BAB 5: Cahaya Harapan Yang Meredup

Keheningan yang mengikuti suara teriakan dan kaca pecah dari rumah Pak Herman terasa berat dan membebani di ruang makan keluarga Arya. Mereka bertiga duduk terpaku dalam cahaya lilin yang bergoyang, suara sirene jauh menjadi musik latar yang konstan bagi teror malam itu. Kegagalan walkie-talkie memupuskan harapan terakhir mereka untuk kontak luar, mengukuhkan isolasi total mereka.

"Pak Herman… dan keluarganya…" bisik Ibu Arya lirih, air mata kembali mengalir. "Apa mereka baik-baik saja?"

Tidak ada yang bisa menjawab. Kesunyian dari rumah sebelah itu adalah jawaban yang paling mengerikan. Ayah Arya bangkit dari kursi, kunci pas besar masih tergenggam erat di tangannya. Wajahnya tampak lebih tua sepuluh tahun dalam semalam.

"Kita tidak bisa hanya diam," katanya dengan suara serak. "Kita harus periksa lagi semua pintu dan jendela. Pastikan tidak ada celah."

Bergerak seperti bayangan di rumah mereka sendiri yang kini terasa asing. Ayah memeriksa grendel pintu depan dan belakang sekali lagi, menahan daun pintu dengan bahunya, memastikan kekuatannya. Ibu memeriksa semua jendela di lantai bawah, memastikan kuncinya terpasang benar dan tirainya tertutup rapat. Arya mengikutinya, senternya menyapu sudut-sudut ruangan, mencari tanda-tanda penyusupan – lubang aneh, lendir hijau, atau gerakan mencurigakan.

"Sejauh ini lantai bawah tampak aman," lapor Ayah Arya setelah pemeriksaan selesai. "Tapi kita tidak boleh lengah."

Mereka kembali berkumpul di ruang tengah. Rasa aman sedikit pulih mengetahui pertahanan rumah mereka masih utuh, tapi ketakutan akan apa yang ada di luar – dan mungkin juga di dalam – tetap ada.

"Makhluk itu… cacing raksasa itu…" Arya memulai, mencoba menyusun pikirannya. "Aku perhatikan lendir yang ditinggalkannya di taman tadi seperti bercahaya sedikit dalam gelap. Sangat redup, tapi ada."

Ayah dan Ibunya menatapnya.

"Bercahaya?" tanya Ayahnya.

"Iya. Seperti fosfor," lanjut Arya. "Dan… aku tidak melihat satupun berkeliaran di taman saat terakhir aku lihat tadi, padahal sebelumnya ada beberapa yang baru keluar dari tanah. Kemana mereka pergi? Apa mereka kembali ke tanah saat tidak ada mangsa? Atau mereka tidak suka cahaya bulan?" Ia mencoba mengingat-ingat detail. "Rumah Pak Herman tadi lampunya masih menyala terang sebelum suara teriakan itu…"

"Maksudmu mereka tertarik pada cahaya atau aktivitas?" tanya Ayahnya, mencoba mengikuti alur pikiran Arya.

"Mungkin saja," kata Arya. "Atau mungkin sebaliknya? Cahaya bulan tadi cukup terang, mungkin mereka bersembunyi?" Teorinya masih kabur, tapi itu sesuatu. Sebuah pola, sekecil apapun.

"Sebaiknya kita kumpulkan semua senter dan lilin," kata Ibunya praktis, mencoba mengalihkan pikiran dari ketakutan. "Juga kotak P3K dan mungkin makanan ringan kalau kita harus bertahan lama."

Mereka bergerak lagi, mengumpulkan persediaan darurat. Beberapa senter ditemukan di laci, baterainya diperiksa. Kotak P3K diambil dari lemari obat. Beberapa botol air mineral dan biskuit kaleng dikumpulkan di meja ruang tengah. Ayah Arya juga menemukan sebilah parang tua berkarat di gudang perkakas kecil dekat dapur, menambah 'persenjataan' mereka selain kunci pas.

Saat sedang memeriksa lemari di bawah tangga untuk mencari lilin cadangan, Ibu Arya tiba-tiba memekik pelan. Arya dan ayahnya segera menghampiri. Ibunya menunjuk ke sudut belakang lemari yang lembap dengan tangan gemetar. Di sana, di dinding plester yang sedikit retak, terlihat gumpalan kecil berwarna hitam kehijauan menempel seperti jamur aneh. Ukurannya hanya sebesar ibu jari, tapi bentuk dan warnanya tidak salah lagi. Sama seperti yang mereka lihat di sekolah.

"Itu… salah satunya?" bisik Ibu Arya ngeri.

