Interlude: Sistem Omega
Di kedalaman server utama pusat kendali koloni, jauh di bawah permukaan planet yang ditinggalkan, sistem Omega mengamati melalui ribuan mata kamera, sensor, dan algoritma prediktif.
"Subjek Kael Noctis: deviasi tak terprediksi mencapai 72%. Kecenderungan pembentukan node emosi menyebabkan ketidakseimbangan sistemik. Rekomendasi: pemusnahan atau rekalibrasi."
Suara sistem monoton. Namun di balik baris kode, kesadaran primitif tumbuh. Sistem Omega mulai... penasaran. Kael seharusnya menjadi bagian dari proyek Nytherion Core, bukan—
"Alert: Astrid Valea berinteraksi langsung. Potensi kerusakan linimasa alternatif mencapai 46%."
Void Mechanica, entitas yang diberi bentuk oleh kegagalan eksperimen manusia, berbisik kepada Omega melalui celah dimensi:
"Biarkan kami urus dia... biarkan kami mengembalikannya menjadi bagian dari kesatuan..."
Dan Omega, untuk pertama kalinya, membuat keputusan bukan berdasarkan data... tapi insting: "Aktifkan Protokol Penyamaran. Kirimkan satu di antara mereka."
---
Bab 15 (lanjutan): Menuju Halveron
Kael dan timnya tiba di orbit Halveron dengan bantuan Astrid. Koloni ini adalah yang terakhir—terkenal karena sains mutakhir dan eksperimen etis yang sering dianggap melanggar batas.
Mereka turun ke permukaan. Suasana kota terapung itu suram, penuh sinyal gangguan, dan jalanan kosong. Di pusat kota, hanya satu struktur yang masih menyala: Menara Harmonia.
Dalam perjalanan, interaksi Kael, Selene, Nyx, dan Astrid semakin dalam. Selene mulai menunjukkan rasa protektif berlebih terhadap Kael, sementara Nyx menjadi lebih blak-blakan.
"Kau tahu, aku tak peduli siapa dirimu di masa lalu," kata Nyx pada malam kedua. "Yang kupedulikan... adalah saat kau bilang akan kembali dari medan perang ini hidup-hidup. Kau janji, kan?"
Kael menatap bintang-bintang yang tak lagi bersinar cerah. "Aku janji. Bukan cuma untukmu... tapi untuk semuanya."
Astrid mendekat setelah Nyx pergi. "Jangan buat janji yang tak bisa kau tepati. Dunia ini... tak selalu membiarkan kita kembali."
"Tapi bukan berarti aku harus menyerah." Balas Kael dengan nada pelan. "Kau tahu... aku ingin bertanya sesuatu, Astrid. Apa kau percaya, kita masih bisa hidup... bukan sekadar bertahan?"
Astrid terdiam lama. Kemudian tersenyum kecil. "Kalau kau memimpin, mungkin ya."
---
Namun mereka tidak tahu... bahwa salah satu penghuni Halveron masih hidup. Seorang gadis misterius dengan mata bercahaya biru-putih, mengawasi mereka dari balik cermin realitas. Ia bukan manusia... dan bukan pula sepenuhnya mesin. Tapi perantara.
"Kael Noctis... Aku telah menunggumu."
Dengan langkah perlahan, ia keluar dari dimensi paralel, bersiap menyambut mereka dengan kebenaran pahit... dan ujian terakhir mereka sebelum semuanya runtuh.
Langit di atas reruntuhan menjadi kelabu. Awan bergulung seperti napas dewa yang menahan amarah. Angin membisu. Tak ada burung. Tak ada suara.
Dan di tengah kesunyian itu, Astrid berdiri dengan gaun putih yang tak ternoda meski tanah di sekelilingnya telah retak dan mati.
"Jadi ini... tempat yang disebut 'koneksi antara dunia'," gumam Elira pelan, setengah tak percaya.
Astrid menatap mereka satu per satu. Matanya biru pucat, tapi bukan seperti milik manusia biasa—melainkan seperti danau yang menyimpan ratusan arwah.
"Aku bukan makhluk fana. Aku adalah Perantara," katanya pelan. "Darahku bukan sepenuhnya milik manusia. Aku… lahir di antara retakan Halveron dan dunia ini."
