BAB 6: Dinding Yang Rapuh

Kesunyian yang mengikuti keributan di rumah Pak Herman terasa lebih berat daripada suara teriakan itu sendiri. Di ruang tengah rumah Arya yang remang-remang diterangi lilin, ketiganya duduk dalam diam yang tegang, mendengarkan. Hanya suara sirene jauh yang konstan dan detak jam dinding tua di ruang makan yang terdengar, mengukur waktu yang terasa berjalan begitu lambat menuju fajar yang tak kunjung tiba. Ketakutan bahwa rumah mereka akan menjadi target berikutnya terasa begitu nyata.

"Kita harus anggap rumah Pak Herman sudah… dimasuki," kata Ayah Arya akhirnya, memecah keheningan, suaranya serak. "Artinya makhluk itu bergerak dari rumah ke rumah."

Ibu Arya menyeka air mata lagi. "Lalu kita bagaimana? Kita tidak bisa keluar, tidak bisa minta tolong."

Arya menatap gumpalan hitam kehijauan kecil yang menempel di dinding bawah tangga, tempat ibunya menemukannya tadi. Ukurannya memang kecil, tapi keberadaannya di dalam rumah adalah pertanda buruk.

"Benda ini… apa dia bisa tumbuh?" tanya Arya lebih pada dirinya sendiri. "Atau ini hanya sisa? Bagaimana dia bisa masuk?"

Ayahnya mendekati gumpalan itu lagi, menyinarinya dengan senter. "Tidak terlihat bergerak atau berdenyut seperti yang kamu ceritakan di luar." Ia mencoba mencongkelnya sedikit dengan ujung kunci pas. Benda itu lengket dan kenyal, menempel kuat seperti lem basah. Sebagian kecil terlepas, meninggalkan bekas hitam kehijauan di plester dinding. Baunya anyir asam samar tercium.

"Jangan disentuh langsung, Yah," cegah Arya cepat. "Kita tidak tahu ini apa."

Mereka memutuskan membiarkan gumpalan itu untuk sementara, tapi penemuannya membuat mereka semakin waspada terhadap setiap sudut rumah. Ayah Arya kembali memeriksa semua kunci pintu dan jendela dengan lebih teliti. Ia bahkan mencoba mengganjal bagian bawah pintu depan dan belakang dengan kain lap tebal, berharap bisa memperlambat jika ada makhluk kecil yang mencoba menyelinap masuk seperti yang Rina lihat (meskipun Arya belum tahu detail ini).

Arya sendiri terus berpikir tentang makhluk cacing raksasa di luar. Perilaku mereka, kemungkinan kelemahan mereka.

"Cahaya… dan suara keras sepertinya mengganggu mereka," gumam Arya. "Makhluk di dekat gudang tadi pagi menjauh saat Ayah menyalakan senter besar. Yang di rumah Pak Herman baru menyerang setelah sunyi."

"Mungkin," kata Ayahnya. "Tapi kita tidak bisa terus menyalakan semua lampu darurat atau membuat keributan, itu bisa menarik perhatian juga."

"Bagaimana dengan lendirnya yang berpendar?" tanya Arya lagi. "Apa itu artinya?"

"Mungkin sisa energi? Atau zat kimia?" ayahnya mengangkat bahu. "Terlalu banyak yang tidak kita ketahui."

Menyadari mereka mungkin harus bertahan lama, mereka mulai mengumpulkan persediaan dan potensi senjata lain di dalam rumah. Lebih banyak lilin, korek api, semua senter yang ada beserta baterai cadangan, kotak P3K lengkap, botol-botol air minum kemasan, makanan kering seperti biskuit dan mi instan. Ayah Arya menemukan sebatang besi linggis kecil di gudang dalam rumah, dan Ibu Arya mengeluarkan semprotan merica yang biasa ia simpan di tas. Arya sendiri mengambil raket badminton logamnya dari kamar – bukan senjata ideal, tapi lebih baik daripada tangan kosong. Mereka menumpuk semuanya di ruang tengah.

Saat sedang memindahkan sofa kecil untuk menghalangi akses ke lorong tangga sebagai barikade darurat tambahan, tiba-tiba terdengar suara dari luar. Bukan suara sirene atau teriakan jauh. Tapi suara yang lebih dekat. Sangat dekat.