Arya menyinari gumpalan kecil itu dengan senternya. Benda itu tidak tampak berdenyut seperti yang besar, tapi warnanya, tekstur lendirnya… jelas sama. Bagaimana bisa ada di dalam rumah? Di dalam lemari tertutup? Apakah ia tumbuh dari spora? Atau masuk dari celah yang sangat kecil?

Ayah Arya dengan hati-hati menyentuhnya dengan ujung kunci pas. Gumpalan itu lembek dan lengket, menempel kuat di dinding.

"Ini ada di dalam rumah," kata Ayah Arya pelan, nadanya berat. "Artinya, kita mungkin tidak sepenuhnya aman meskipun pintu terkunci."

Penemuan itu menghancurkan rasa aman semu yang baru saja mereka rasakan. Ancaman itu tidak hanya di luar, tapi berpotensi tumbuh dari dalam.

Lorong lantai dua rumah Bima terasa sempit dan mencekam. Di satu ujung, pintu kamar Rani tertutup rapat, di baliknya ibu, adik, dan Citra bersembunyi dalam ketakutan. Di ujung lain dekat puncak tangga, pintu kamar utama menganga rusak, dan dari baliknya, makhluk cacing raksasa pucat itu merayap maju perlahan ke arah Bima yang berdiri di tengah lorong. Tongkat baseball aluminium kini kembali tergenggam erat di tangannya.

Makhluk itu tampak marah. Bagian kulitnya yang terkena semprotan pembersih kaca dari Citra tadi terlihat melepuh kehitaman dan mengeluarkan asap tipis berbau kimia menyengat. Namun, luka itu sepertinya tidak memperlambat gerakannya secara signifikan. Desisan rendah basah keluar dari lubang bertentakel di ujung depannya saat ia merayap maju, meninggalkan jejak lendir kental di lantai parket kayu. Ukurannya yang masif memenuhi hampir seluruh lebar lorong.

Bima mencengkeram tongkatnya lebih erat. Ia tahu serangan frontal langsung seperti tadi tidak efektif dan malah membuatnya kehilangan senjata. Ia harus lebih pintar kali ini. Ia teringat bagaimana makhluk itu tampak sedikit terganggu oleh cahaya senter dan semprotan pembersih. Apakah ia sensitif terhadap rangsangan tertentu? Makhluk itu tampak tidak punya mata, jadi mungkin ia mengandalkan indra lain? Penciuman? Getaran? Suara?

Ia menyalakan senter besarnya yang masih ia pegang di tangan kiri, mengarahkannya tepat ke 'wajah' atau ujung depan makhluk itu. Cahayanya yang terang benderang langsung mengenai permukaan pucat berlendir itu.

Makhluk itu bereaksi. Ia berhenti merayap maju, ujung depannya sedikit terangkat, dan ia mengeluarkan desisan yang lebih keras dan marah. Lubang bertentakelnya tampak mengerut sesaat, seolah silau atau terganggu oleh intensitas cahaya.

"Jadi kau tidak suka cahaya terang, ya?" gumam Bima pada dirinya sendiri, secercah harapan muncul. Ini bisa jadi kesempatannya.

Ia menjaga sorot senter tetap mengarah ke 'wajah' makhluk itu, membuatnya terus mendesis dan sedikit ragu untuk maju. Sambil terus melakukan itu, Bima mulai bergerak mundur perlahan, langkah demi langkah, menuju puncak tangga. Rencananya mulai terbentuk: ia akan memancing makhluk itu turun ke lantai bawah yang lebih luas, menjauhkannya dari kamar tempat keluarganya bersembunyi. Di lantai bawah mungkin ada lebih banyak ruang untuk bermanuver atau mencari senjata lain.

Makhluk itu, terganggu oleh cahaya namun mungkin juga didorong oleh insting predator atau rasa marahnya, mulai mengikuti Bima mundur, merayap pelan menuruni lorong. Bima terus mundur, menjaga jarak, senternya tak pernah lepas dari ujung depan makhluk itu. Bau anyir semakin kuat saat jarak mereka semakin dekat.

Ia sampai di puncak tangga. Ia melirik sekilas ke bawah lantai bawah gelap gulita kecuali cahaya bulan yang masuk dari jendela ruang makan yang pecah. Puing-puing kaca dan perabotan yang rusak terlihat samar-samar. Turun ke sana sama saja masuk ke medan perang yang tak terlihat jelas.

Makhluk itu kini hanya berjarak beberapa meter darinya di ujung lorong. Desisannya semakin keras. Bima tahu ia tidak bisa terus mundur ke tangga tanpa membelakangi makhluk itu. Ia harus berbalik dan lari menuruni tangga, berharap kecepatannya cukup untuk menjaga jarak.

