Aurora dan Kecurigaan

Malam itu, Prof. Goom berdiri sendirian di tebing es yang sunyi, di mana angin Antartika berhembus tanpa ampun. Di atas kepalanya, aurora borealis menari-nari dalam spektrum warna hijau dan ungu yang magis, membelah langit kutub yang gelap. Pemandangan itu seharusnya menenangkan, namun hati Goom terasa berat, seberat es yang membekukan rahasia kuno di bawah kakinya. Tangannya memutar-mutar alat sensor genggamnya, memutar ulang rekaman sinyal Shard-3 yang ia simpan secara diam-diam—sebuah tindakan antisipatif yang kini terbukti krusial.

Tak lama kemudian, Kaori menghampirinya, menyelubungi tubuhnya dengan mantel tambahan untuk melawan dingin yang menusuk. Ia berdiri di samping Goom, matanya menatap ke langit, namun pikirannya jelas tertuju pada kekacauan yang terjadi di pangkalan.

“Terlalu banyak lubang di dalam tim ini,” kata Kaori lirih, suaranya nyaris tenggelam oleh deru angin. "Siapa sebenarnya yang bisa kita percaya?"

Goom tidak langsung menjawab. Matanya yang nanar masih memandangi tarian aurora, seolah mencari jawaban di antara bintang-bintang. Pertanyaan Kaori bergema di benaknya, namun ia tahu jawabannya jauh lebih rumit daripada sekadar nama.

“Tak ada,” katanya akhirnya, suaranya serak dan lelah. Keyakinan yang selalu terpancar darinya kini digantikan oleh keraguan yang mendalam. “Bahkan aku pun… tak yakin aku bisa mempercayai diriku sendiri.”

Pengkhianatan itu mengguncang fondasi kepercayaan, tidak hanya antar rekan, tetapi juga pada intuisi diri sendiri. Misteri Shard-3 yang hilang, data yang dicuri, dan gangguan komunikasi global menunjuk pada satu kesimpulan mengerikan: ada musuh dalam selimut, dan mereka selangkah lebih maju.

Di balik kegelapan yang pekat, jauh dari pandangan mereka yang terfokus pada langit, sesosok siluet berjalan perlahan meninggalkan pangkalan. Langkahnya mantap, mengukir jejak di salju yang baru turun. Di tangannya tergenggam sebuah koper logam hitam—berat, dan berisi sesuatu yang kini mulai hidup, berdenyut pelan dalam kegelapan yang dingin.