*DHUG.*

Satu benturan keras dan tumpul menghantam pintu depan rumah mereka.

Ketiganya langsung membeku. Saling pandang dengan mata terbelalak ngeri dalam cahaya lilin.

*DHUG. DHUG.*

Benturan lagi. Lebih kuat. Daun pintu depan yang terbuat dari kayu itu tampak sedikit bergetar. Sesuatu yang besar dan kuat sedang mencoba mendobrak masuk dari luar. Kepungan itu telah sampai di depan pintu rumah mereka.

Bima menahan napas di tengah puing-puing ruang tamunya yang gelap. Tongkat baseball masih tergenggam erat, tapi terasa tidak memadai. Di atas sana, di kegelapan tangga, ia bisa mendengar suara gesekan pelan dan desisan rendah makhluk cacing raksasa itu. Sepertinya ia masih di sana, mungkin ragu untuk turun sepenuhnya ke lantai bawah yang tak dikenalinya, atau mungkin sedang 'mengamati' Bima dari ketinggian.

Jantung Bima berdebar kencang. Ia sendirian. Terpisah dari ibu, Rani, dan Citra yang terkunci di kamar Rani. Ia melirik ke arah tangga lagi. Naik kembali sekarang sama saja bunuh diri. Ia butuh rencana. Ia butuh senjata yang lebih baik.

Dengan sangat hati-hati, bergerak sepelan mungkin agar tidak menarik perhatian makhluk di tangga, Bima mulai menyusuri ruang tamu yang hancur menuju dapur di bagian belakang rumah. Ia melangkahi pecahan kaca dari jendela ruang makan, menghindari perabotan yang terbalik. Bau anyir dan lendir hijau pekat di udara membuatnya sesekali menahan mual.

Dapur juga gelap total, hanya sedikit cahaya bulan masuk dari jendela kecil di atas wastafel. Kondisinya tidak separah ruang tamu, tapi beberapa lemari tampak terbuka paksa, isinya berhamburan. Makhluk itu jelas sempat masuk ke sini juga.

Bima mencari-cari di laci-laci dengan bantuan cahaya remang bulan. Pisau? Ya, ada beberapa pisau dapur besar. Ia mengambil yang paling besar dan tajam, menyelipkannya di ikat pinggang celananya. Sedikit lebih baik dari tongkat baseball, tapi melawan makhluk sebesar itu? Masih terasa kurang.

Pandangannya tertuju pada lemari penyimpanan di bawah wastafel, tempat ibunya biasa menyimpan perlengkapan pembersih. Ia teringat reaksi hebat makhluk itu saat Citra menyemprotnya dengan pembersih kaca di kamar mandi tadi. Apakah ada sesuatu yang lebih kuat di sini?

Ia membuka pintu lemari itu perlahan. Berbagai macam botol pembersih berjejer di dalamnya. Pembersih lantai, deterjen, karbol, dan… ya! Sebotol besar pemutih pakaian (bleach) dan sebotol karbol dengan bau sangat menyengat. Keduanya mengandung bahan kimia kuat. Mungkinkah ini bisa melukai atau setidaknya mengusir makhluk itu?

Ia meraih kedua botol besar itu. Berat dan tidak praktis dibawa-bawa, tapi ini mungkin kesempatan terbaiknya. Ia berpikir cepat. Jika ia bisa menyiramkan ini ke makhluk itu saat ia lengah…

Saat ia sedang memikirkan strategi, tiba-tiba terdengar suara dari arah lain di dapur. Bukan dari tangga. Tapi dari sudut gelap dekat lemari es. Suara garukan pelan di dinding, mirip seperti yang Doni dengar. Lalu suara 'kletek' kecil.

Bima langsung membeku, mengarahkan pandangannya ke sudut gelap itu. Pisau di tangannya sudah terhunus. Apakah ada makhluk lain di lantai bawah bersamanya? Mungkin jenis yang lebih kecil?