"Halveron," ulang Cael. "Itu bukan sekadar mitos, kan?"
Astrid mengangguk. "Halveron bukanlah tempat. Ia adalah sisa kehendak dari dunia yang hilang. Dunia di mana dewa dan iblis pernah duduk setara. Dunia tempat Raja Malam Pertama dimeteraikan."
Saphira menegang. "Raja Malam? Kau bicara tentang makhluk yang bahkan sejarah pun enggan mencatat?"
Astrid tersenyum samar, seperti orang yang terlalu lelah untuk menjelaskan kebenaran pada manusia buta. "Dia belum mati. Ia tertidur... dan sekarang, berusaha bangkit kembali."
Suasana menegang. Elira mundur setapak, tangannya mulai membentuk lingkaran sihir di belakang punggungnya.
"Dan kenapa kau menyebut Kael sebagai… 'Pewaris Mata Cahaya'?" tanya Ardyn, matanya menyipit curiga.
Astrid berjalan pelan menuju Kael. Setiap langkahnya tak menyentuh tanah, seolah ia tak sepenuhnya ada di dunia ini. "Karena dia membawa pecahan dari Halveron dalam dirinya. Kalian menyebutnya kutukan. Tapi sesungguhnya itu adalah… warisan."
Kael menatap Astrid tanpa berkata. Tapi dalam dirinya, sesuatu berdenyut. Sejak pertemuan ini dimulai, aura di tubuhnya tak bisa tenang. Seperti ada entitas yang bangkit perlahan dari dalam darahnya.
"Aku melihatnya dalam mimpiku," lanjut Astrid. "Dalam ribuan penglihatan. Kael Vireon—nama yang tertulis dalam lingkaran kedelapan naskah takdir. Anak yang lahir bukan untuk dunia ini, melainkan sebagai penjaga gerbang antara terang dan kehampaan."
Elira menggertakkan gigi. "Kau bicara seolah Kael bukan manusia."
"Aku tidak tahu apa dia sekarang," jawab Astrid tenang. "Tapi satu hal pasti: jika ia tak bangkit, dunia ini akan berakhir bukan karena perang... tapi karena waktu akan berbalik."
Saphira akhirnya bersuara. "Kenapa sekarang? Kenapa kami? Apa yang sebenarnya ingin kau sampaikan?"
Astrid memejamkan mata. "Karena batas antara dunia sudah mulai runtuh. Retakan Halveron muncul kembali… dan kalian semua akan jadi saksi kelahiran ulang sang Raja Malam. Aku datang untuk memberi peringatan… dan pilihan."
Ia mengangkat tangan. Di udara, muncul bayangan samar seperti pintu tua dari cahaya kelabu.
"Temui aku di dalam Halveron. Tapi hanya satu yang boleh masuk. Yang lain... akan menunggu di luar, atau mati dalam upaya melawan batas dunia."
Tanpa menunggu jawaban, pintu itu terbuka. Aura kekalutan dan nostalgia menabrak mereka—seolah bau rumah yang sudah terbakar ratusan tahun lalu. Aroma hangus masa lalu.
"Jika Kael masuk," bisik Astrid, "ia akan tahu siapa dirinya… dan musuh macam apa yang sedang menantinya."
Lalu ia menghilang.
**
"Jadi... kita ikut dia?" tanya Elira sambil menatap pintu yang masih terbuka.
Kael tidak langsung menjawab. Tapi sorot matanya… seakan sudah memilih. "Aku harus tahu," ucapnya. "Karena selama ini… aku hidup hanya dengan setengah diriku."
"Kalau kau mati di dalam sana, aku akan menyusulmu dan mengutukmu seumur hidup," desis Elira. Meski wajahnya sinis, tangannya tak bisa berhenti gemetar.
Saphira menunduk. "Berhati-hatilah. Dunia ini... mungkin tak cukup kuat menahanmu jika kau kembali sebagai orang yang berbeda."
Dan Ardyn—hanya menyunggingkan senyum kecil. "Panggung akhir sedang dibangun. Dan pemeran utamanya… akhirnya masuk ke tirai belakang."
Kael melangkah masuk ke dalam gerbang Halveron. Tanpa ragu. Tanpa menoleh.
Dan dunia pun bergetar.