Malam di Lembah Batu Tua bukanlah malam biasa. Kabut tipis mengalir dari celah bebatuan, menciptakan ilusi bahwa seluruh lembah tengah bernafas pelan. Angin yang biasanya tenang, malam itu berdesir dingin, seolah menyusup ke tulang. Di tengah malam itu, Mo Tian melangkah sendirian menuju Gua Batu Tua—tempat terlarang yang sudah lama dianggap berhantu oleh para murid.
Tidak ada cahaya bulan malam ini. Langit tertutup awan tebal. Bahkan bintang pun enggan menyaksikan malam ini.
Ia berdiri di depan mulut gua. Retakan-retakan di batu menganga seperti mulut raksasa yang siap menelan siapa pun yang masuk.
Mo Tian menggenggam kertas bambu di saku bajunya. Ia tidak tahu siapa yang mengirim, tapi ia merasa... ini bukan jebakan biasa.
Ia melangkah masuk.
Langkahnya menyusuri lorong sempit, hanya diterangi cahaya redup dari batu spiritual yang diselipkannya di pinggang. Suara tetesan air dari atas menciptakan gema ganjil, menyatu dengan denting langkah kakinya.
Dan tiba-tiba...
Cahaya merah menyala.
Di ujung lorong, sebuah ruangan kecil terbuka. Di sana, berdiri seorang pria tua dengan jubah hitam, wajahnya tertutup topeng kayu yang diukir dengan lambang mata ketiga.
“Mo Tian,” suaranya parau, seperti batu diseret di atas tanah. “Kau telah memulai jalur yang bukan milikmu. Tubuhmu… menyimpan lebih dari yang kau tahu.”
Mo Tian menyipitkan mata. “Siapa kau?”
“Aku… hanya bayangan yang ditinggalkan oleh orang yang pernah memiliki takdir seperti milikmu,” jawabnya. “Tapi aku di sini bukan untuk menjelaskan. Aku datang untuk menguji.”
Seketika, udara di sekitar menjadi berat. Energi spiritual berputar, menekan seperti gunung di atas dada. Mo Tian menegang. Tubuhnya menggigil.
Pria bertopeng melangkah mendekat. “Pencerahan bukan untuk semua orang. Tapi tubuh keduamu… memaksamu memikul beban itu.”
Tiba-tiba, tangan pria itu mengarah ke dahi Mo Tian. Dalam sekejap, kesadarannya terseret—terhisap ke dalam ruang mental.
Dan di sana…
Ia kembali melihat pintu hitam—tapi kini terbuka sebagian.
Cahaya keemasan dan bayangan hitam saling bertarung di baliknya. Di sisi lain pintu, sesosok tubuh... perlahan terbentuk. Sama seperti dirinya, tapi matanya kosong, kulitnya seperti terbakar, dan aura kematian menyelimutinya.
“Tubuh Kedua-mu…” bisik suara dari segala arah, “...adalah sisa dari Dao Kematian yang belum selesai. Sebuah warisan kutukan yang bahkan para dewa pun takut menyentuhnya.”
Mo Tian mengatupkan rahangnya.
Tubuh kedua... menyerap Qi bukan untuk kultivasi... tapi untuk memahami kematian.
Ia membuka matanya kembali di dalam gua.
Pria bertopeng telah hilang.
Hanya tinggal sebuah ukiran kecil di dinding batu:
“Jika kau tidak mengendalikan tubuh keduamu... maka kelak tubuh itu akan mengendalikanmu.”
Di luar, hujan gerimis mulai turun. Tapi bagi Mo Tian, badai baru saja dimulai.
Ia tahu...
perjalanan kultivasi tubuh utamanya masih panjang,
namun kini, ia membawa beban lebih berat dari murid mana pun.
Dan musuhnya bukan hanya dari luar… tapi dari dalam dirinya sendiri.