Dari balik celah antara lemari es dan dinding, merayap keluar seekor makhluk hitam kecil seperti kelabang-kumbang yang ia lihat di rumah Doni (meskipun ia belum tahu cerita Doni). Makhluk itu bergerak cepat, antenanya bergetar, seolah mendeteksi keberadaan Bima.

Sial! Jadi infestasi itu juga sudah sampai di rumahnya, tidak hanya cacing raksasa.

Makhluk kecil itu berlari melintasi lantai dapur menuju arah Bima. Bima refleks mengayunkan pisaunya, tapi makhluk itu terlalu cepat dan lincah. Ia menghindar dengan mudah dan berlari menuju kolong lemari dapur lain.

Tepat saat Bima fokus pada makhluk kecil itu, terdengar suara gesekan berat yang lebih keras dari arah tangga. Makhluk cacing raksasa itu mulai menuruni tangga lagi, mungkin terusik oleh keributan kecil di dapur atau merasa Bima lengah.

Bima kini dalam posisi terjepit. Makhluk raksasa turun dari tangga di depannya, sementara makhluk kecil yang lincah bersembunyi entah di mana di dapur bersamanya. Botol pemutih dan karbol di tangannya terasa berat dan kikuk. Ia harus membuat keputusan cepat.

Lorong lantai dua terasa sempit dan gelap setelah Rina dan ibunya keluar dari kamar tidur. Hanya cahaya redup dari lampu darurat di ujung tangga yang memberikan penerangan minimal. Di belakang mereka, dari kamar Rina yang pintunya kini terbuka sedikit, terdengar suara klik-klik panik dan gesekan dari makhluk-makhluk kecil yang tadi keluar dari lemari. Dari lantai bawah, suara serangan di pintu depan dan jendela ruang tamu masih terdengar jelas, bercampur dengan suara garukan di dinding yang seolah semakin mendekat ke arah tangga.

"Cepat, Bu!" desak Rina, menarik tangan ibunya yang tampak setengah lumpuh karena takut. Kepala Rina sendiri masih berdenyut hebat, pandangannya sedikit bergoyang.

Mereka berlari tertatih menuju pintu kamar mandi di ujung lorong dekat tangga. Pintu kayu putih itu tampak rapuh, tapi itu satu-satunya pilihan mereka saat ini. Rina berhasil memutar kenop dan mendorong pintu terbuka. Mereka berdua cepat-cepat masuk ke dalam kamar mandi kecil itu, lalu Rina segera menutup dan mengunci pintunya dari dalam. Bunyi 'klik' kunci slot terdengar begitu lemah.

Kamar mandi itu sempit dan pengap. Sebuah wastafel kecil, toilet duduk, dan bilik shower dengan tirai plastik buram. Ada jendela ventilasi kecil dari kaca buram di atas dekat langit-langit, dengan teralis besi di luarnya. Tidak ada jalan keluar lain.

Napas Rina tersengal, bukan hanya karena lari tapi juga karena rasa sakit di kepalanya yang semakin menjadi. Ia bersandar di dinding keramik yang dingin, mencoba mengatur napas. Dunia terasa berputar hebat sekarang, titik-titik hitam mulai menari di depan matanya.

"Rin? Kamu kenapa?" tanya ibunya panik, melihat Rina memegangi kepalanya dan terhuyung.

"Pusing… sekali, Bu…" rintih Rina. Rasa mual hebat tiba-tiba menyerangnya. Ia terbatuk, lalu muntah di lantai kamar mandi. Cairan asam lambung bercampur sisa teh hangat yang ia minum tadi.

Ibunya segera berlutut di sampingnya, mengelus punggungnya dengan cemas. "Ya Tuhan, kamu sakit parah ini." Ia meraba dahi Rina lagi. Panasnya sangat tinggi.

Saat ibunya membantu Rina membersihkan diri seadanya dengan air dari wastafel, ia memperhatikan sesuatu yang aneh di lengan Rina, dekat sikunya. Beberapa ruam kecil berwarna merah keunguan muncul di sana, membentuk pola seperti jaring laba-laba tipis di bawah kulitnya.

"Ini apa, Nak?" tanya ibunya ngeri, menunjuk ruam itu.

