian terhadap hal-hal kecil, bahkan saat dia masih begitu muda.
Hans, yang sedang duduk di meja makan sambil membaca koran, mendengar percakapan mereka dan mengalihkan pandangannya ke arah Alex. "Apa itu, Nak? Puzzle lagi?" tanyanya dengan nada santai.
Alex hanya mengangguk dengan antusias. Ia menunjuk sebuah potongan puzzle yang belum tersusun. "Ini, di sini," katanya dengan cara yang sangat serius.
Hans mengerutkan kening, ragu, namun kemudian mengambil potongan yang ditunjukkan Alex dan mencoba meletakkannya. Setelah beberapa saat, ia melihat potongan itu pas di tempat yang ditunjukkan oleh Alex. "Hmm, kamu memang pintar, ya," kata Hans sambil tersenyum, sedikit terkesan.
Namun, ekspresi Alex tak berubah. Ia tetap memandang potongan-potongan puzzle itu dengan serius, seperti ada sesuatu yang lebih besar sedang berputar dalam pikirannya. Elisabeth mengamati anaknya dengan tatapan lembut.
"Tunggu, Alex," kata Elisabeth, mendekatkan dirinya ke anaknya. "Kenapa kamu tidak berbicara lebih banyak dengan kami? Ada yang ingin kamu katakan?"
Alex berhenti sejenak, menatap ibunya dengan mata yang tajam. "Dunia ini... berputar," katanya dengan suara pelan, tapi penuh keyakinan, "Kalau kita lihat, kita bisa tahu... mau ke mana."
Elisabeth terkejut mendengar kata-kata itu. "Kamu ingin tahu ke mana dunia ini berputar, Alex?" tanyanya dengan hati-hati, berusaha memahami apa yang sedang dipikirkan anaknya.
Alex hanya mengangguk pelan, matanya kembali melirik puzzle yang telah selesai di depannya. Wajahnya tenang, seolah ia baru saja memecahkan lebih dari sekadar teka-teki biasa. Elisabeth merasa ada sesuatu yang lebih besar yang sedang dipikirkan anaknya, meskipun ia masih begitu kecil.
Hans yang mendengar percakapan itu hanya tersenyum dengan cara yang lembut, meskipun dalam hatinya ia bertanya-tanya, sejauh apa pemikiran anaknya itu bisa berkembang.
Di ruangan itu, di tengah potongan-potongan puzzle yang tergeletak di lantai, Alex duduk dengan tenang, seperti seseorang yang sedang memecahkan teka-teki dunia, meskipun usianya baru tiga tahun