Chapter 3: Jalan Penuh Bahaya

Setelah meninggalkan Kota Bulan Perak, Ling Tianho terus melangkah ke arah timur. Di sepanjang perjalanan, ia menyusuri jalan setapak yang jarang dilalui orang, melewati hutan belantara dengan pepohonan menjulang dan suara binatang buas yang menggema. Tekadnya bulat mengasah kekuatan hingga ia mampu berdiri setara dengan para kultivator hebat.

Suatu pagi, ketika matahari baru saja terbit, Tianho tiba di sebuah lembah yang dikelilingi oleh kabut tipis. Di sana, ia melihat sekelompok pemburu yang tengah bertarung melawan seekor Serigala Api Bermata Merah. Binatang itu besar, dengan bulu merah menyala dan mata yang bersinar kejam. Tianho bisa merasakan auranya yang menakutkan, pertanda binatang buas itu setidaknya berada di tahap Pertengahan Penguatan Qi.

Para pemburu yang dipimpin oleh seorang pria bertubuh kekar berusaha keras melawan, namun serangan mereka tidak cukup kuat. Salah satu dari mereka terlempar oleh cakar serigala, tubuhnya menghantam pohon dengan keras. Melihat keadaan itu, Tianho tidak bisa tinggal diam. Meskipun masih lemah, ia berlari mendekat, menarik perhatian serigala dengan melempar batu besar ke arah kepala binatang itu.

"Hya!" teriak Tianho, membuat serigala itu berbalik menghadapnya. Binatang itu menggeram marah, api kecil menyembur dari moncongnya. Para pemburu terkejut melihat pemuda asing yang berani memancing bahaya seperti itu.

Serigala Api menyerang dengan cepat, mencakar ke arah Tianho dengan kecepatan angin. Tianho melompat ke samping, nyaris saja cakar tajam itu mengenai bahunya. Mengingat teknik dasar yang dia pelajari, ia memusatkan Qi di kedua tangannya, membentuk tinju padat. Ketika serigala itu menyerang lagi, Tianho melancarkan pukulan langsung ke kepala binatang tersebut.

"Boom!" Tabrakan itu membuat serigala terhuyung, tapi tidak cukup untuk menjatuhkannya. Melihat kesempatan itu, pemimpin pemburu segera menusukkan tombaknya ke perut serigala. Teriakan menyakitkan menggema, dan akhirnya, binatang buas itu roboh ke tanah.

"Terima kasih, anak muda!" Pemimpin pemburu itu menggenggam tangan Tianho dengan penuh rasa syukur. "Tanpamu, mungkin kami semua akan mati di sini."

Tianho hanya tersenyum tipis. Setelah memastikan para pemburu aman, ia melanjutkan perjalanannya. Namun, sebelum pergi, pemimpin pemburu memberinya kantong kulit berisi daging kering sebagai tanda terima kasih.

Di tengah perjalanan selanjutnya, Tianho merenungkan pertempuran tadi. Meski berhasil membantu, ia menyadari bahwa kekuatannya masih jauh dari cukup. Jika serigala itu lebih kuat, mungkin ia sendiri yang akan mati. Sadar akan kelemahannya, ia memutuskan untuk memperdalam pemahaman tentang teknik dasar sebelum menghadapi binatang buas lainnya.

Beberapa hari kemudian, Tianho tiba di sebuah gua tersembunyi yang dipenuhi lumut hijau. Merasa tempat itu cukup aman, ia memutuskan untuk tinggal sementara. Di dalam gua yang sejuk, ia mengeluarkan kitab kultivasi tua dan mulai memperhatikan kembali teknik pernapasan serta aliran Qi yang disebutkan dalam teks.

Saat malam tiba, Tianho duduk bersila, memusatkan pikirannya pada sirkulasi Qi. Dengan lebih hati-hati, ia mengikuti aliran energi dari dantian ke seluruh tubuhnya, berusaha menguatkan setiap meridian. Perlahan, ia merasa energi yang hangat mengalir lebih lancar, membuka beberapa titik yang sebelumnya terasa tersumbat.

Ketika ia tengah tenggelam dalam latihan, suara langkah kaki menggema dari mulut gua. Tianho membuka matanya dan melihat sekelompok pria berwajah kasar memasuki gua dengan wajah penuh amarah.

"Anak muda! Ini tempat kami! Berani-beraninya kau tidur di sini tanpa izin!" kata pria bertubuh besar dengan parut di wajahnya.

Tianho segera berdiri. "Aku tidak tahu ini tempat kalian. Jika kalian mengizinkan, aku akan pergi."

Namun, pria itu mendengus. "Terlambat! Kami tidak suka pengganggu. Serang dia!"

Dua pria bertubuh kekar langsung menyerang. Tianho melompat mundur, menangkis pukulan dengan lengannya. Meskipun tenaga mereka kuat, gerakan mereka lambat dan tidak terlatih. Dengan teknik yang lebih lincah, Tianho memutar tubuhnya dan menghantamkan lututnya ke perut salah satu penyerang.

Melihat rekannya terjatuh, pria lainnya menerjang dengan marah. Tianho melangkah ke samping dan menghantam rusuk pria itu dengan siku. Jeritan kesakitan terdengar, membuat pemimpin mereka mengerutkan kening.

"Cih, anak ingusan ini cukup kuat. Baiklah, aku sendiri yang akan menghajarnya!" Pria berparut itu menarik pedang dari pinggangnya, mengayunkannya dengan cepat. Angin tajam mengoyak udara, memaksa Tianho untuk melompat mundur.

Namun, sebelum pria itu bisa menyerang lebih lanjut, sebuah suara berat menggema dari belakang mereka. "Berhenti!" Seorang pria tua berjubah abu-abu muncul di mulut gua. Dengan sekali lirik, para penyerang itu langsung gemetar dan berlutut.

"Guru Chen! Maafkan kami, kami tidak tahu anak ini adalah tamu Anda," kata pemimpin bandit dengan nada penuh hormat.

Pria tua itu, Guru Chen, hanya mendengus. Ia melihat Tianho dengan pandangan penuh minat. "Kau punya keberanian dan keterampilan bertarung yang cukup baik untuk anak seusiamu. Apa yang kau lakukan di tempat berbahaya seperti ini?"

Tianho menjelaskan dengan singkat tentang perjalanannya sebagai kultivator pengembara. Guru Chen mengangguk pelan. "Hidup sebagai pengembara tidaklah mudah. Jika kau ingin, kau bisa tinggal di sini sementara waktu. Aku bisa mengajarkanmu beberapa teknik bertarung."

Tianho tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Tawaran dari seorang ahli tidak datang dua kali. Dengan hormat, ia membungkuk dalam-dalam. "Terima kasih, Guru Chen."

Dan begitulah, babak baru dalam perjalanan Tianho dimulai. Gua yang awalnya dianggap tempat singgah sementara kini menjadi tempat belajar teknik bertarung dan kultivasi di bawah bimbingan seorang ahli misterius. Namun, di balik kebaikan Guru Chen, ada rahasia besar yang mungkin bisa mengubah jalan hidupnya.