Rina melihat lengannya dengan pandangan kabur. Ruam itu terasa sedikit gatal dan panas. Ia tidak ingat kapan ruam itu muncul. Apakah ini bagian dari 'infeksi' itu? Jantungnya berdegup semakin kencang karena takut. Ia teringat sensasi dingin saat mata merah itu menatapnya dari lubang intip. Apakah hanya melihatnya saja sudah cukup? Atau mungkin udara yang ia hirup?

"Aku… aku tidak tahu, Bu," bisik Rina lemah. Tenaganya terasa terkuras habis. Ia merasa sangat mengantuk, meskipun rasa sakit di kepalanya belum hilang.

Tiba-tiba, terdengar suara gesekan pelan dari luar pintu kamar mandi. Sangat dekat. Diikuti bunyi ketukan pelan di pintu. *Tok… tok… tok…* Bukan benturan keras, tapi ketukan pelan yang teratur.

Rina dan ibunya langsung terdiam, menatap ngeri ke arah pintu. Siapa atau apa yang mengetuk? Makhluk tadi tidak mungkin mengetuk pintu seperti itu. Apakah itu manusia? Selamat? Tetangga? Tapi bagaimana bisa ada orang di lorong lantai dua mereka?

"Si-siapa di sana?" tanya ibu Rina gemetar, suaranya nyaris tak terdengar.

Tidak ada jawaban suara manusia. Hanya ketukan pelan itu lagi. *Tok… tok… tok…* Lalu suara gesekan basah di permukaan pintu.

Rina merasa bulu kuduknya berdiri. Apapun itu, itu bukan manusia. Itu sedang 'memeriksa' pintu, mencoba mencari cara masuk dengan cara yang berbeda dari serangan brutal makhluk sebelumnya. Kecerdasan yang dingin dan alien terasa merambat masuk bahkan melalui pintu kayu itu. Mereka sama sekali tidak aman di dalam kamar mandi ini.

Kamar Doni yang sempit terasa seperti medan pertempuran miniatur yang kacau. Satu bangkai makhluk hitam gepeng tergeletak dekat lemari yang jebol, mengeluarkan cairan hijau kental. Dua makhluk baru saja keluar dari lemari itu; satu menghilang di bawah tempat tidur, membuat Maya menjerit dan ibunya menarik kaki naik ke atas kasur, sementara yang satu lagi bersembunyi di balik tumpukan kotak kardus di sudut. Makhluk ketiga, yang tadi Doni coba hancurkan dengan buku, kini merayap cepat di dinding dekat langit-langit, menuju ventilasi udara.

"Jangan biarkan dia kabur!" teriak Ayah Doni, tapi terlambat. Makhluk itu lenyap ke dalam kisi-kisi ventilasi.

Kini fokus mereka terbagi. Ayah Doni dengan kunci pas terangkat mencoba mengawasi kolong tempat tidur dan sudut tempat makhluk terakhir bersembunyi. Doni sendiri merasa terjebak di dekat meja komputernya. Makhluk di bawah tempat tidur adalah ancaman paling langsung bagi ibu dan adiknya.

"Aku tidak lihat dia, Don!" kata Ayah Doni frustrasi, mencoba mengintip ke kolong tempat tidur yang gelap tanpa berani memasukkan tangannya. "Dia sembunyi!"

Tiba-tiba, makhluk yang tadi bersembunyi di balik kotak kardus melesat keluar, berlari ke arah kaki Ayah Doni. Ayahnya berbalik cepat dan mengayunkan kunci pasnya lagi. Kali ini ayunannya lebih terarah. *KRAK!* Makhluk kedua berhasil dihancurkan, nasibnya sama seperti yang pertama.

Tinggal satu lagi yang terlihat, yang berada di bawah tempat tidur. Hening sesaat, hanya terdengar isak tangis Maya dan napas tegang mereka.

"Apa dia masih di bawah sana?" bisik Ibu Doni ketakutan.

Tidak ada suara dari kolong tempat tidur. Mungkin makhluk itu diam menunggu, atau mencari jalan keluar lain?

"Aku akan coba lihat dengan senter," kata Doni, meraih senter dari ponsel ayahnya yang tergeletak di meja.