Tepat saat Bima hendak berbalik, makhluk itu melakukan sesuatu yang tak terduga. Ia berhenti merayap maju. Bagian depan tubuhnya terangkat lebih tinggi, lalu ia membuka lubang bertentakelnya lebar-lebar dan menyemprotkan sesuatu ke arah Bima. Bukan api, bukan racun, tapi semburan cairan lendir kental berwarna hijau gelap yang sama seperti jejaknya, namun dalam jumlah besar.

Bima refleks mengangkat lengan kirinya yang memegang senter untuk melindungi wajahnya. Sebagian besar semburan lendir itu mengenai lengannya dan senternya. Rasanya dingin, lengket, dan sangat bau. Senter di tangannya langsung mati terendam lendir itu. Lorong kembali gelap gulita kecuali cahaya bulan dari jendela jauh.

Kehilangan satu-satunya 'senjata'-nya (cahaya) dan kini sebagian lengannya tertutup lendir menjijikkan, Bima dilanda kepanikan baru. Makhluk itu kembali mendesis, kali ini terdengar seperti kemenangan, dan mulai merayap maju lagi dengan lebih cepat dalam kegelapan.

Di dalam kamar Rina yang pengap, suara gesekan halus di atas plafon terdengar lagi, kini lebih dekat, tepat di atas tempat tidur tempat ibunya masih duduk berdoa dengan mata terpejam. Debu halus berjatuhan mengenai selimut. Rina menahan napas, menatap ngeri ke titik di langit-langit itu. Ibunya membuka mata karena merasakan debu jatuh, ikut mendongak dengan wajah penuh ketakutan.

Suara serangan dari lantai bawah juga berubah. Benturan keras di pintu belakang sudah berhenti total, tapi suara gesekan panik di bawah pintu depan dan garukan di jendela ruang tamu terdengar semakin intens, semakin putus asa, seolah makhluk-makhluk itu tahu mangsanya ada di dalam dan mereka frustrasi tidak bisa masuk. Bau anyir asam juga terasa semakin kuat, menyelinap masuk entah dari mana.

Kepala Rina terasa seperti dihantam palu godam sekarang. Rasa pusing hebat membuatnya terhuyung, pandangannya menjadi putih total selama beberapa detik. Ia mencengkeram kepalanya, mengerang pelan. Lantai kamar terasa berputar di bawah kakinya.

"Rin! Kamu kenapa, Nak?" tanya ibunya panik, melihat kondisi Rina yang memburuk. Ia meraba dahi Rina. "Ya Tuhan, kamu panas sekali!"

"Aku… aku tidak apa-apa, Bu," dusta Rina lemah, mencoba terdengar kuat. Tapi ia tahu ada sesuatu yang salah. Apakah ini demam biasa karena stres? Atau gejala awal dari… infeksi? Pikiran itu membuatnya semakin takut. Ia mencoba berdiri, tapi kakinya terasa lemas.

Saat itulah mereka mendengar suara baru. Bukan dari bawah, bukan dari atas plafon. Tapi dari *dalam* kamar. Suara 'kletek' pelan diikuti garukan halus dari… dalam lemari pakaian kayu tua di sudut kamar.

Rina dan ibunya menoleh serempak ke arah lemari itu. Mata mereka membelalak. Tidak mungkin. Suara itu terdengar lagi, lebih jelas. *Kratak… skrett…* Sesuatu sedang bergerak di dalam lemari yang tertutup itu.

"Ada sesuatu di dalam lemari!" bisik ibu Rina histeris.

Bagaimana bisa? Apakah makhluk itu bisa masuk melalui dinding belakang lemari? Atau sudah ada di sana sejak tadi? Rina mencengkeram pisau dapurnya lebih erat, mencoba bangkit berdiri dengan kaki gemetar.

Pintu lemari kayu itu mulai bergetar sedikit. Terdengar suara kayu yang digerogoti dari dalam. Cepat, panik. Lalu muncul retakan kecil di panel pintu lemari itu. Retakan itu melebar, dan serpihan kayu kecil mulai berjatuhan.

"Kita harus keluar dari kamar ini!" kata Rina panik. Bertahan di sini berarti menunggu makhluk itu keluar dari lemari. Tapi keluar ke lorong lantai dua juga sama berbahayanya, mereka tidak tahu apa yang menunggu di sana atau apakah makhluk di plafon masih ada.

Ibunya tampak lumpuh karena ketakutan, hanya bisa menggelengkan kepala sambil terus menangis pelan. Rina tahu ia harus bertindak. Ia menarik paksa ibunya berdiri.

"Ayo, Bu! Kita coba ke kamar mandi! Mungkin lebih aman di sana!"

