Langit Lembah Batu Tua mulai berubah warna. Senja menyelimuti langit dengan kilau merah tua, sementara angin menggiring aroma lembap dari rerumputan dan kayu lapuk. Di tengah lembah yang luas itu, sebuah panggung kayu sederhana berdiri, dikelilingi murid-murid berpakaian biru pucat—simbol mereka yang belum menembus Tahap Pertama Qi.
Mo Tian berdiri paling belakang. Pakaiannya lebih lusuh, tak bersulam lambang sekte, tanpa pita tingkatan. Bahkan tidak ada yang tahu dia bagian dari pelatihan resmi.
“Si itu masih hidup rupanya…”
“Heh, kabarnya dia belum juga bisa mengaktifkan dantiannya. Bahkan hewan spiritual bisa lebih cepat darinya.”
Bisik-bisik menusuk itu bukan baru pertama ia dengar. Tapi hari ini, suaranya lebih tajam. Karena hari ini, ujian tahap dasar akan dimulai—Pemurnian Qi Pertama. Ujian yang menentukan siapa boleh tetap tinggal… dan siapa akan dikeluarkan dari jalur murid luar.
Di hadapan mereka berdiri Elder Qing Shan, seorang pria kurus dengan jubah hijau dan mata tajam yang menyapu semua murid tanpa senyum.
“Waktu kalian di Lembah Batu Tua hampir habis. Hari ini, hanya yang berhasil memurnikan Qi pertama yang akan kami kirim ke Pelataran Qi Merah. Yang gagal…”
Matanya berhenti pada Mo Tian, meskipun tak menyebut nama.
“…akan dipulangkan. Atau dibuang ke Gunung Mayat, jika mereka bersikeras tetap di sini.”
Sebagian murid menelan ludah. Sebagian lainnya menyeringai—seperti sudah tahu siapa yang dimaksud.
Ujian dimulai.
Setiap murid diberi Batu Qi Penuntun, dan diminta duduk bersila di atas Lingkaran Spiritus, menarik Qi, dan memusatkannya ke dantian.
Mo Tian menunggu gilirannya.
Satu per satu murid berhasil. Beberapa hanya butuh dua napas. Yang lainnya lima. Bahkan yang lambat pun hanya setengah cangkir teh.
Lalu… giliran Mo Tian.
Semua mata tertuju padanya. Tidak ada yang berkata, tapi tatapan mereka sudah cukup jelas: hiburan dimulai.
Ia duduk, memegang batu di tangan.
Menarik napas.
Fokus.
Gelap.
Dalam kehampaan kesadarannya, Mo Tian kembali melihat pintu hitam raksasa itu. Kini retakannya lebih jelas, dan dari celahnya… sebuah cahaya lembut keluar, seperti nyala lentera dari dunia asing.
Namun kali ini, ia tidak mendekati pintu itu.
Ia memalingkan arah. Kembali ke pusat tubuhnya. Menuntun helai-helai Qi yang terpecah itu, meski perlahan, menuju pusaran kecil di bawah pusarnya.
Dan saat itulah…
Sebuah getaran muncul.
Lemah… namun nyata.
“Dia… sedang membentuk pusaran Qi!” seru salah satu murid.
Elder Qing Shan mengangkat alis. “Tidak mungkin…”
Dari batu Qi Penuntun, cahaya biru pucat menyala. Tidak secerah murid lain. Bahkan tergolong redup.
Namun jelas.
Mo Tian… berhasil memurnikan Qi pertamanya.
Namun belum sempat ia bangga, batu di tangannya retak. Aura Qi yang tadi masuk… mendadak tersedot ke arah meridiannya lalu menghilang begitu saja.
“Aneh. Qi-nya lenyap…” bisik Elder Qing Shan pelan.
Mo Tian membuka matanya.
Ia tahu apa yang terjadi.
Tubuh kedua… menyerapnya lagi.
Ia menggenggam ujung bajunya, menunduk.
Bukan karena malu… tapi karena ia tidak bisa menunjukkan keberadaan tubuh itu.
Namun meskipun Qi itu lenyap, Elder Qing Shan tetap mengangguk perlahan. “Kau lolos. Tapi hanya karena kau menyentuh batas minimum.”
Mo Tian tidak menjawab.
Langkah pertamanya… meski goyah… telah diakui.
Namun dari kerumunan murid, sepasang mata tajam mengawasinya diam-diam. Seorang murid bernama Lu Jing, anak ketiga dari Penatua Lu, memicingkan mata. “Kenapa anak rendahan itu tidak dibuang saja? Aku tidak suka caranya menyerap Qi… terlalu aneh…”
Di malam harinya, Mo Tian kembali ke pondok. Tapi sebelum ia masuk, ia mendapati seikat surat bambu terselip di bawah pintu.
Isinya hanya satu kalimat:
“Jika kau ingin tahu mengapa kau tak bisa menyerap Qi secara normal… datanglah ke Gua Batu Tua, malam ini. Sendiri.”
Matanya menyipit.
Langkah-langkah berikutnya… akan dipenuhi jebakan.