Ia berjongkok perlahan, mengarahkan cahaya ke kolong tempat tidur. Ada beberapa kotak penyimpanan plastik di sana. Ia tidak melihat gerakan apapun. Tapi saat ia menggeser sedikit salah satu kotak dengan ujung kakinya, ia melihatnya – makhluk hitam itu menempel diam di dinding di sisi terjauh kolong tempat tidur, hampir tak terlihat dalam bayangan.

"Dia di sana, Yah! Di dinding!" bisik Doni memberi tahu.

Ayahnya bersiap dengan kunci pas lagi. Tapi bagaimana cara mengeluarkannya dari sana tanpa membahayakan ibu dan Maya yang ada di atas tempat tidur?

Saat mereka sedang berpikir, Doni yang masih menyinari kolong tempat tidur melihat sesuatu yang lain. Di dinding tempat makhluk itu menempel, dekat sambungan lantai, ada retakan halus yang mengeluarkan… lendir kehijauan. Sama seperti di lubang dekat rak buku tadi dan di wastafel dapur. Makhluk-makhluk ini sepertinya bisa membuat celah sendiri atau memanfaatkan retakan terkecil untuk bergerak di dalam struktur rumah.

Ia cepat-cepat kembali ke komputernya yang masih menyala. Ia membuka program penganalisis audio yang sempat ia aktifkan untuk merekam suara sekitar tadi. Ia memutar ulang rekaman beberapa menit terakhir. Terdengar jelas suara garukan, kertakan kayu lemari, teriakan keluarganya, dan bunyi 'krak' saat ayahnya membunuh dua makhluk itu. Tapi di antara itu semua, ada suara lain yang tertangkap mikrofon sensitifnya. Suara klik-klik sangat halus dan berfrekuensi cukup tinggi, hampir seperti suara kelelawar, yang muncul bersamaan dengan gerakan makhluk-makhluk itu.

"Mereka berkomunikasi?" gumam Doni tak percaya. "Atau ini semacam ekolokasi?" Ia mencoba mengisolasi frekuensi itu. Aneh. Sangat terstruktur untuk sekadar suara serangga biasa.

Penemuan itu sedikit mengalihkan rasa takutnya, digantikan oleh rasa penasaran teknis. Tapi analisisnya terhenti saat terdengar suara baru yang membuat mereka semua kembali tegang. Bukan dari kolong tempat tidur. Tapi dari ventilasi udara di langit-langit tempat makhluk tadi kabur. Terdengar suara garukan dari dalam ventilasi itu, diikuti bunyi logam yang dipaksa.

*Kreek… tek tek tek… KRAK!*

Kisi-kisi plastik ventilasi itu tiba-tiba pecah sebagian, dan dari lubang yang menganga, mulai turun debu dan kotoran dari plafon, disusul munculnya beberapa kaki hitam tipis yang bergerak-gerak mencari pegangan. Makhluk yang tadi kabur sepertinya mencoba kembali masuk, atau mungkin ia memanggil teman-temannya dari dalam saluran udara.

"Dia mau masuk lagi dari atas!" teriak Ibu Doni histeris.

Kamar yang mereka anggap sebagai tempat berlindung terakhir kini terasa seperti jebakan maut. Ancaman datang dari kolong tempat tidur, dari ventilasi di langit-langit, dan entah dari mana lagi di dalam dinding. Mereka benar-benar terkepung dari dalam.

Benturan keras dan berat terus menghantam pintu depan rumah Arya. Setiap hantaman terasa mengguncang seluruh rumah kayu itu. Ayah Arya berdiri beberapa langkah dari pintu, kunci pas besarnya terangkat siap, wajahnya pucat tapi tegang. Ibu Arya berdiri di belakangnya, memegang parang tua dengan kedua tangan gemetar. Arya sendiri berada di samping ayahnya, mencengkeram raket badmintonnya erat-erat, matanya terpaku pada daun pintu yang bergetar hebat.

"Apa pintunya akan kuat, Yah?" bisik Arya, suaranya nyaris hilang ditelan bunyi benturan.

"Kayu jati tua," jawab ayahnya pendek, matanya tak lepas dari pintu. "Seharusnya kuat. Tapi seberapa kuat makhluk itu?"