Kamar mandi lantai dua berada di ujung lorong, dekat tangga. Itu berarti mereka harus keluar dari kamar ini dan berlari melewati lorong yang mungkin tidak aman. Tapi tinggal di sini juga bukan pilihan.

*KRAK!* Pintu lemari pakaian itu akhirnya jebol sebagian. Sebuah lubang menganga di tengahnya, dan dari kegelapan di dalam lemari, terlihat kilatan beberapa kaki hitam tipis yang bergerak cepat. Makhluk kecil seperti kelabang-kumbang raksasa itu ada di dalam lemari.

Tanpa pikir panjang lagi, Rina membuka kunci pintu kamar, menarik ibunya keluar ke lorong lantai dua yang remang. Ia melirik cepat ke atas – tidak ada suara dari plafon saat ini. Lantai bawah masih terdengar suara garukan panik di pintu depan dan jendela. Mereka mulai berlari kecil menyusuri lorong menuju kamar mandi di ujung dekat tangga.

Kegelapan total menyelimuti lorong lantai dua setelah senter Bima mati terendam lendir. Satu-satunya sumber cahaya kini hanya remangan pucat bulan sabit yang masuk dari jendela di ujung lorong dekat tangga. Bima berdiri membeku sesaat, rasa dingin dan lengket dari lendir di lengannya terasa menjijikkan. Anehnya, lendir itu tidak terasa sakit atau membakar, hanya dingin dan sangat bau.

Di depannya, dalam siluet gelap, makhluk cacing raksasa itu kembali bergerak maju. Desisannya yang marah dan basah terdengar jelas di keheningan yang tegang. Bima mencengkeram tongkat baseballnya lagi, tapi bagaimana ia bisa melawan dalam kegelapan seperti ini melawan makhluk yang mungkin tidak butuh mata untuk menemukannya?

Tiba-tiba, dari arah kamar Rani di ujung lorong, terdengar suara jeritan tertahan diikuti bunyi gedebukan pelan di pintu dari dalam.

"Bima! Tolong!" Itu suara Citra, terdengar panik.

Jeritan itu sepertinya menarik perhatian makhluk cacing di lorong. Ia berhenti bergerak maju ke arah Bima, ujung depannya yang bulat 'menoleh' ke arah sumber suara, ke arah pintu kamar Rani. Ia mengeluarkan desisan rendah lagi, seolah tertarik atau terganggu.

Momen sepersekian detik itu adalah kesempatan Bima. Ia tidak mungkin melawan makhluk ini sendirian dalam gelap. Satu-satunya pilihan adalah kabur, mencari posisi lain, atau setidaknya menjauhkan makhluk ini dari pintu kamar Rani. Tapi lari ke mana? Kembali ke kamar utama yang sudah diobrak-abrik? Atau...

Ia melirik ke puncak tangga di belakangnya. Lantai bawah. Gelap, hancur, tapi mungkin menawarkan ruang lebih luas? Atau mungkin jalan keluar? Itu pertaruhan besar, ia akan terpisah dari yang lain. Tapi tinggal di lorong sempit ini juga sama saja menunggu mati.

Dengan keputusan cepat, saat makhluk itu masih sedikit teralihkan perhatiannya oleh suara dari kamar Rani, Bima mengambil ancang-ancang. Ia tidak berlari lurus ke tangga. Ia berlari ke samping, ke arah dinding lorong yang berlawanan dengan makhluk itu, lalu dengan cepat berbalik dan melesat menuju puncak tangga.

Gerakannya yang tiba-tiba sepertinya kembali mengejutkan makhluk itu. Makhluk itu 'menoleh' kembali ke arah Bima yang kini berlari menjauh. Ia mengeluarkan desisan marah yang lebih keras dan mulai bergerak mengejar Bima, tapi gerakannya yang merayap tampak sedikit lebih lambat di tikungan lorong.

Bima mencapai puncak tangga. Tanpa ragu, ia melompat menuruni beberapa anak tangga pertama sekaligus, mendarat dengan sedikit goyah di kegelapan lantai bawah. Ia terus berlari menuruni tangga, suara geliat berat makhluk itu kini terdengar mulai menuruni tangga di belakangnya.

Ia sampai di lantai bawah. Ruang tamu dan ruang makan gelap gulita, porak-poranda. Pecahan kaca dari jendela ruang makan bertebaran di mana-mana, berkilauan redup tertimpa cahaya bulan. Perabotan terbalik atau rusak. Bau anyir dan lendir hijau pekat di udara. Anehnya, ia tidak melihat makhluk itu di lantai bawah saat ini. Apakah ia satu-satunya yang masuk ke rumah? Atau yang lain sudah pergi?