Fajar pertama di pondok tebing menyambut Mo Tian dengan embusan angin tajam. Kabut menggantung rendah, menyelimuti lereng dan rerumputan liar yang tumbuh tak terurus. Di sisi barat pondok, sebuah lahan berbatu dan kosong terbentang—tempat latihan murid buangan.
Ia duduk di atas tikar jerami yang tipis. Di hadapannya, sebuah batu kecil berwarna hijau buram—Batu Penyerap Qi Dasar, alat paling sederhana yang digunakan untuk merasakan dan menarik energi spiritual dari alam.
Bagi murid biasa, latihan ini hanya butuh setengah hari untuk berhasil merasakan Qi pertama.
Namun baginya...
Sudah dua hari dua malam berlalu.
Tidak ada satu pun aliran Qi yang meresap ke dalam tubuhnya.
Bahkan ketika ia mengikuti setiap instruksi dari gulungan kitab: mengatur napas, menenangkan jiwa, membuka titik meridian, dan membiarkan Qi masuk perlahan… tidak ada yang terjadi.
Tidak satu denyut pun.
Tubuhnya terasa seperti bejana retak—Qi masuk, lalu lenyap, tidak meninggalkan jejak. Setiap kali ia berhasil mengumpulkan sedikit, seolah ada kekuatan aneh di dalam tubuhnya yang menyerap dan menghilangkannya.
Mo Tian tidak mengeluh. Tidak mengutuk.
Ia hanya kembali duduk tegak, menarik napas, lalu mencoba kembali dari awal.
“Tarik napas... tahan... lepaskan...” ucapnya sendiri dalam lirih.
Jam berganti menjadi hari.
Tubuhnya mulai lemas. Bibir kering. Otot-ototnya menegang karena terlalu lama duduk bersila. Tapi dalam kesadarannya yang setengah kabur, sesuatu terjadi.
“Di balik kesunyian, terkubur sesuatu yang bukan milik dunia ini…”
Suara itu tak jelas dari mana datangnya. Dalam kehampaan meditasinya, ia melihat sekelebat bayangan. Sebuah pintu—besar, hitam, dan tertutup rapat—berdiri dalam kehampaan pikirannya.
Dan di bawah pintu itu, muncul retakan kecil…
Mo Tian tersentak.
Matanya terbuka. Batu hijau di hadapannya mengeluarkan cahaya samar. Sangat lemah. Tapi cukup untuk memberitahunya satu hal:
Dia… berhasil menarik satu helai Qi.
Bukan seperti murid lain yang bisa menyerap dalam jumlah banyak. Bukan aliran. Bahkan bukan setetes.
Hanya sehelai tipis Qi.
Namun bagi Mo Tian… itu cukup.
Ia merasakan sensasi aneh di dalam tubuhnya. Seperti kabut halus yang bergerak, mencari jalan menuju pusat tubuh. Tapi sebelum sempat ia arahkan ke dantian, Qi itu menghilang… lenyap begitu saja.
Namun kali ini… ia tahu ke mana perginya.
Sesuatu di dalam tubuhnya… menelannya.
"Apakah… tubuh keduaku… mencoba bangkit?" pikir Mo Tian lirih.
Namun ia menggeleng. Fokus utamanya saat ini adalah menempuh jalur biasa, bukan membangunkan tubuh kedua.
Ia berdiri perlahan, memandang batu hijau di tangan dengan sorot tekad yang baru.
“Aku akan menyerap Qi… walau hanya sehelai demi sehelai. Jika seribu helai dibutuhkan untuk membentuk dantian… maka akan kutarik seribu kali dengan tanganku sendiri.”
Di kejauhan, murid-murid lainnya sudah menembus Qi Tahap 1 hanya dalam hitungan hari.
Tapi di pondok tebing yang jauh dari kemegahan sekte…
Mo Tian, sang murid buangan, memulai jalur kultivasi paling lambat dalam sejarah.
Namun ia berjalan…
Langkah demi langkah. Helai demi helai.