Mereka tidak tahu. Mereka hanya bisa menunggu dan berharap. Pintu depan itu memiliki lubang intip kecil di tengahnya. Dengan sangat hati-hati, Ayah Arya mencoba mendekat dan mengintip keluar saat jeda singkat antar benturan.

Ia cepat-cepat menarik kepalanya lagi, wajahnya semakin tegang.

"Besar sekali," desisnya pada Arya. "Putih pucat. Menutupi hampir seluruh pandangan lubang intip. Dia terus mendorong."

Jadi benar, itu salah satu cacing raksasa. Bukan hanya tetangga mereka, kini giliran rumah mereka yang diserang langsung. Benturan keras kembali terjadi, membuat mereka tersentak.

Anehnya, setelah serangkaian benturan keras itu, tiba-tiba berhenti. Keheningan di luar terasa ganjil setelah keributan tadi. Mereka menunggu dengan napas tertahan. Apakah ia pergi? Menyerah?

Lalu terdengar suara baru. Suara gesekan berat di dinding luar rumah, dekat pintu depan. *Sreeekkk… sreeekkk…* Seolah makhluk itu kini merayap di dinding, mungkin mencari titik lemah lain atau mencoba memanjat? Suara itu bergerak perlahan menjauh dari pintu, menyusuri dinding menuju jendela ruang tamu.

"Dia tidak menyerah," gumam Arya. "Dia mencari jalan lain."

Ayah Arya memberi isyarat agar mereka mundur perlahan dari area pintu depan, kembali ke tengah ruang tamu yang sedikit lebih jauh dari dinding luar. Mereka berdiri di sana dalam formasi defensif kecil, mendengarkan suara gesekan mengerikan yang bergerak di luar dinding rumah mereka.

Arya melirik ke arah jendela kecil di ruang makan yang menghadap ke timur. Di luar sana, langit yang tadinya hitam pekat kini mulai menunjukkan semburat kelabu yang sangat tipis. Fajar hampir tiba. Apakah itu akan membuat perbedaan? Apakah makhluk-makhluk ini takut cahaya matahari? Ia teringat teorinya tadi. Mungkin ada harapan jika mereka bisa bertahan sampai terang.

"Fajar sebentar lagi," bisik Arya pada ayahnya. "Mungkin dia akan pergi kalau sudah terang?"

"Kita tidak bisa mengandalkan itu," jawab ayahnya pelan. "Kita harus anggap kita harus bertahan di sini lebih lama." Ia melihat ke arah persediaan darurat yang mereka kumpulkan. "Kita harus hemat air dan makanan."

Suara gesekan di dinding luar berhenti lagi. Keheningan kembali menyelimuti. Kali ini keheningan terasa lebih lama, lebih berat. Apakah makhluk itu benar-benar pergi karena fajar? Atau ia hanya diam menunggu?

Tiba-tiba, terdengar suara 'tik' pelan dari walkie-talkie yang tergeletak di meja makan. Lalu desisan statisnya berubah pola sesaat, seperti ada sinyal lemah yang mencoba masuk, sebelum kembali menjadi desisan biasa.

Arya dan ayahnya langsung menoleh ke walkie-talkie itu.

"Tadi itu apa?" tanya Arya.

Ayahnya meraih walkie-talkie itu, menekan tombol monitor. Hanya statis. Ia mencoba memanggil lagi. "Halo? Tes? Ada yang dengar?" Tetap hanya statis.

"Mungkin hanya gangguan sesaat," kata ayahnya kecewa.

Tapi Arya merasa melihat secercah harapan lagi. Jika ada sinyal lemah yang bisa masuk sesaat, berarti blokade komunikasi total itu mungkin tidak sempurna? Atau mulai melemah? Atau mungkin ada sumber sinyal lain di luar sana?

Pikiran itu memberinya sedikit kekuatan baru di tengah keputusasaan. Mereka harus bertahan. Mereka harus mencari tahu lebih banyak. Dan mungkin, hanya mungkin, mereka tidak sepenuhnya sendirian dalam mimpi buruk ini. Tapi pertama-tama, mereka harus melewati pagi yang akan datang.