Sudah lima hari berlalu sejak dunia terguncang oleh kebangkitan mereka. Awan gelap memang telah sedikit menipis, tapi langit belum benar-benar kembali cerah. Rion dan Elis, dua sosok dari masa lalu yang tersegel, kini menjalani hari-hari mereka dengan cara yang sangat... membumi.
Mereka tinggal di sisa reruntuhan bangunan kuno—atap bolong, dinding setengah roboh, dan rerumputan liar mulai mengambil alih. Tempat itu memang hancur, tapi cukup tersembunyi di tengah hutan bagian terdalam di Benua Kedua. Di sanalah mereka bertahan hidup, memburu kelinci-kelinci berekor dua dan rusa mistik bermata tiga yang berkeliaran di bawah naungan pohon raksasa.
Namun satu hal menjadi jelas: kekuatan mereka masih tersegel. Aura mereka masih teredam, dan kemampuan tempur mereka tak sekuat dulu.
Di dunia ini, kekuatan setiap makhluk diukur dalam Bintang. Setiap 1 Bintang memiliki 10 level, dari level 1 hingga 10. Setelah mencapai level 10 pada satu bintang, barulah bisa naik ke Bintang berikutnya.
Puncaknya adalah Bintang ke-10, level 10.
Namun…
Mereka yang mampu menembus batas itu, melampaui 10 Bintang—entah dengan kekuatan, keberadaan, atau takdir—disebut sebagai Dewa... atau bahkan Raja Iblis, tergantung siapa yang menyebut.
Rion dan Elis dulunya adalah makhluk di luar batas itu. Tapi sekarang? Mereka bahkan belum bisa menyentuh kembali level 10 Bintang Pertama mereka.
Ia menatap langit dari celah reruntuhan, memikirkan dunia luar. Sesuatu di balik pepohonan, jauh di luar hutan ini, terasa… mengancam. Ia tak tahu pasti apa, tapi instingnya menjerit.
“Sekali kita keluar dari sini, kita bakal diburu, Elis. Kita bukan pahlawan di cerita mereka. Kita monster.”
Namun malam itu, kekhawatiran tergantikan oleh suara berdecak—dan aroma gosong.
“Rion! Ini apaan? Kenapa dagingnya keras kayak batu dan ada rasa... arang?” Elis mengerutkan kening sambil mengunyah dengan wajah setengah menyerah.
“Itu rusa mistik! Susah banget ditangkap, tau! Punggungnya bersisik, larinya kayak kilat, tanduknya nyaris nusuk jantung gua!” Rion berdiri kesal, memukul kepala Elis pelan dengan sendok kayu.
“Lagian lu main-main mulu! Gua kejar rusa itu sampe keseleo!”
Elis cemberut. “Main-main? Gua tadi mancing ikan loh! Besarnya segede Rumah!”
Rion melotot. “Lu ga dapet satu pun kan?!”
“Karena dia ngejar balik!” Elis berdiri, menunjuk dengan gaya dramatis. “Ikan itu melompat keluar air dan ngeludahin gua!”
“Goblok!” Rion hampir tertawa. “Besok kita tukeran. Gua mancing, lu berburu!”
“Elis setuju! Tapi awas ya, lu jangan ngeluh kalau ikan itu mulai ngomong!”
Malam itu dihabiskan dengan adu mulut receh, tawa kecil, dan obrolan konyol tentang ikan mistik yang bisa berdansa. Di balik segel dan kutukan, di tengah reruntuhan dunia lama, dua kakak-beradik itu—yang dulu ditakuti dan disembah—kembali belajar menjadi makhluk hidup biasa.
Untuk sekarang.
---